Gayatri, seorang ibu rumah tangga yang selama 25 tahun terakhir mengabdikan hidupnya untuk melayani keluarga dengan sepenuh hati. Meskipun begitu, apapun yang ia lakukan selalu terasa salah di mata keluarga sang suami.
Di hari ulang tahun pernikahannya yang ke-25 tahun, bukannya mendapatkan hadiah mewah atas semua pengorbanannya, Gayatri justru mendapatkan kenyataan pahit. Suaminya berselingkuh dengan rekan kerjanya yang cantik nan seksi.
Hidup dan keyakinan Gayatri hancur seketika. Semua pengabdian dan pengorbanan selama 25 tahun terasa sia-sia. Namun, Gayatri tahu bahwa ia tidak bisa menyerah pada nasib begitu saja.
Ia mungkin hanya ibu rumah tangga biasa, tetapi bukan berarti ia lemah. Mampukan Gayatri membalas pengkhianatan suaminya dengan setimpal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GAYATRI 04
Wira berbalik menghadap putra pertamanya dan tersenyum dengan teduh. "Memang tidak salah, hanya saja, momennya tidak tepat. Sikapmu juga terlalu berlebihan, Mahesa. Kenapa kau langsung menampar putramu tanpa bertanya lebih dulu?"
Bibir Mahesa terkatup rapat, tak tahu harus menjawab apa. Ia bereaksi terlalu cepat saat Nadya berkata bahwa putranya sudah bersikap tidak sopan.
"Dan kau, Nadya."
Wira berbalik menatap Nadya yang sedari tadi hanya diam, menyaksikan dan mendengarkan pertengkaran yang terjadi di rumah itu.
"I-iya," sahutnya, gugup. Ia maju beberapa langkah setelah mendapat isyarat tangan dari Wira.
"Kami bukannya tidak mau menghargai ataupun tidak senang melihatmu di sini. Kami turut bahagia dengan pencapaianmu, Nak. Tetapi, situasi di rumah ini sedang memanas, alangkah baiknya jika Nadya pulang dulu ke rumah," kata Wira, secara tak langsung mengusir Nadya keluar.
Meski enggan pergi meninggalkan Mahesa, apalagi mereka baru saja hendak merayakan keberhasilannya, tetapi Nadya tetap mengangguk dan mulai melangkah keluar rumah usai berpamitan.
"Maafkan aku, Nadya. Aku—"
"Sudahlah. Jangan dibahas lagi. Aku akan pulang sekarang, sampai jumpa di kantor besok." Nadya melangkah pergi sambil melambaikan tangan.
"Hati-hati, kabari aku jika kau sudah sampai rumah," pesan Mahesa sebelum Nadya benar-benar memasuki mobilnya.
Sementara itu, di kamar Keandra. Gayatri masih mencoba membujuk sang putra. Tetapi, putranya itu sama sekali tak menggubris semua bujuk rayu sang ibu.
"Andra," panggil Gayatri lembut. "Jangan marah lagi, Nak."
Keandra menoleh, "Aku tidak marah, Bu. Aku hanya kecewa. Mereka selalu seperti itu, mereka lupa hal-hal penting tentang Ibu."
Gayatri tersenyum, mengusap lembut kepala sang putra, seperti yang biasa dilakukannya. "Wajar saja jika mereka lupa, Nak. Kakek dan nenekmu itu sudah tua, sementara ayahmu banyak pekerjaan."
"Tapi …."
"Tapi putraku mengingat ulang tahun ibunya. Itu saja sudah cukup. Yang terpenting bukan perayaannya, Nak."
Keandra tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk ibunya. "Maafkan Andra, ya, Bu."
"Iya, lain kali jangan diulangi lagi. Oke? Ibu tidak suka melihat Andra marah-marah seperti tadi, apalagi sampai membentak ayah sendiri."
"Andra mengerti, Bu." Keandra tersenyum, kemudian meninggalkan satu kecupan hangat di pipi sang ibu. "Keandra punya hadiah untuk Ibu."
"Apa itu?" tanya Gayatri antusias.
Keandra lalu beranjak dari duduknya dan mengambil sebuah kotak yang sudah dibungkus dengan kertas kado dari dalam lemarinya.
Ia menyerahkan kotak itu kepada sang ibu. "Hadiah kecil untuk ibu paling hebat di dunia,' kata Keandra setengah memuji. "Aku sudah menyiapkannya selama satu minggu. Semoga Ibu menyukainya. Yah, hadiahnya mungkin tidak seberapa, tapi—"
"Apapun yang Keandra beri untuk Ibu, semua itu pasti berharga dan bagus. Terima kasih, Nak." Gayatri memeluk sang putra dengan haru.
Ia bersyukur, karena di saat semua orang lupa tentang ulang tahunnya, sang putra justru bersusah payah untuk menyiapkan kado ulang tahun untuknya.
"Boleh Ibu buka hadiah ini?" tanyanya meminta izin.
Keandra mengangguk, tak sabar melihat reaksi sang ibu ketika tahu hadiah apa yang ia berikan.
Namun, belum sempat Gayatri membuka hadiahnya. Suara putra sulungnya terdengar nyaring memanggilnya. Gayatri dan Keandra saling berpandangan.
Gayatri tergopoh-gopoh menghampiri putra sulungnya. “Ada apa? Kenapa berteriak-teriak?” tanyanya pada Keenan yang sudah duduk di sofa.
Wajah putra sulungnya itu tampak lelah usai bekerja seharian.
Keenan menatap ibunya dengan kesal, ia langsung berdiri begitu melihat sang ibu datang. “Ibu dari mana saja, sih? Aku haus dan lapar, tapi tidak ada makanan apa pun di dapur,” keluhnya.
“Iya, Ibu belum masak, Nak. Tadi ada—”
“Apa? Ibu belum masak? Ya ampun, Bu. Aku makan apa kalau begitu? Ibu tega, ya?” tuduh keenan tanpa bertanya ataupun mendengarkan penjelasan sang ibu terlebih dahulu.
Keandra yang sedari tadi mengikuti Gayatri, maju ke depan, menghadapi sang kakak. “Kau benar-benar keterlaluan, Kak.”
“Hei, apa maksudmu? Jangan bersikap tidak sopan pada kakakmu sendiri, ya. Aku lelah sehabis bekerja dan kuliah.” Keenan tampak tak suka dengan sikap Keandra.
Keduanya mulai adu mulut dan cekcok seperti biasanya. “Aku tahu kau lelah, Kak. Tetapi setidaknya dengarkan ucapan ibu dulu sampai selesai.”
“Memangnya kenapa?” tanya Keenan setengah memelotot. Tatapan tajamnya seolah menantang sang adik untuk beradu argumen.
“Aku lelah, Dra. Aku orang sibuk, tidak seperti kalian yang hanya berdiam di rumah seharian,” katanya menohok.
“Wah! Kau memang hebat, Kak. Kau luar biasa, kau bahkan sudah seperti ayah sekarang. Pandai menghina pekerjaan orang,” balas Keandra dengan berani.
“Keandra!” bentak Keenan tak terima.
“Apa? Itu benar, kan? Kalian selalu saja meremehkan pekerjaan ibu rumah tangga. Padahal, tanpa ibu, kalian sama sekali tidak bisa apa-apa!”
“Diam kau, Keandra!”
“Kau yang di—”
“Cukup! Hentikan!” seru Gayatri, berdiri di tengah-tengah kedua putranya. Ia menatap kedua putranya bergantian.
“Berapa usia kalian? Kalian sudah dewasa, tapi masih saja bertengkar seperti anak kecil,” kata Gayatri, membuat kedua putranya terdiam seketika.
“Keandra, kembali ke kamarmu sekarang. Jangan mendebat kakakmu lagi,” ucapnya pada Keandra.
Pria itu langsung menuruti perkataan sang ibu untuk kembali ke kamar. Sementara Keenan masih di sana, menatapnya dengan tatapan tajam.
“Ibu terlalu memanjakan putra ibu yang satu itu, dan lihatlah Keandra sekarang. Dia berani membantah kakaknya sendiri,” keluh Keenan seraya merapikan kemejanya yang berantakan.
“Ibu tidak pernah memanjakan salah satu dari anak-anak Ibu, Ken. Ibu menyayangi kalian semua tanpa terkecuali.” Gayatri tersenyum lembut.
Keenan hanya terdiam, alih-alih mendengarkan sang ibu, ia justru fokus dengan ponselnya. Bertukar pesan dengan sang kekasih hati.
“Kau pasti lapar, kan? Tunggu di sini, ibu buatkan makanan, ya.” Tanpa menunggu persetujuan dari sang putra, Gayatri langsung pergi ke dapur untuk memasak.
Tangannya sudah sangat terlatih memotong sayuran. Salah satu keahlian yang sangat ia gemari adalah memasak. Gayatri bahkan bercita-cita menjadi seorang juru masak.
Namun, mimpinya harus kandas di tengah jalan saat lamaran dari Mahesa datang padanya. Keadaan keluarga yang tak mendukung pendidikannya membuat Gayatri harus rela mengubur mimpinya dalam diam.
Dua puluh menit berkutat di dapur. Akhirnya, masakan Gayatri telah matang. Ia menyiapkannya di piring dan siap menyajikannya pada Keenan. Membayangkan sang putra yang makan dengan lahap membuat Gayatri tersenyum bahagia.
“Keenan! Makanan sudah siap,” ucap Gayatri dengan riang seraya membawa nampan berisi masakannya juga air minum.
Namun, bertepatan dengan itu, Kaluna pulang. Gadis itu membawa bingkisan di tangannya. “Aku pulang,” katanya sambil berjalan ke ruang tamu.
Keenan yang penasaran lantas bertanya. “Hei, apa yang kau bawa itu? Kelihatannya kau bahagia sekali.”
Kaluna meletakkan bingkisan berisi makanan cepat saji itu ke meja dan mengeluarkannya satu persatu. Ada burger, kentang goreng dan soda.
“Ini hadiah dari Ayah, Kak. Hari ini guruku memuji presentasi buatanku!” terangnya dengan riang.
Gayatri yang mendengarnya ikut bahagia dengan keberhasilan sang putri. Ia mendekati kedua anaknya dengan senyuman bangga dan bahagia. Gayatri meletakkan makanan yang dimasaknya di meja, berharap Keenan akan memakannya bersama dengan Kaluna.
Karena tak ingin mengganggu waktu kebersamaan Kaluna dan Keenan, ia memilih kembali ke dapur untuk memilah buah dan sayur yang sudah ia beli di pasar. Namun, meskipun sibuk, Gayatri tetap bisa mendengar cerita Kaluna.
“Untung saja presentasiku berjalan lancar. Semuanya berkat tips dari Tante Nadya. Aku benar-benar gugup karena tidak memiliki waktu untuk latihan, Kak.”
Sambil memotong bawang, Gayatri ikut mendengarkan cerita sang putri dari dapur. Diam-diam, ia juga berterima kasih pada Nadya yang sudah membantu putrinya.
“Kau seharusnya datang lebih awal agar bisa mempersiapkan presentasi dengan baik,” saran Keenan seraya melahap burger yang dibawa Kaluna tadi.
“Itu dia masalahnya, Kak. Aku terlambat datang ke sekolah karena ibu tidak membangunkanku!” Kaluna mencebik kesal.
Mendengar itu, Gayatri merasa bersalah pada putrinya. “Maafkan ibu, Nak. Lain kali ibu tidak akan mengulanginya,” gumam Gayatri.