NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# BAB 24: Reza Melamar Larasati

Tiga minggu setelah sidang pertama, Larasati duduk di teras belakang rumah ibunya di Bandung—tempat yang jadi pelarian sementaranya, tempat di mana dia bisa bernapas tanpa tekanan dari media atau keluarga Gavin atau siapapun yang punya pendapat tentang hidupnya.

Abimanyu main di taman dengan sepedanya, tertawa saat berhasil melewati jalur tanpa jatuh. Suara tawa anaknya—murni dan tidak terbebani—membuat dada Larasati hangat dan sakit bersamaan. Hangat karena setidaknya Abi masih bisa tertawa di tengah kehancuran keluarganya. Sakit karena dia tahu ini tidak akan bertahan selamanya—cepat atau lambat, Abi akan tanya pertanyaan yang lebih sulit, akan sadar bahwa papa dan mamanya tidak akan kembali bersama lagi.

Ponselnya berbunyi—pesan dari Reza yang sudah jadi rutinitas harian sejak seminggu lalu saat Larasati kembali ke Bandung.

_"Aku di Jakarta hari ini untuk rapat. Besok aku ke Bandung. Boleh aku ajak kamu makan siang? Ada yang mau aku omongin."_

Larasati menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Reza—pria yang ada saat dia paling hancur, yang memberikan kehangatan saat dunianya paling dingin. Tapi juga pria yang kehadirannya membawa komplikasi tersendiri. Karena bagaimana dia bisa memulai sesuatu yang baru saat yang lama belum sepenuhnya berakhir?

Secara teknis, dia masih menikah dengan Gavin. Secara emosional, pernikahan itu sudah mati. Tapi ada area abu-abu di antaranya yang membuat segalanya terasa... salah. Atau mungkin bukan salah. Hanya terlalu cepat.

Dia ketik balasan: _"Oke. Jam dua belas di Kafe Braga?"_

_"Sempurna. Sampai jumpa besok, sayang."_

Kata "sayang" itu—yang dulu membuat jantungnya berdetak lebih cepat—sekarang hanya membuat perasaan bersalah yang tidak jelas datang dari mana.

---

Keesokan harinya, Larasati duduk di Kafe Braga—kafe klasik di pusat kota Bandung dengan arsitektur kolonial dan suasana yang tenang. Dia datang lima belas menit lebih awal lagi—kebiasaan yang dia develop sejak pertemuan terakhir dengan Gavin, kebutuhan untuk punya kontrol atas situasi dengan sampai duluan, memilih tempat duduk, mengatur napas.

Reza datang tepat waktu—seperti biasa, selalu tepat waktu, tidak pernah buat Larasati menunggu terlalu lama atau khawatir. Dia pakai kemeja biru muda dengan celana kain gelap, terlihat santai tapi tetap rapi. Senyumnya hangat saat lihat Larasati, tapi ada sesuatu di matanya—nervousness yang dia coba sembunyikan.

"Hai," sapa Reza, duduk di seberangnya. "Kamu terlihat cantik."

Larasati tersenyum tipis. "Terima kasih. Kamu terlihat gugup."

Reza tertawa—suara yang tidak sepenuhnya natural. "Aku ketahuan ya?"

"Apa yang mau kamu omongin?" tanya Larasati langsung, tidak mau bertele-tele karena suasana hatinya tidak cukup stabil untuk basa-basi panjang.

Reza mengambil napas dalam, tangannya di atas meja bergerak seolah mau meraih tangan Larasati tapi berhenti di tengah jalan—masih sadar batasan yang ada. "Lara, aku... aku sudah pikirkan ini cukup lama. Dan aku tahu timing-nya mungkin tidak sempurna. Aku tahu kamu masih dalam proses cerai. Aku tahu ada banyak hal yang sedang kamu hadapi. Tapi..."

Dia berhenti, dan Larasati merasakan jantungnya berdetak lebih cepat—tidak yakin dengan antisipasi atau kecemasan.

"Tapi aku tidak bisa tunggu lagi untuk bilang ini," lanjut Reza, matanya terkunci pada mata Larasati dengan intensitas yang membuat napasnya tertahan. "Lara, aku serius dengan kamu. Ini bukan hubungan sementara atau pelarian buatku. Aku mencintaimu. Aku mencintai cara kamu tertawa, cara kamu jaga Abi, cara kamu kuat bahkan saat kamu merasa hancur. Aku mencintai semuanya tentang kamu."

Larasati tidak bisa bicara—hanya bisa menatap saat Reza melanjutkan.

"Aku tahu aku bukan orang pertama dalam hidupmu. Aku tahu ada sejarah dengan Gavin yang tidak bisa dihapus begitu saja. Dan aku tahu Abi akan selalu punya papa kandung yang bukan aku. Aku menerima semua itu." Reza meraih tangannya sekarang—lembut, memberikan kesempatan untuk Larasati menarik kembali kalau dia mau, tapi Larasati biarkan tangannya di sana, terlalu shock untuk bergerak.

"Yang aku mau adalah jadi bagian dari masa depanmu," kata Reza, suaranya bergetar sedikit dengan emosi. "Aku mau nemenin kamu. Aku mau jadi support system-mu. Aku mau jadi ayah untuk Abi—bukan menggantikan Gavin, tapi jadi figur yang hadir, yang peduli, yang akan ada saat dia butuh. Dan Lara..."

Reza berhenti, ambil sesuatu dari saku celananya. Kotak kecil beludru biru navy.

Dunia Larasati berhenti berputar.

"Nikah sama aku," kata Reza, membuka kotak itu untuk memperlihatkan cincin—cincin sederhana dengan berlian kecil yang elegan, tidak terlalu mencolok tapi indah. "Aku tahu ini terlalu cepat. Aku tahu kamu belum resmi cerai. Tapi aku mau kamu tahu bahwa aku serius. Ini bukan main-main. Ini komitmen. Dan saat kamu siap—saat prosesnya selesai dan kamu merasa sudah waktunya—aku akan ada di sini, menunggu."

Larasati menatap cincin itu, lalu menatap Reza, lalu cincin lagi. Pikirannya berputar dengan seribu pikiran sekaligus.

Ini terlalu cepat. Dia bahkan belum selesai dengan Gavin. Sidang kedua baru akan dilakukan minggu depan. Secara legal dia masih istri orang lain. Bagaimana dia bisa terima lamaran dari pria lain?

Tapi bagian lain dari dirinya berbisik: Kenapa tidak? Pernikahan dengan Gavin sudah mati. Gavin yang membunuhnya. Dia punya hak untuk bahagia. Dia punya hak untuk diterima oleh pria yang benar-benar menghargainya.

"Reza," bisik Larasati, suaranya tidak stabil. "Aku... aku tidak tahu harus bilang apa."

"Kamu tidak harus bilang iya sekarang," kata Reza cepat, melihat panic di wajahnya. "Aku tidak minta jawaban langsung. Aku cuma mau kamu tahu bahwa aku serius. Bahwa niat aku bukan main-main. Dan kalau suatu hari—bisa besok, bisa tahun depan—kalau suatu hari kamu merasa siap, aku akan ada di sini."

"Tapi kenapa sekarang?" tanya Larasati, air mata mulai menggenang meski dia tidak mengerti kenapa dia menangis. "Kenapa kamu mau lamaran sekarang saat hidupku masih berantakan?"

"Karena aku tidak mau kamu ragu tentang perasaanku," jawab Reza dengan tulus. "Aku tidak mau kamu pikir aku cuma ada sementara, atau aku akan pergi saat situasi jadi lebih rumit. Aku mau kamu tahu—aku ada untuk jangka panjang. Apapun yang terjadi."

Larasati menatap pria di depannya—pria baik yang menawarkan masa depan yang stabil, yang penuh dengan cinta dan perhatian. Masa depan yang sangat berbeda dari delapan tahun terakhir hidupnya.

Sebagian dari dirinya ingin bilang iya. Ingin melompat ke peluang untuk bahagia, untuk dicintai dengan cara yang benar. Reza baik. Reza perhatian. Reza mencintainya dengan cara yang tulus, tanpa agenda tersembunyi.

Tapi sebagian lain—sebagian yang lebih besar—ragu. Bukan karena dia tidak percaya Reza. Tapi karena dia tidak yakin dengan dirinya sendiri.

Apakah ini cinta yang genuine? Atau apakah dia hanya lari dari rasa sakit dengan memeluk orang pertama yang memberikan kehangatan?

Apakah dia siap untuk menikah lagi saat pernikahan pertamanya bahkan belum resmi berakhir?

Dan pertanyaan yang paling menakutkan: Apakah dia menggunakan Reza untuk mengisi kekosongan yang Gavin tinggalkan, tanpa benar-benar jatuh cinta padanya?

"Reza," kata Larasati akhirnya, suaranya bergetar. "Kamu pria yang luar biasa. Kamu baik, kamu perhatian, kamu ada saat aku paling butuh. Dan aku... aku hargai itu lebih dari yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."

Dia lihat harapan di mata Reza—dan dia benci bahwa kata berikutnya akan membuat harapan itu redup.

"Tapi aku belum siap," bisik Larasati, air mata akhirnya jatuh. "Aku belum tahu apa yang aku rasakan. Aku tidak tahu apakah aku mencintaimu karena aku benar-benar jatuh cinta, atau karena aku butuh pelarian dari rasa sakit. Dan itu tidak adil untukmu. Kamu pantas untuk dicintai dengan sepenuh hati, bukan jadi pilihan kedua atau tempat pelarian."

Reza terdiam, tangannya masih menggenggam tangan Larasati. "Kamu bukan yang memilih aku sebagai pilihan kedua, Lara. Kamu memilih untuk jujur dengan perasaanmu. Dan aku hargai itu."

"Beri aku waktu," mohon Larasati. "Beri aku waktu untuk menyelesaikan dengan Gavin—bukan untuk kembali padanya, tapi untuk menutup chapter itu dengan benar. Beri aku waktu untuk menemukan diriku lagi, untuk tahu siapa aku tanpa harus jadi istri seseorang. Dan setelah itu... setelah itu kalau kamu masih mau, kalau kamu masih ada..."

"Aku akan tetap ada," potong Reza dengan lembut, mengusap air mata di pipi Larasati dengan ibu jarinya. "Aku akan tunggu, Lara. Berapa lama pun yang kamu butuhkan. Karena kamu worth untuk ditunggu."

Larasati menangis lebih keras sekarang—bukan karena sedih, tapi karena overwhelmed dengan perasaan yang campur aduk. Lega bahwa Reza mengerti. Bersalah karena membuat dia menunggu. Bingung tentang perasaannya sendiri.

Reza pindah ke kursi di sebelahnya, memeluknya—pelukan yang hangat dan supportive tanpa ekspektasi. Dan Larasati biarkan dirinya dipeluk, biarkan dirinya merasa aman untuk sebentar, bahkan saat dia tidak tahu apa yang dia inginkan untuk masa depan.

---

Malam itu, Larasati berbaring di kamar masa kecilnya—kamar dengan poster lama dari band favorit masa remaja, dengan lemari yang masih penuh dengan buku-buku kuliah, dengan jendela yang menghadap taman belakang di mana Abi sekarang tidur di kamar sebelah dengan nyenyak.

Dia tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar pada lamaran Reza—cincin yang masih tersimpan dalam kotak yang sekarang ada di laci meja nakas, menunggu jawaban yang bahkan Larasati tidak tahu kapan bisa dia berikan.

Dia menatap langit-langit dalam gelap, mencoba memahami perasaannya sendiri.

Apakah dia mencintai Reza? Mungkin. Atau mungkin yang dia rasakan adalah rasa syukur yang sangat dalam sampai terasa seperti cinta. Bagaimana dia bisa bedakan?

Dan Gavin... kenapa dia masih memikirkan Gavin? Kenapa saat Reza melamar, wajah pertama yang muncul di pikirannya adalah wajah Gavin—bukan Gavin yang sekarang yang hancur dan menyesal, tapi Gavin sepuluh tahun lalu yang pertama kali melamarnya dengan cincin yang sederhana dan senyum yang penuh harapan?

Kenapa kenangan itu masih ada? Kenapa masih sakit?

Akhirnya, dari kelelahan emosional, Larasati tertidur.

Dan dia bermimpi.

Dalam mimpi, dia ada di kafe—Kafe Nostalgia di mana dia bertemu Gavin terakhir kali. Tapi kali ini berbeda. Kali ini Gavin tidak menangis atau memohon. Dia hanya duduk di seberangnya dengan senyum sedih dan mata yang lelah.

"Aku tidak bisa membuatmu bahagia," kata Gavin dalam mimpi, suaranya lembut tanpa desperate yang biasa. "Aku mencoba, tapi aku gagal. Dan aku minta maaf untuk itu."

"Kenapa?" tanya Larasati dalam mimpi, suaranya terdengar seperti anak kecil yang bingung. "Kenapa kamu tidak cukup mencintaiku?"

"Aku mencintaimu," jawab Gavin, dan air matanya jatuh—tapi air mata yang tenang, bukan yang penuh drama. "Aku mencintaimu dengan segenap kemampuanku. Tapi kemampuanku tidak cukup. Dan itu bukan salahmu, Lara. Itu salahku."

Dalam mimpi, Larasati meraih tangannya—dan Gavin pegang tangannya dengan lembut, seperti dulu saat mereka masih bahagia.

"Aku akan melepaskanmu," bisik Gavin. "Karena itu satu-satunya cara aku bisa menunjukkan cintaku sekarang. Dengan membiarkanmu pergi dan bahagia dengan orang lain."

Dan dalam mimpi, Larasati menangis—menangis untuk apa yang pernah mereka punya, untuk apa yang sudah hilang, untuk cinta yang tidak cukup kuat untuk bertahan.

Larasati terbangun dengan air mata di pipinya—air mata nyata yang basahi bantal. Kamar masih gelap, jam menunjuk pukul tiga pagi.

Dia duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya, mencoba memahami kenapa mimpi itu terasa begitu nyata, begitu menyakitkan.

Dia tidak mencintai Gavin lagi. Dia yakin tentang itu. Tapi dia masih berduka—berduka untuk versi dari mereka yang pernah bahagia, untuk janji-janji yang tidak terpenuhi, untuk masa depan yang tidak akan pernah terjadi.

Dan mungkin—mungkin—sampai dia selesai berduka, sampai dia benar-benar lepas dari chapter itu, dia tidak bisa sepenuhnya membuka hatinya untuk Reza atau siapapun.

Larasati berbaring lagi, menatap langit-langit sampai cahaya pagi mulai muncul dari celah tirai.

Dan dia tahu—dia masih punya perjalanan panjang sebelum dia siap untuk chapter yang baru.

---

**Bersambung ke Bab 25**

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!