Ardian Rahaditya hanyalah seorang pemuda biasa, yang bercita-citakan kehidupan normal seperti anak bungsu pada umumnya.
Namun, kehadiran gadis berisik bernama Karina Larasati yang entah datang dari mana membuat hari-harinya dipenuhi dengan perdebatan.
"Bang Ar, ayodong buruan suka sama Karin."
"Gue udah punya pacar, lebih cantik lebih bohay."
"Semangat ya berantemnya, Karin doain biar cepet putus."
"Terserah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ade Annisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTEMUAN
Setelah seharian kemarin menghindar dari pertemuannya Karin dengan sang papi, yang kemudian mendapatkan omelan dari sang ibu karena pulang terlalu larut. Siang ini, sepulang sekolah, Karin yang dijemput oleh abangnya harus siap bertemu dengan sang ayah.
"Ayo," ajak Ardi saat Karin masih berdiri mematung di samping mobil abangnya, tatapan matanya terus mengarah pada mobil mewah yang gadis itu amat kenali. Mobil sang papi.
Karin menoleh pada Ardi yang tampak menunggu di sebelahnya. "Karin takut, Bang," ucapnya lirih.
Ardi menyentuh kepala gadis itu, mengusapnya pelan. "Ada gue tenang aja, lo nggak bakal kenapa-napa."
Karin menghela napas, membulatkan tekad untuk berani, apapun yang terjadi, saat seperti ini memang harus ia hadapi. Keduanya melangkah masuk ke dalam rumah, berhenti di ruang tamu untuk menyalami siapapun yang berada di sana.
Pria paruh baya dengan jas rapi yang duduk berhadapan dengan Justin beranjak berdiri. Tatapannya dingin, raut wajah yang masih terlihat tampan itu tidak memancarkan aura seorang ayah yang bijak sana, terkesan keras dan pemaksa.
Setidaknya itu kesan pertama yang Ardi dapat tangkap dari pria itu saat berjabat tangan.
Sebelum berpamitan untuk masuk ke dalam karena kehadirannya tidak dipentingkan, Ardi menyempatkan diri menoleh pada Karin yang sudah duduk di sebelah Justin.
Anak itu terlihat takut, dia merasa telah melihat sosok Karin yang berbeda kali ini.
"Papinya Karin gitu amat, Bu," komentar Ardi saat ia berada di dapur.
"Gitu gimana?" Tanya Marlina yang tampak sibuk meracik kopi.
Ardi menyandarkan diri ke meja dapur, menghadap sang ibu di sebelahnya. "Kaku banget kaya laminatingan kertas poto kopi," ucapnya yang mendapat tabokan di lengan.
"Nggak boleh gitu ngomongnya, nanti dia denger," tegur sang ibu.
Ardi mengusap lengannya yang mendapat tabokan. "Yakali, Bu. Dapur ke ruang tamu kan jauh," ucapnya. Kemudian mengambil tempe goreng di sebelahnya, bibi asisten rumah tangga sang ibu tampak sibuk menggoreng yang lainnya.
"Kira-kira jadi mantu orang kaya gitu, bisa idup nggak ya, Bu?" Tanya Ardi yang membuat Marlina menoleh.
"Mantu siapa?"
"Ya mantu papinya Karin, kan pasti suatu saat Karin punya suami."
"Terus ngapain kamu yang mikirin?"
Ardi menelan ludah, menatap tempe goreng yang sudah ia gigit di tangannya, sayang ini tempe, coba kalo tahu, mungkin dia sudah bisa menjawab.
"Nggak tau dah, kesian aja Ardi sama suaminya Karin entar. Dibully sama mertuanya."
Marlina tersenyum, sebelum mengangkat nampan berisi beberapa cangkir kopi, wanita itu menepuk pundak putranya. "Makanya kamu siap mental dari sekarang," nasihatnya, kemudian melangkah pergi.
Alih-alih menanyakan maksud sang ibu, Ardi malah memusatkan perhatiannya pada sepotong tempe goreng yang terjatuh dari tangannya.
"Mau lagi, Den?" Tawar Bik Sum, asisten rumah tangga sang ibu dengan menyodorkan piring berisi tempe goreng masakannya.
Ardi menggeleng, "nggak, Bi. Makasih," tolaknya.
Bik Sum mengangguk, meletakan piring yang ia bawa ke atas meja, "oh iya, Den. Tukang urut yang ibu pesen buat mijit aden nanti malem kesini, masih kerabat bibi, dijamin enak deh ngurutnya."
Setelah jatuh dari motor beberapa hari yang lalu, Ardi memang belum sempat diurut, pemuda itu mengangguk. "Sakit nggak ngurutnya?"
"Namanya juga diurut, Den. Pasti awalnya sakit, tapi abis itu pasti badannya jadi enteng," ucap wanita seumuran ibunya itu, menjelaskan.
"Ada nggak, Bik. Yang ngurutnya tuh nggak usah di bejek-bejek, tapi berasa enak gitu."
Bik Sum jadi tertawa, "emangnya tranfer ilmu, cuman nempelin tangan ke punggung langsung sembuh."
Ardi menggaruk rambut kepalanya, si bibi kebanyakan nonton film laga nih kayaknya. "Ya kali ada gitu yang cuma lewat tatapan mata."
"Dihipnotis itu mah, Den namanya. Udah ah, bibi masih ada kerjaan," ucap Bik Sum kemudian beranjak pergi.
Ditinggal sendirian di dapur Ardi memilih pergi ke kamar kakak perempuannya.
"Kebetulan lo kesini, jagain anak gue bentar, mau ikut ke depan," pinta Nena saat Ardi masuk ke dalam kamarnya.
Ardi berdecak, mendudukan dirinya di ranjang besar sang kakak, niatnya kan dia ke sini ingin ngobrol, malah ditinggal sama bayi. "Gue cubitin nih, biar nangis," ancamnya.
"Iya, ntar kalo nangis lo gue tampol," balas Nena.
"Set galaknya, kalah induk ayam."
Sebelum beranjak pergi Nena memberi pesan, "jangan digendong-gendong, ntar bau tangan."
Ardi reflek mencium tangannya sendiri, "nggak bau si."
"Maksudnya bau tangan tuh, kebiasaan, jangan digendong ntar kebiasaan dianya minta gendong terus."
"Iya, bawel." Ardi merebahkan dirinya di atas kasur dengan posisi tengkurap, di hadapannya si kembar jino Nino yang masih belum bisa ia bedakan itu tampak asik bermain dengan dunianya sendiri.
Ardi mendengar saat kakak iparnya itu menutup pintu, meski statusnya dengan Nena adalah ipar, tapi dia yang sejak kecil sudah mengenal Nena sebagai kakak kandungnya karena tertukar dengan sang abang yang sekarang jadi suami kakaknya. Dia lebih akrap dengan Nena daripada Justin yang adalah kakak kandungnya sendiri.
Terkadang Ardi merasa takut pada Justin, apalagi jika pria itu sudah melancarkan mode diam tapi tatapannya berkata-kata. Auranya beda, bikin nggak bisa ngomong apa-apa, hingga Ardi berpikir, suatu saat ia ingin punya juga aura yang seperti itu.
"Enak ya lo berdua, rebahan mulu kerjaannya." Ardi mulai mengajak si kembar berbicara, "nggak usah cepet dewasa deh, nggak enak jadi orang gede," ucapnya lagi, kali ini dengan menyentuh tangan kecil dengan teluncuknya, dan mendapat genggaman dari mahluk kecil itu membuatnya seolah merasa telah direspon.
"Beneran, percaya deh, apalagi kalo udah kenal cinta, lo sekolah dua belas tahun, jatuh cinta jadi bego," ucapnya, kemudian tertawa sendiri. Mahluk kecil yang mengerjap-ngerja di hadapannya itu kemudian tersenyum.
"Enakan juga gini ya, rebahan terus, mau makan tinggal nangis, enak banget dah hidup lo berdua pokoknya."
*
Di ruang tamu Karin yang duduk menyimak papinya mengobrol dengan Justin tampak diam saja, gadis itu terlihat gusar, pasalnya yang dibahas mereka adalah dirinya.
"Tidak masalah jika putri anda lebih memilih tinggal di sini, saya juga tidak berkeberatan." Justin berkata dengan tenang, seolah seseorang yang ia hadapi itu bukan siapa-siapa.
Di hadapannya, papi Karin yang ia ketahui bernama Hendrik itu menatapnya tidak suka."Apa yang bisa putri saya dapatkan di sini mungkin saya juga bisa berikan, kehidupan yang layak, makan enak, banyak uang untuk membeli apa saja, bahkan saya bisa memberikan lebih dari itu," ucapnya dengan mengarahkan tatapannya pada Karin.
Justin menoleh pada gadis remaja di sebelahnya yang tampak menunduk, kemudian beralih lagi pada pria di hadapannya."Tapi putri anda tidak membutuhkan semua itu."
Hendrik tertawa berdecih, "omong kosong," tukasnya.
"Sekarang begini saja, biarkan Karin sendiri yang memilih ingin tinggal di mana," ucap Marlina angkat suara, Nena yang duduk di sebelahnya masih diam saja.
Hendrik menatap putrinya penuh ancaman, dan hal itu membuat Nena gemas ingin angkat bicara. "Kamu nggak usah takut Karin, di sini keputusan kamu yang paling penting."
Karin jadi gugup, ditatap banyak pasang mata yang menunggu jawaban darinya membuat ia merasa tertekan, belum pernah ia berada di situasi seperti ini sebelumnya, rasanya dia ingin menangis, berlari pergi dan berteriak sekencang-kencangnya. Tapi takut dikira kesurupan.
"Karin," ucap gadis itu lirih, nadanya sedikit bergetar, dan genggaman tangan pada ujung rok seragamnya semakin ia eratkan. Hal itu tidak luput dari perhatian Justin yang mengerti dengan kondisi gadis remaja di sebelahnya.
Ucapan Karin yang menggantung membuat semuanya menunggu, gadis itu menoleh gugup pada sang papi, kemudian beralih pada Ibu Marlina dan Nena, dia tidak berani menolehkan tatapannya pada Justin, takut benar-benar menangis.
Justin meletakan tangannya pada pundak Karin, menenangkan gadis itu, "Sekarang biar seperti ini saja, berikan putri anda waktu untuk berpikir, mengambil keputusan yang mungkin tidak akan mudah untuk dia," ucapnya.
Hendrik beranjak berdiri, mengibaskan jas yang ia kenakan untuk merogoh kunci mobil di dalam saku celananya. "Papi tunggu kamu pulang ke rumah, Karin. Bagaimanapun juga saya adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kamu," ucapnya kemudian beranjak pergi setelah berpamitan. Hanya mengucapkan kata permisi tanpa bersalaman, bahkan menoleh pada putrinya untuk sekedar bujukan pun tidak.
Ayah macam apa? Justin jadi berdecak, tidak akan ia membiarkan Karin ikut dengan orang seperti itu.
Karin beranjak berdiri, kemudian pamit ke kamarnya. Dan panggilan dari Justin membuat ia menghentikan langkah.
"Tidak usah kamu pikirkan, kamu bisa tetap tinggal di sini sampai kapan pun kamu mau," ucap Justin.
Nena berdiri, menghampiri Karin untuk menepuk pundaknya. "Kalo kamu nggak mau pulang ke papi kamu, nggak usah pulang," ucapnya yang membuat Karin mengangguk.
Marlina menangkup pipi karin, mengusapnya pelan, "kamu adalah anak ibu," ucap wanita itu yang membuat Karin semakin terharu, gadis itu sekuat tenaga menahan kaca-kaca di bolamatanya untuk tidak pecah, dia bertekad untuk kuat.
Karin hanya tersenyum, mengangguk dan kembali berpamitan ke kamarnya. Dia berhasil untuk tidak menangis kali ini.
Sorenya Ardi mengetuk pintu kamar Karin, semenjak kedatangan papinya, gadis itu belum keluar kamar. "Buka pintunya, Dek. Kata ibu lo belum makan," ucapnya, kemudian kembali mengetuk sekali lagi.
"Karin lagi pengen sendiri, Bang." Karin berteriak dari dalam.
Ardi menghela napas, kemudian beranjak ke luar rumah menuju halaman samping, jendela kamar gadis itu masih terbuka dan ia memanjatnya.
Suara benda jatuh membuat karin yang tengah tengkurap di kasurnya jadi terkejut, kemudian menoleh. "Ngapain sih, Bang!" pekiknya.
Ardi yang terjatuh dari jendela beranjak berdiri, "nyangkut anjiirr kaki gue sakit," ucapnya sembari mengusap kakinya yang terasa nyeri, sendalnya sampai mental terlepas.
Karin menuruni ranjang, menghampiri abangnya yang sibuk mengusap betisnya yang sedikit memar. "Lagian pake loncat jendela, udah tau tinggi."
Ardi menegakkan tubuhnya, menatap gadis yang berdiri di hadapannya itu dengan mengerutkan dahi.
Masih dengan seragam sekolah yang berantakan, dan sepertinya dia juga menangis berjam-jam.
"Kenapa si, cewek itu selalu memilih sendiri dan nggak mau diganggu saat sedih," ucap Ardi dengan mendekati gadis itu. "Padahal, enakan juga ditemenin, dipeluk, kaya gini nih," tambahnya lagi, dengan menarik gadis di hadapannya itu ke dalam pelukannya.
"Abang lagi modus ya," tuduh Karin, namun diam saja saat sang abang merengkuh tubuh mungilnya.
"Siapa bilang? Orang gue lagi nyontohin, enakan dipeluk sama gue kan? Apalagi sambil dielus kepalanya." Ardi benar-benar mengusap kepala gadis dalam pelukannya dengan lembut.
Karin menggigit bibir, menahan air mata yang ia pikir sudah tidak lagi tersisa, tapi nyatanya perlakuan sang abang membuatnya kembali menangis tersedu-sedu, dia membalas pelukan Ardi dengan erat, membenamkan wajahnya di dada pemuda itu, membuat kaus putih yang dikenakannya jadi basah.
Sesaat Ardi terdiam, namun kemudian kembali mengusap puncak kepala gadis berponi yang entah sejak kapan sudah menjadi prioritas dalam hidupnya. "Ada abang Dek, tenang aja, nggak usah takut."
Perlahan Karin melepaskan pelukannya, kemudian menarik kaus sang abang untuk mengelap wajahnya yang basah.
"Buset dah kaus gue kena ingus lo," protes Ardi, menarik bajunya yang sedikit lepek.
Karin tertawa pelan, kemudian membuang muka, "abang mau tau kenapa cewek itu selalu pengen sendiri saat nangis?" Tanyanya, masih enggan bersitatap dengan pemuda di hadapannya.
"Kenapa emang?"
"Karena cewek itu pasti keliatan jelek pas lagi nangis, dan dia nggak mau siapapun liat itu."
"Coba gue liat." Ardi meraup kedua pipi gadis itu dengan kedua tangannya, menariknya untuk saling bertatapan.
Wajah Karin yang tampak kusut dengan hidung memerah, juga sembab di kedua matanya malah membuat ia semakin terlihat menggemaskan.
"Eh iya jelek banget," canda Ardi yang kemudian mendapat tabokan di lengan.
Ardi mengaduh, mengusap lengannya yang sedikit kebas, kemudian kembali meraih pipi gadis itu dengan satu tangan, mengusapnya pelan. "lo masih keliatan cantik kok, tenang aja."
Gadis itu terdiam, sedikit gugup saat abangnya mulai mencondongkan kepala untuk mendekat, hembusan napas yang menerpa ujung hidungnya masih saja membuat detak jantung Karin selalu berantakan, padahal situasi seperti ini bukan lagi kali pertama dia rasakan.
Karin merasa lemas, isi dadanya mulai menghangat, selalu seperti itu saat mulai merasakan sesuatu yang lembut menempel di bibirnya, dan seruan dari luar kamar, membuatnya reflek memundurkan kepala.
"Aar, lo di mana? Tukang urutnya udah dateng nih." Nena berteriak memberi tahu.
Ardi berdecak kesal, "Suruh balik lagi nanti malem!" balasnya ikut berteriak, "katanya ntar malem gimana si." Ardi jadi menggerutu, memungut sepasang sendalnya di bawah jendela, kemudian membuangnya ke luar.
Pemuda itu kembali menghampiri Karin yang masih terdiam di tempatnya, "abang diurut dulu ya, Dek. Doain moga selamet," ucapnya, dengan cepat mengecup ujung hidung gadis itu kemudian berbalik, dan kembali meloncati jendela setinggi pusarnya itu.
Karin mengerutkan dahi, "ngapain lewat jendela sih, Bang? Kan ada pintu," tuturnya, menunjuk benda persegi yang rapat tertutup.
Ardi yang belum sempat turun jadi berpikir, "eh iya ya, tapi sendal gue udah di luar, gimana dong?"
Karin menggeleng, kemudian gadis itu melihat abangnya lompat keluar jendela, mengambil sendalnya dan masuk ke dalam lagi.
Sebelum melewati Karin yang masih terbengong dengan kelakuan abangnya, pemuda itu kembali mendaratkan kecupan sekali lagi yang membuat gadis itu mengerjap terkejut.
Ardi membuka pintu, dan kakak perempuannya tampak menunggu dengan melipat kedua lengannya di dada. "Kenapa dikunci si, kalian ngapain?" Tanyanya mulai curiga.
Mendengar itu, Ardi berdecak acuh, kemudian menutup pintu, "orang tadi Karin nggak mau buka pintu, terus gue masuk aja lewat jendela, bilangin suruh makan," tuturnya memberi penjelasan tentu saja dia tidak berbohong, meskipun tidak terlalu lengkap ceritanya.
"Bener?" Tanya Nena curiga. "Terus ngapain sekarang lo lewat pintu, nggak lompat jendela lagi?" Nena mulai menyindir.
Ardi melangkah pergi yang diikuti oleh kakaknya, "ya enggak lah emangnya gue bego."
Dan seketika dia mengingat nasihatnya untuk si kembar Jino Nino, sekolah dua belas tahun kenal cinta jadi bego. Anjiir, untung gue nggak kaya gitu.
Ardi: kok komentarnya berkurang, padahal gue udah berusaha buat nongol lebih cepet.
Karin: udah nggak papa, jangan dengerin Bang Ar, yang penting votenya jangan lupa 🤣
**iklan**
Netizen: kemaren tukang penjaga perpus, sekarang tukang urut, besok tukang gali kubur nih gue rasa masuk ke cerita, gue nonton sinetron ratapan anak tiri nggak sekesel ini thooor.
Author: Sengaja, biar rada menghargai kaum jomblo gitu.
Netizen: Nanggungin tau, justru malah jadi halu, sialaan.
Author: ih sekarang kasar kamu sama aku. 🤣 🤣
Pemberitahuan.
Ini tolong author keabisan stok gombal receh, jokes lucu sama pengalaman kocak. Sapa tau ada yg pengen nyumbang di komentar, nanti biar gue masukin ke dialog cerita. Ya sapa tau aja. 🤣🤣