NovelToon NovelToon
Bukan Sistem Biasa

Bukan Sistem Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Kultivasi Modern / Dikelilingi wanita cantik / Sistem
Popularitas:18.5k
Nilai: 5
Nama Author: Sarif Hidayat

Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
​Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
​Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
​Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
​[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
​Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29 Tak ingin meperpanjang masalah

​"BERHENTI! APA YANG TERJADI DI SINI!"

​Suara teriakan itu memecah keheningan absolut yang menyelimuti aula, menghentikan Rama yang hampir berbicara lagi.

​Semua mata, baik Rama, Deni yang terkapar, Bela, murid-murid lain, bahkan ketiga pengikut Deni yang merintih, sontak menoleh ke arah lorong ruang Kepala Sekolah.

​Di sana, berdiri seorang pria paruh baya dengan postur tegas, mengenakan kemeja batik yang rapi, dan wajah yang memancarkan kekesalan luar biasa. Dia adalah Pak Guntur, Kepala Sekolah SMA Bakti—sekaligus ayah kandung Deni.

​Melihat kehadiran ayahnya, Deni yang tadinya menahan sakit, segera mengubah rintihannya menjadi jeritan kesakitan yang dramatis.

​"Ayah! Toloong! Pemuda brengsek ini menyerangku!" seru Deni, berusaha merangkak mendekati ayahnya dengan ekspresi menyedihkan, darah masih mengalir dari hidungnya yang memar.

​Melihat kondisi putranya, raut wajah Pak Guntur seketika berubah. Amarahnya memuncak. Ia mengabaikan tatapan puluhan siswa yang menonton dan langsung menghampiri Deni.

​"Deni, siapa yang melakukan ini padamu?!" Pak Guntur bertanya dengan nada yang sedikit bergetar karena emosi.

​"Di-dia, Yah! Si Rama sialan itu! Dia tiba-tiba menyerang kami semua tanpa alasan. Lihat Ayah, teman-temanku juga terluka parah!" Deni menunjuk ke tiga murid pengikutnya yang masih berguling-guling di lantai, memperparah dramanya.

​Pak Guntur mengangkat pandangannya, kini fokusnya beralih ke Rama. Ia menatap pemuda itu dengan tatapan penuh tuduhan dan penghakiman.

​Sementara semua drama itu berlangsung, di antara kerumunan, ekspresi para siswa masih bercampur antara terkejut dan bingung.

​"Astaga, itu Kepala Sekolah..." bisik seorang siswi.

​"Rama akan berada dalam masalah besar sekarang. Deni pasti akan mengadu dan dibela ayahnya," timpal temannya.

​Bela, yang berdiri tak jauh dari Rama, wajahnya kini pucat pasi. Ia sudah memperkirakan ini akan terjadi. Ketiga temannya, yang tadinya terkejut karena kecepatan Rama, kini kembali sadar. Mereka segera mendekati Bela, menarik-narik lengannya.

​"Bel, ayo kita pergi saja! Ini urusan Rama dan Kepala Sekolah. Kita tidak mau terlibat," bisik salah satu temannya panik.

​"Tidak! Aku tidak akan meninggalkan Kak Rama sendirian," tolak Bela tegas, matanya terpaku pada Rama.

​Rama sendiri, di tengah suasana tegang dan penuh drama itu, tetap berdiri dengan tenang. Ekspresinya datar, menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak gentar, bahkan saat dihadapkan langsung dengan ayah Deni.

​"Rama! Jelaskan padaku sekarang juga! Apa yang sebenarnya terjadi di sini?!" Pak Guntur membentak, suaranya menggema di sana. Ia sudah tidak peduli dengan citra formalnya sebagai Kepala Sekolah di depan murid-murid.

​Rama menghela napas pendek, lalu mengedarkan pandangan sekilas ke Deni yang masih merengek, lalu ke Pak Guntur.

​"Tidakkah Anda melihatnya sendiri, Pak Kepala Sekolah?" jawab Rama santai, tanpa menggunakan nada hormat sedikit pun.

​Jawaban Rama yang kelewat santai itu justru memancing kemarahan Pak Guntur.

​"Berani-beraninya kamu berbicara seperti itu! Kamu tidak lihat kondisi Deni? Kamu menyerangnya di tengah sekolah, di depan banyak saksi mata, dan kamu masih bersikap angkuh?!"

​"Tentu saja saya melihatnya, Pak. Wajah Deni memang terlihat menyedihkan. Tapi, apa Anda tidak melihat bagaimana anak Anda dan pengikutnya yang memulai ini semua? Mereka mencoba melakukan perundungan lagi," balas Rama, menekan kata 'anak' dengan sengaja.

​Deni yang mendengar itu sontak memotong, "Bohong! Ayah, dia yang tiba-tiba datang dan mengatai kami sampah!"

​"Ya, aku memang mengatai kalian sampah. Karena memang kalian tidak lebih dari sampah yang menjijikkan," Rama membalas tanpa basa-basi, membuat Pak Guntur membelalakkan mata.

​Ini gila. Tidak ada satu pun siswa di sekolah ini, bahkan guru sekali pun, yang berani berbicara sefrontal ini kepada Pak Guntur dan putranya.

​"Kau keterlaluan, Rama!" Pak Guntur menunjuk Rama, tangannya gemetar menahan amarah. "Apa hakmu mengatakan hal seperti itu? Saya tidak terima! Kamu telah melakukan kekerasan di lingkungan sekolah, dan ini adalah tindakan kriminal!"

​"Kriminal?" Rama tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya. "Jika Anda berbicara tentang kriminal, bukankah Deni dan pengikutnya adalah kriminal yang sebenarnya? Mereka hampir setiap hari mengganggu dan memukuli murid lain. Bahkan saya sendiri pernah menjadi korban anak Anda, Pak Guntur. Apakah tindakan itu bukan tindakan kriminal?"

​Kata-kata Rama menusuk telinga Pak Guntur. Ia tahu, reputasi Deni memang buruk. Tapi, tidak ada yang berani membukanya di depan umum seperti ini. Apalagi, hal itu dilakukan oleh murid yang sebentar lagi akan keluar dari sekolah ini.

​"Itu tidak ada hubungannya dengan masalah saat ini! Sekarang kamu yang melakukan kekerasan! Kamu akan diinterogasi. Ikut saya ke ruang Bimbingan Konseling sekarang!" perintah Pak Guntur, tidak ingin memperpanjang perdebatan yang bisa merusak citranya di depan para siswa yang menonton.

​[DING! Misi Selesai: Kalahkan Deni dengan santai dan mempermalukannya di depan umum. Hadiah Keberhasilan: Surat izin resmi pindah sekolah dari SMA Bakti, yang sudah tersimpan di profil penyimpanan milik tuan rumah]

​Mendengar notif keberhasilan dari Sistemnya, senyum samar terbit di bibirnya, akhirnya ia pun tidak perlu lagi meminta surat tersebut pada pihak sekolah.

​"Saya tidak perlu diinterogasi, Pak Kepala Sekolah," jawab Rama tenang, membuat Pak Guntur dan semua orang terkejut.

​"Apa maksudmu?!"

​"Awalnya saya datang memang untuk bertemu anda, saya ingin mengajukan surat pindah sekolah sekaligus berpamitan kepada para guru di sekolah ini, Namun, setelah insiden ini, saya rasa saya tidak perlu lagi bertemu Anda. Urusan saya di sekolah ini sudah selesai."

​Rama sengaja mengucapkan kata-kata itu dengan lantang dan percaya diri.

​"Apa-apaan! Kau pikir sekolah ini tempat bermainmu?! Tidak ada pindah sekolah sebelum kamu mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" Pak Guntur berteriak, menunjukkan otoritasnya.

​"Anda sendiri yang bilang ini adalah tindakan kriminal, bukan? Saya rasa, jika memang harus diproses hukum, biar saya yang laporkan anak Anda ke polisi atas kasus perundungan berulang. Tapi, karena saya sudah lelah, saya memilih pindah sekolah. Jadi, saya rasa tidak ada lagi yang perlu dipertanggungjawabkan di sini. Kecuali, jika Anda ingin saya membongkar semua aib anak Anda di depan publik," ancam Rama, nada suaranya tetap santai, tetapi mengandung tekanan yang dingin.

​Ancaman itu berhasil membuat Pak Guntur terdiam sejenak. Jika masalah ini sampai ke pihak berwajib, yang akan hancur bukan hanya Deni, tetapi juga reputasinya sebagai kepala sekolah di sekolah ini.

​Pak Guntur mengepalkan tangannya di balik punggung, mencoba menenangkan diri. Dia menatap Deni, lalu kembali menatap Rama dengan tatapan penuh kebencian.

​"Baiklah! Kalau begitu, kita selesaikan ini di ruang interogasi," desis Pak Guntur, mencoba mencari jalan keluar yang paling aman untuk citranya. apalagi beberapa guru mulai berdatangan karena keributan tersebut,

​"Tidak, Kak Rama! Jangan pergi!" Tiba-tiba, Bela berlari dan menahan lengan Rama. "Pak Kepala Sekolah, ini tidak adil! Deni dan teman-temannya yang memulai! Saya saksinya! dan semua orang yang ada di sini juga menyaksikannya, Mereka yang memancing Kak Rama!"

​Pak Guntur menoleh ke Bela dengan tatapan tajam. "Kamu diam,! Kamu hanya ingin membela temanmu! Sekarang, semua kembali ke kelas masing-masing! Dan kamu Rama, ikut saya!"

​Bela menggigit bibirnya, air matanya mulai menggenang. "Tapi, Pak..."

​"Jangan khawatir. Masalah ini akan cepat selesai," bisik Rama lembut, ia memutuskan untuk mengikuti kepala sekolah itu, lagipula ini adalah hari terakhir ia di sekolah itu, dan setelah ini ia tidak akan lagi berurusan dengan sekolah yang menurutnya tak memiliki aturan yang adil ini,

Rama menyentuh pundak Bela dan memberinya senyum meyakinkan. Senyum itu membuat kecemasan Bela sedikit mereda.

​Rama kemudian melepaskan genggaman Bela, dan tanpa perlawanan, ia mengikuti Pak Guntur berjalan menuju lorong.

​Saat Rama dibawa pergi, keheningan kembali menyelimuti aula. Semua murid hanya bisa menyaksikan kepergian Rama dengan tatapan tak percaya.

​"Dia benar-benar melawan Kepala Sekolah!"

Ayu teman bela, ada kekaguman di hatinya melihat keberanian Rama,

​"Dia sangat berani.. dan dia terlihat sangat berbeda dari Rama yang sebelumnya," kata seorang siswa lain.

​Bela berdiri mematung. Ia menatap kepergian Rama ke ruang interogasi, hatinya dipenuhi perasaan cemas yang menusuk. Ia ingat bagaimana Rama pernah dipukuli tanpa ampun. Meskipun Rama baru saja menunjukkan kekuatan yang luar biasa, rasa khawatir itu tetap mendominasinya.

​Di Ruang Interogasi (Ruang BK)

​Pak Guntur duduk di hadapan Rama dengan wajah kaku. Ruangan itu hanya berisi mereka berdua. Deni ke tiga temannya sudah dibawa pergi oleh beberapa guru untuk mendapat pertolongan pertama.

​"Duduk," kata Pak Guntur, nada bicaranya kini begitu datar, mencoba kembali pada citra Kepala Sekolah yang tenang namun terkesan penuh penekanan,

​Rama duduk di kursi yang disediakan, bersikap santai seolah dia sedang menunggu teman.

​"Anda tidak perlu berbasa-basi, Pak. jujur saja, saya tidak ingin memperpanjang masalah ini. lagipula Anda tidak ingin citra sekolah Anda hancur, bukan? Apalagi dengan status anak Anda sebagai pelaku perundungan," ujar Rama, langsung menusuk ke inti masalah.

​"Hm.. Kamu mengancam saya?" Pak guntur menatap dingin Rama, entah kenapa ia merasa ada yang salah dengan muridnya sekolahnya itu, ia memang tidak begitu memperhatikan semua siswa di sekolahnya, tetapi ia tahu bahwa putranya sering kali membuli anak ini, dan yang anehnya setelah beberapa bulan tidak masuk sekolah, anak ini justru terlihat berbeda dari sebelumnya.

"Saya hanya mengingatkan bapak. selama ini saya sudah cukup diam atas prilaku deni yang sering menganggu saya selama sekolah di sini, dan saya juga tau bapak tidak pernah menanggap serius setiap kali ada murid yang datang melaporkan atas apa yang putra bapak lakukan,"

Ucap Rama dengan nada tenang namun menusuk, "namun meski begitu, bapak harusnya sebagai seorang pemimpin di sekolah ini bersikap adil tanpa membeda-bedakan para murid terutama putra bapak sendiri yang juga tak lain memiliki kedudukan yang sama dengan murid lainnya," lanjut rama,

"Sudah cukup, Kamu hanya ingin surat kepindahan sekolah bukan.? saya akan menyiapkannya untukmu, tetapi sebelum itu.. ingin kamu meminta maaf pada deni dan buat pernyataan bahwa kamulah yang memulai duluan,"

Rama langsung mengerutkan kening mendengarnya, ternyata memang bapak sama anak sama saja, pikirnya.

"Maaf.. saya sudah tak membutuhkan surat itu lagi, dan saya mengikuti bapak ke ruangan ini tidak lain agar kedepannya bapak lebih bijak lagi menjadi seorang pemimpin di sekolah ini,"

"Masalah saya dengan deni sudah cukup sampai di sini, dan saya harap bapak benar-benar mendengarkan saran saya,! Terimakasih atas waktunya, saya mohon pamit,"

Tanpa menunggu jawaban dari pak guntur Rama langsung keluar dari ruangan itu, meninggalkan pak guntur yang terdiam tanpa kata.

"Aneh sekali, sejak kapan anak itu begitu berani,.. " gumam pak guntur,

"Ayah.. kenapa apa yang ayah bicarakan dengannya, kenapa ayah membiarkan dia pergi saja... "?

Tepat pada saat itu, deni masuk dengan luka memar di wajahnya yang masih terlihat jelas, ia berpapsan dengan Rama saat kelaur dari ruangan itu,

1
Was pray
amat pendek
Cihuk Abatasa (Santrigabut)
lanjut
Memyr 67
𝖽𝗂𝗍𝗎𝗇𝗀𝗀𝗎 𝗄𝖾𝗅𝖺𝗇𝗃𝗎𝗍𝖺𝗇𝗇𝗒𝖺
Was pray
ceritanya lumayan menarik tapi up nya gak pasti
Memyr 67
𝗇𝖺𝗆𝖺 𝗍𝖾𝗆𝖺𝗇 𝖺𝗒𝖺𝗁𝗇𝗒𝖺 𝗋𝖺𝗆𝖺 𝗌𝗎𝗉𝗋𝗂𝖺𝖽𝗂 𝖺𝗍𝖺𝗎 𝗌𝗎𝗁𝖺𝗋𝖽𝗂? 𝗄𝗈𝗄 𝗀𝖺𝗇𝗍𝗂 𝗀𝖺𝗇𝗍𝗂?
Akamcad949: ah terimkasih udah di kasih tau, maaf mungkin ada sedikit typo di sana🙏
total 1 replies
kenzo
crazy up Thor
TUAN AMIR
mantap Thor. sambung lagi. ceritanya menarik 👍👍
Fatkhur Kevin
deni sampah
Saepul Laut
mantap bos ku
Rhagiel
saya sih oke....hihihiiiiii 🫣
Abdul Khoidir Hatala
keren
Abdul Khoidir Hatala
lanjutkan Thor
Durma Imamudin
cukup menghibur
Andira Rahmawati
buah naganya buat bela aja ..q juga suka☺️..
lanjut thorrrr💪💪💪
Andira Rahmawati
cerita yg menarik...👍👍👍
Cihuk Abatasa (Santrigabut)
Nice Thor
Santoso
Kayak jadi ikut merasakan cerita yang dialami tokohnya.
shookiebu👽
Keren abis! 😎
Odalis Pérez
Gokil banget thor, bikin ngakak sampe pagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!