Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Wajah di Cermin Lama
Bandara belum benar-benar reda ketika seorang pria tua berpakaian sederhana melangkah mendekat.
Rambutnya memutih rapi. Posturnya tetap tegak, meski usia tak lagi muda. Tatapannya tajam. Bukan tajam yang mengintimidasi, melainkan yang terbiasa membaca medan dan manusia.
“Bu Elda,” sapa pria itu lebih dulu.
Nada suaranya tidak keras. Tidak pula berlebihan. Namun cukup untuk membuat Elda refleks meluruskan punggungnya.
“Pak Prakoso,” jawab Elda cepat. Ia sedikit menunduk. Bukan karena takut, melainkan hormat lama yang tak pernah benar-benar pudar.
Elvara ikut menoleh. Matanya melembut. “Om,” panggilnya pelan.
Prakoso tersenyum. Senyum yang tidak banyak berubah sejak enam tahun lalu. “Kau makin mirip ayahmu,” katanya singkat. Bukan pujian. Bukan pula nostalgia. Hanya fakta yang ia simpan lama.
Elvara hanya tersenyum.
Elda menarik napas, lalu berkata lirih, “Maafkan kami, Pak. Selama ini sudah merepotkan… dan sekarang malah dijemput begini.”
Prakoso menggeleng pelan. “Tidak ada yang direpotkan,” jawabnya tenang.
“Dulu suamimu menjaga punggung saya di medan tugas. Sekarang giliran saya memastikan keluarganya pulang dengan utuh.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, lebih rendah, “Itu bukan balas budi. Itu kewajiban.”
Rava yang sejak tadi memerhatikan, menarik ujung mantel Elda.
“Nenek,” bisiknya penasaran. “Ini siapa?”
Elda menoleh, lalu tersenyum kecil. “Ini… Kakek Prakoso,” jawabnya. “Kakek tentara.”
Rava menatap Prakoso lekat-lekat. Mata beningnya menyapu wajah tua itu tanpa takut.
“You soldier?” tanyanya polos.
Prakoso berlutut perlahan agar sejajar. Gerakannya tidak kaku. Tidak dibuat-buat.
“Dulu,” jawabnya jujur. “Sekarang sudah pensiun.”
Rava mengangguk serius. “Kakek juga soldier.”
Prakoso mengangguk pelan. “Ya,” katanya lembut. “Dan dia prajurit yang sangat baik.”
Rava tersenyum bangga.
Prakoso berdiri kembali. Pandangannya lalu beralih pada pria di sisi Elvara.
“Doctor Adrian,” sapanya dalam bahasa Inggris, tenang, seolah memastikan sesuatu yang sejak awal sudah ia ketahui.
Adrian sedikit terkejut. Ia lalu menjawab dengan bahasa Indonesia, jelas dan sopan.
“Benar, Pak.”
Prakoso tidak menunjukkan reaksi berlebih. Ia hanya mengangguk sekali, anggukan seorang mantan komandan yang terbiasa mengambil keputusan tanpa perlu penegasan ulang.
“Terima kasih,” katanya singkat. “Sudah menemani mereka sampai sejauh ini.”
“Itu keputusan saya,” jawab Adrian jujur.
Prakoso menerima jawaban itu tanpa komentar tambahan.
---
Perjalanan menuju rumah berlangsung hening namun nyaman.
Rumah itu tidak besar. Sederhana. Bersih. Terletak tak jauh dari sebuah rumah sakit swasta.
“Tempat ini aman,” kata Prakoso sambil membuka pintu. “Tidak mencolok. Tapi cukup dekat dengan rumah sakit.”
Ia menoleh pada Elvara dan Adrian. “Saya sudah bantu urus pendaftaran kalian. Dokter umum dan spesialis. Mulai kapan pun siap.”
Elvara terdiam sejenak. Dadanya menghangat. “Terima kasih, Om.”
"Terima kasih, Pak," ucap Adriana.
Prakoso mengangguk.Ia lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku kemejanya.
“Saya minta staf menyiapkan tempat tinggal sementara,” ujar Prakoso datar. “Tidak besar. Tapi dekat rumah sakit. Alamatnya di situ.”
Ia menyerahkan kertas itu pada Adrian lalu menatapnya.
“Nanti, kalau Anda ingin pindah, silakan.”
Tidak ada tekanan. Tidak ada janji. Hanya fasilitas yang diberikan, dan kebebasan yang tetap dijaga.
“Selamat datang,” tutup Prakoso singkat.
Adrian mengangguk. "Terima kasih."
Prakoso beralih menatap Elda dan Elvara. “Dan satu lagi,” katanya ringan.
“Sabtu ini cucu saya menikah. Kalau kalian belum ada agenda… saya harap kalian datang.”
Ia menatap Elda lebih lama. “Ada orang-orang lama di sana. Sudah waktunya kau muncul. Tidak lagi bersembunyi.”
Elda mengangguk pelan.
Malam itu, koper-koper diturunkan. Rumah kecil itu terisi napas baru.
Dan tanpa disadari siapa pun, takdir yang sejak lama menunggu dengan sabar, akhirnya bergerak.
Bukan untuk mempertemukan, melainkan untuk memastikan… tak ada lagi jarak yang bisa bersembunyi selamanya.
***
Aula resepsi itu gemerlap. Lampu kristal, karpet tebal, seragam hijau zaitun berpadu gaun formal para tamu.
Pernikahan cucu seorang purnawirawan bintang empat bukan sekadar pesta keluarga; ini ajang temu para petinggi, para nama besar yang terbiasa memegang keputusan negara.
Elvara berdiri di depan cermin kecil di toilet wanita, menatap pantulan dirinya sendiri.
Gaun sederhana. Rambut disanggul rapi. Wajahnya tenang. Ketenangan yang lahir dari ketidaktahuan, bahwa ia sedang berjalan menuju sesuatu yang belum selesai.
Ia menarik napas, lalu keluar.
Di aula utama, Elda sudah lebih dulu tenggelam dalam kerumunan. Para perempuan berseragam kebaya elegan menyapanya hangat, istri para perwira, sebagian wajah lama yang dulu sering ia temui.
“Bu Elda… lama tak kelihatan.”
“Sehat, Bu?”
Elda tersenyum sopan. Ia tidak aktif lagi di perkumpulan itu sejak suaminya gugur. Tapi dunia ini, dunia para istri prajurit, tidak pernah benar-benar menutup pintu. Mereka selalu ingat siapa yang pernah menjadi bagian.
Sementara itu, di sudut lain ruangan—
“Kapten Raska itu luar biasa, ya.”
“Masih muda sekali. Usianya paling dua puluh sekian.”
“Kalau bukan karena medan, sudah lama jadi menantu idaman.”
Nama itu beredar pelan, berpindah dari satu lingkaran ke lingkaran lain.
Raska belum terlihat.
Rava, yang sejak tadi bermain dengan anak seorang perwira, tertawa kecil. Bahasa Indonesianya bercampur Inggris, ekspresinya hidup.
Beberapa tamu menoleh, bocah itu mencolok. Wajah tampan kecil, tubuh montok sehat, sikap percaya diri yang jarang pada anak seusianya.
“Elvara,” panggil seorang ibu muda, “anakmu lucu sekali.”
Elvara tersenyum tipis. “Terima kasih.”
Ia tidak menyadari, di luar aula, sebuah mobil berhenti.
Pintu terbuka.
Raska melangkah masuk.
Seragamnya lengkap. Tegap. Bersih. Pangkat Kapten terpasang rapi di pundak, cukup tinggi untuk menarik perhatian, cukup muda untuk membuat orang menoleh dua kali.
Beberapa pasang mata melirik singkat. Di ruangan itu, sebagian tamu memang masih berseragam dinas, datang langsung dari penugasan, tanpa sempat berganti.
Raska salah satunya.
Ia belum pulang ke akademi. Tidak singgah ke mana pun. Dari lapangan, ia langsung menuju tempat ini.
Sabtu malam atau tidak, bagi sebagian orang, tugas tidak mengenal hari.
Langkahnya mantap. Wajahnya tenang. Tatapan lurus.
Satu per satu tangan menyapanya.
“Kapten.”
“Raska.”
“Baru datang?”
Ia menjawab seperlunya. Sopan. Datar. Tidak membuka ruang lebih dari yang diperlukan.
Seorang jenderal memperkenalkannya pada putrinya. Seorang kolonel lain menyelipkan pujian yang terlalu halus untuk disebut basa-basi.
Raska mengangguk. Senyum formal. Tidak bertahan lama.
Lalu—
BRUK!
Sesuatu menabrak pahanya. Raska refleks menunduk.
Seorang bocah. Terhuyung, hampir jatuh, namun segera berdiri lagi.
“Oops—sorry!” ucap bocah itu spontan, logatnya campur.
Raska membeku sepersekian detik.
Bukan karena tabrakan. Melainkan karena wajah yang mendongak menatapnya.
Bentuk mata itu. Lengkung alisnya. Garis hidung kecil yang terlalu familiar. Cara bocah itu berdiri, tegak, tanpa takut, tanpa canggung, seolah dunia selalu menjadi tempat yang aman baginya.
Waktu seakan meloncat jauh ke belakang, menabrak ingatan yang tak pernah ia buka dengan sengaja.
Wajah yang pernah ia lihat di cermin lama. Wajahnya sendiri, saat masih anak-anak.
Dada Raska mengencang.
Ia menurunkan tubuhnya refleks, berlutut sedikit agar sejajar. Gerakannya otomatis, terlatih, namun tatapannya tak seterlatih itu.
“Are you okay?” tanyanya. Suaranya tetap tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang jantungnya baru saja berdetak di luar ritme.
Rava mengangguk cepat. “Yes. I run too fast.”
Raska menatap bocah itu sedikit lebih lama dari yang semestinya.
Terlalu lama untuk sekadar sopan.
Terlalu singkat untuk menjawab gelombang pertanyaan yang tiba-tiba memenuhi kepalanya.
Tatapannya bukan tatapan heran yang terbuka, melainkan tatapan prajurit. Tenang, terkunci, menyembunyikan sesuatu yang berbahaya di balik wajah datar.
Sebuah senyum tipis muncul. Jarang. Nyaris tak ia sadari.
“It’s okay,” katanya pelan.
Rava tidak langsung pergi. Ia justru menatap balik.
Meneliti.
...🔸🔸🔸...
...“Takdir tidak selalu datang dengan nama....
...Kadang ia datang dengan wajah yang terlalu familiar.”...
...“Ia tidak mengenali anak itu....
...Namun tubuhnya mengenali kebenaran lebih dulu.”...
...“Ia telah menghadapi banyak medan....
...Namun tak satu pun melatihnya untuk bertemu masa lalu...
...dalam wujud seorang anak.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Bu Elda sudah membaur dengan para istri perwira yang sebagian wajah lama.
Elvara juga sudah berada di tempat acara. Putranya mendapat pujian dari seorang ibu muda.
Raska - masih memakai seragam lengkap, melangkah masuk.
Sampai saat ketika ada bocah kecil tidak sengaja menabrak pahanya - Raska refleks menunduk. Rava anak pintar, minta maaf.
Takdir telah mempertemukan dua insan sedarah
Pak Prakoso memberikan perhatian yang sangat luar biasa terhadap istri, anak, dan cucu dari koleganya semasa dinas di kemiliteran.
Beliau mengatakan bukan balas budi - tapi kewajiban. Sampai membantu mendaftarkan Elvara dan Adrian sebagai dokter di rumah sakit swasta di dekat rumah yang akan mereka tinggalin. Tapi Adrian beda tempat tinggal dengan Elvara.
apakah malam ini penantian itu breakout dengan bertemunya 3 hati yang selalu terikat walau jarak memisahkan
Masih aman atau bertalu talu ?
Semamgat Terus Kak, Up Babnya kak 🙏🙏🙏
Elvara yang bukan Gasekil lagi - Raska yang melintas di hadapannya berlalu begitu saja. Tak mengenali.
Dua hati berada di ruang yang sama - ikatan yang pernah ada - secara naluri mereka berdua terjadi kontak rasa yang tidak disadari.
Raska dan Elvara sama-sama punya jantung berdebar.