Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Suasana rumah Hagia sangat meriah dan hangat, dengan pasta Henna merah gelap terukir indah di tangannya. Kehadiran kerabat dari luar kota membuat suasana semakin riuh dan menyenangkan. Namun, Hagia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.karena Hanum, kakaknya, tidak bisa hadir di acara pernikahannya.
Hagia berharap Hanum bisa hadir dan menyelesaikan momen penting dalam hidupnya, tapi ia bahwa ada alasan yang membuat Hanum tidak bisa datang. Hagia hanya bisa berharap Hanum bisa menyaksikan kebahagiaan nya dari jauh, dan mendoakan yang terbaik untuknya.
"Hasya juga mau tangannya di walnain." pintanya melihat ukiran Henna di tangan Hagia tampak indah.
Sindi, Henna artist yang sedang mengukir tangan Hagia tertawa pelan. "Hasya mau juga?" tanyanya dengan nada ramah, sontak gadis kecil itu mengangguk. "Nanti, tunggu mbak Putri datang, ya?" bujuknya, Hasya kembali mengangguk meskipun dengan bibir yang manyun.
Senyum lembut terukir di bibir Hagia melihat tingkah putrinya. "Hasya mau di gambar apa tangannya?" pertanyaan itu langsung membuat wajahnya kembali sumringah.
"Hasya mau di gambal bunga matahali, Bunda." jawabnya antusias, membuat orang-orang yang mendengar cedalnya tertawa.
Setelah cukup lama menunggu dan melihat tangan bundanya di hias, akhirnya rekan henne artist Sindi, datang. Putri langsung mengukir tangan mungil Hasya dengan pasta Henna berwarna oranye, sesuai permintaan gadis kecil itu. Dan sebuah ukiran bunga matahari berwarna oranye terlihat manis di punggung tangan Hasya, membuat gadis kecil itu terus-terusan tersenyum dan memamerkan nya pada semua orang.
.....
Jika di rumah Hagia terlihat ramai dan meriah, berbeda dengan di kediaman Abah Yai Khalid. Rumah itu tampak lebih sunyi dari biasanya, sejak kepulangan Abah Yai Khalid dari tanah suci, ia belum menemukan putrinya yang manja dan banyak bicara.
Hilya, gadis itu lebih pendiam dan terkesan menghindari abahnya. Begitu juga dengan umi Maryam, beliau tidak seperti biasanya. Namun saat Abah Yai Khalid bertanya, keduanya menjawab jika mereka baik-baik saja, dan perubahan sikap kedua wanita yang paling berarti dalam hidupnya, hanya perasaannya saja.
Setelah selesai makan malam, seluruh anggota keluarga Abah Yai Khalid berkumpul di ruang tengah, ada beberapa hal yang akan disampaikan oleh sang kepala keluarga. Sebelum nantinya mereka akan kembali sibuk di pesantren.
Abah Yai Khalid menatap satu persatu wajah anak dan istrinya, terlihat Hilya dan umi Maryam menundukkan kepalanya, Gus Hanan juga sama. Pria dengan kumis tebal itu berdehem sebelum memulai bicara.
"Besok Abah mau sambang ke Al-Hidayah, sekaligus menghadiri pernikahan Gus Biru." katanya, membuat Hilya menahan napas, merasakan nyeri dalam hatinya. "Di antara umi, Ning, dan Gus Hanan. Siapa yang mau ikut?" tanyanya.
Gus Hanan langsung menyela. "Maaf, Abah. Bagaimana dengan Mas Hanafi?" tanyanya. Sebab sang ayah tidak menyebut nama putra sulung nya.
Abah Yai Khalid tertawa kecil dan menjawab, "Gus Hanafi mendampingi para santri yang ikut lomba Tilawatil Qur'an di Islamic center yang ada di kecamatan. Karena itu, Abah mengajak salah satu diantara kalian bertiga." katanya menjelaskan.
Hilya mengangkat wajahnya dan berkata, "Maaf, Bah. Ning gak bisa menemani Abah." katanya pelan sambil meremas tangannya satu sama lain, Abah Yai Khalid mengangguk paham. "Kalau gitu, Ning ke kamar dulu." pamitnya beranjak menuju kamarnya.
Kini Abah Yai Khalid menunggu jawaban dari umi Maryam dan Gus Hanan. Keduanya masih diam dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing. "Umi gak mau menemani, Abah?" celetuk Gus Hanafi. "Sudah lama Abah sama Umi gak pergi sama-sama." imbuhnya bijak.
Umi Maryam langsung menegang, ia melihat kearah putra sulungnya dan sang suami. "Betul apa yang di bilang sama, Mas Hanafi." timpal Gus Hanan merasa lega. "Hanan besok ada hafalan hadist sama anak-anak. Kasian mereka kalau di tunda." sambungnya.
Umi Maryam hanya bisa menghela napas pasrah, kalau sudah begini, ia tidak akan bisa mengelak lagi. "Ya sudah, umi yang mendampingi Abah." katanya. "Sekalian jalan-jalan," katanya dengan memaksakan senyumnya. Abah Yai Khalid menanggapi nya dengan anggukan pelan.
....
Hilya menangis dalam diam, menyembunyikan kesedihan dan sakit hatinya. Dia tahu bahwa Biru tidak bersalah, bahwa dia sendiri yang telah jatuh cinta dan membangun obsesi terhadap Biru. Statusnya sebagai istri rahasia membuatnya merasa tidak lengkap, tidak memiliki hak untuk menuntut apa-apa dari Biru.
Hilya menyadari bahwa ia yang bersalah, telah membiarkan perasaannya menguasai dirinya. Ia tahu jika Biru tidak pernah menjanjikan apa-apa, tidak pernah memberikan harapan. Namun, hatinya tidak bisa menerima kenyataan itu, tidak bisa melepaskan perasaan cintanya.
Dalam kesedihan dan sakit hatinya, Hilya hanya bisa menangis, membiarkan air matanya mengalir, untuk mengatakan seberapa sakit yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Saat Hilya tengah larut meresapi sakitnya, sebuah ketukan pintu membuat gadis itu menyeka air mata yang membasahi pipinya. "Abah," cicitnya pelan, melihat Abah Yai Khalid berada di ambang pintu.
Abah Yai Khalid menatap sendu putrinya yang lagi-lagi menangis. "Boleh Abah masuk?" tanyanya, Hilya mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Abah Yai Khalid masuk dan mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, ia menarik napas dalam-dalam, prihatin melihat kondisi Hilya.
"Ning, menangisi Gus Biru?" tanyanya lembut.
Hilya tidak langsung menjawab, ia melihat wajah tua pria yang selalu mencintainya. Tanpa terasa, lelehan air matanya kembali membasahi pipi.
"Maafin Ning, Abah." katanya sambil menunduk.
Abah Yai Khalid paham, jika tidak semudah itu untuk melepaskan perasaan cinta dalam hati Hilya. Apalagi cinta itu tumbuh sejak lama, ia sangat sadar jika putrinya akan melewati masa-masa kesakitan seperti ini.
Tangannya terulur menepuk-nepuk lembut, punggung Hilya yang bergetar karena menangis, memberikan rasa nyaman dan aman. "Abah tidak akan memaksa mu melupakan Gus Biru sekarang." Abah Yai Khalid menghela napas berat. "Yang Abah minta, berusahalah untuk melepaskan perasaan cinta itu. Sebab, Abah tidak ingin melihat mu terus-terusan tersiksa." tuturnya lembut.
Tubuh Hilya semakin bergetar mendengar nasehat bijak itu, rasa bersalah tentu menyeruak dalam hatinya. Abah Yai Khalid adalah sosok ayah yang hampir sempurna. Di sela-sela kesibukannya mengurus ribuan santri, undangan dakwah, bepergian mendampingi jemaah umroh, dan haji. Beliau selalu menyempatkan diri untuk berbicara dari hati ke hati dengan anak-anaknya.
Termasuk Hilya. Bahkan saat Hilya masih kecil, Abah Yai Khalid menyempatkan diri untuk menemani nya bermain barbie. Beliau berusaha semaksimal mungkin agar anak-anaknya tidak kekurangan kasih sayang, menyiapkan bahu dan telinganya, untuk mendengar keluh kesah dari putra putrinya.
Ya, Hilya tahu jika Abah Yai Khalid hanya ingin yang terbaik untuknya, ia berterima kasih atas kasih sayang dan perhatian itu. Meskipun kenyataannya, ia sudah membuat kecewa sang ayah. Hilya tidak bisa membayangkan sehancur apa ayahnya jika mengetahui kebenaran yang ia sembunyikan. Namun, dalam hatinya sama sekali tidak menyesal menikah dengan Biru, sekalipun hanya menjadi istri rahasia.
*
*
*
*
*
TBC