Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Daren Tahu
Ada rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.
Selena tahu itu sejak awal—sejak dua garis merah muncul di stik tes kehamilan, sejak dokter memanggil namanya dengan suara lembut, sejak amplop putih bergambar logo rumah sakit itu berpindah ke tangannya.
Di dalam amplop itu ada satu kalimat yang bisa mengubah masa depan: “RESULT : POSITIVE.”
Masalahnya bukan tentang kehamilan itu sendiri.
Masalahnya adalah Daren.
Pria dengan senyum lembut dan tangan hangat yang kini tidur di samping anaknya—Arunika—yang bukan darah Selena, tapi sudah mengisi ruang paling besar di hatinya.
Selena menatap amplop itu dengan tangan gemetar.
Jika ia berkata jujur, ia takut semuanya bisa berubah.
Hubungannya dengan Daren. Ketenangan kecil yang baru mereka bangun. Bahagia yang baru saja terasa stabil.
Dan yang paling ia takuti bukan tentang menjadi ibu.
Melainkan ketakutan menjadi alasan seseorang kehilangan tempatnya di hati Daren.
Karena di balik amplop putih itu—ada kemungkinan hancurnya keluarga kecil yang baru saja terbentuk.
Dan malam ini, ia harus memilih:
Kejujuran… atau kehilangan.
---
Selena berdiri di depan pintu kamar sambil menggenggam amplop putih berisi hasil tes dari rumah sakit. Amplop itu kecil—tapi terasa jauh lebih berat daripada batu. Jemarinya sedikit bergetar, bukan karena kedinginan, melainkan karena ketakutan yang tak bisa ia definisikan.
Ia menarik napas panjang.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
“Ayo, Sel. Lo harus jujur. Kak Daren berhak tahu… kalau ada anaknya di dalam perut lo.”
Ia berbisik pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terasa seperti palu godam di dada.
Perlahan, Selena memutar gagang pintu dan masuk.
Aroma lavender dari diffuser langsung menyambutnya, berpadu dengan suara pelan dongeng Disney yang masih menyala di TV. Suasananya tenang—hangat—damai.
Dan di sanalah pemandangan yang selalu berhasil membuat dadanya mencair:
Arunika tertidur di pangkuan Daren sambil memeluk bantal kecil bergambar kelinci.
Daren menutupi tubuh mungil itu dengan selimut tipis, lalu menepuk punggung Arunika pelan dengan ritme yang sabar dan penuh kasih.
Daren menoleh begitu mendengar pintu terbuka.
“Udah selesai?” bisiknya pelan, takut membangunkan Arunika.
Selena mengangguk, suaranya nyaris tak terdengar. “Aru tidur?”
“Capek kayaknya,” jawab Daren sambil tersenyum kecil. “Tadi pas makan aja, kamu lihat kan? Mukanya kayak udah ngantuk banget.”
Daren tertawa pelan, tapi hati Selena justru mencelos.
Amplop yang ia genggam terasa semakin berat.
Daren berdiri perlahan agar tidak membangunkan Arunika, lalu berjalan mendekat. Satu tangan hangatnya terangkat, menyentuh pipi Selena lembut.
“Kamu kenapa? Capek? Wajah kamu pucat banget.”
Nada khawatir itu begitu tulus. “Kalau capek, jangan dipaksain, Sel. Aku kan udah bilang, nggak usah bantu Bi Nana kalau badan kamu nggak enak.”
Selena menelan ludah. Kata-kata yang sudah ia susun berkali-kali di kepalanya seperti tercekat di tenggorokan.
Aku hamil.
Kita akan punya bayi.
Tapi yang keluar justru—
“Enggak… aku cuma kecapekan.”
Padahal, bukan itu yang ingin ia katakan. Namun melihat Daren menggendong Arunika seperti itu—hangat, sabar, penuh kasih—ketakutan tiba-tiba menyergapnya.
Ketakutan bahwa ia akan merusak keseimbangan kecil yang baru terbentuk ini.
Ketakutan bahwa kehadiran bayi baru akan mengubah semuanya.
Selena menggenggam amplop itu semakin erat di belakang tubuhnya.
Dan untuk sementara…
dia memilih diam.
---
Pagi hari datang dengan cahaya lembut yang menembus tirai kamar.
Selena terbangun dengan perasaan aneh di perutnya, seperti ada gelombang yang naik dari lambung menuju tenggorokan. Ia menutup mulut sambil menahan napas, berharap mual itu hilang… tapi tidak.
Detik berikutnya ia berlari ke kamar mandi.
Suara muntahan terdengar, membuat tubuhnya gemetar. Selena menggenggam pinggiran wastafel, wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipis. Perut terasa kosong—tapi mual seakan tak mau berhenti.
Pintu kamar mandi terbuka pelan.
“Sel?”
Suara Daren terdengar khawatir. Ia berdiri di ambang pintu, rambut masih berantakan, memakai hoodie yang belum sempat dirapikan. Begitu melihat Selena membungkuk di wastafel, ekspresinya langsung berubah tegang.
“Hey, kamu kenapa?”
Ia mendekat dan menahan rambut Selena ke belakang dengan lembut, telapak tangannya mengusap punggung Selena pelan.
Selena mengembuskan napas pelan setelah selesai, mencoba menetralkan rasa mual.
“Aku… aku nggak apa-apa. Mungkin cuma masuk angin,” jawabnya lirih.
Daren tidak percaya begitu saja. Ia mengambil segelas air, menyalakan keran dengan tenang lalu menyerahkannya ke Selena.
“Minum dulu.”
Nada suaranya lembut, tapi jelas penuh kecemasan.
Selena menerima gelas dan berkumur sedikit, lalu duduk di tepi bathtub untuk menstabilkan napasnya. Daren jongkok di depannya, menatapnya tajam namun penuh kelembutan.
“Kamu dari tadi mual terus. Semalam pucat. Sekarang muntah pagi-pagi.”
Ia mengerutkan dahi.
“Ini bukan cuma masuk angin, Sel.”
Selena menunduk. Tangannya mengepal di atas perut tanpa sadar.
“Aku serius kok. Aku cuma—”
“Tolong jangan bilang ‘nggak apa-apa’ lagi,” potong Daren pelan.
“Aku lihat kamu lemes, aku lihat kamu gemetar. Dan aku takut.”
Kalimat terakhir itu membuat Selena menoleh.
Tatapan Daren jujur. Tulus.
Benar-benar membuat hati Selena bergetar.
“Kalau kamu sakit, jangan ditutup-tutupin,” lanjutnya. “Aku nggak bisa bantu kalau kamu selalu bilang ‘aku baik-baik saja’.”
Selena membuka mulut, ingin bicara, ingin jujur, ingin mengatakan bahwa dia—
hamil.
Bahwa amplop hasil tes itu masih tersembunyi di dalam laci meja rias.
Namun rasa takut kembali menghimpit dada.
Takut mengganggu stabilitas kecil yang baru terbangun di keluarga mereka.
Takut Arunika merasa tergeser.
Takut Daren berubah.
“Aku cuma kurang tidur,” ucap Selena akhirnya. “Serius. Lepas aja, nanti juga—”
Tiba-tiba rasa mual kembali naik, dan Selena buru-buru memalingkan wajah ke wastafel lagi. Daren langsung sigap memegang bahunya.
Panik dan cemas tampak jelas di wajahnya.
“Stop kerja hari ini,” ucap Daren, suaranya terdengar tegas tapi penuh perasaan.
“Kamu istirahat. Aku yang urus Aru dan sarapan.”
Selena menatap Daren dengan mata berkaca.
Bagaimana mungkin ia masih ragu pada seseorang yang sehangat ini?
Daren menyentuh pipinya dengan lembut.
“Aku nggak butuh kamu kuat terus. Aku cuma butuh kamu jujur sama aku.”
Selena mengangguk kecil—tanpa suara.
Di dalam hatinya, ada satu kalimat yang ingin ia keluarkan.
Aku hamil, Kak.
Tapi mulutnya tetap diam.
Untuk sekarang, ia masih menyimpan rahasia itu sendiri.
---
Malam itu rumah terasa lebih hening dari biasanya.
Arunika sudah tidur sejak satu jam lalu setelah Daren membacakan dongeng pangeran beruang untuk kesekian kalinya. Cahaya lampu kamar hanya tersisa dari lampu tidur berbentuk bulan—lembut dan kekuningan. Selena berdiri di depan meja rias, membuka laci perlahan dan mengeluarkan amplop putih yang sudah tiga hari ia sembunyikan.
Tangannya kembali gemetar.
Sel, kamu harus bilang. Daren berhak tahu.
Ia menarik napas dalam-dalam, menoleh ke arah tempat tidur.
Daren baru keluar dari kamar mandi, rambut sedikit basah, hoodie abu-abu menggantung di tubuhnya. Ia sedang mengeringkan rambut sambil berjalan ke arah Selena.
“Kamu belum tidur juga?” tanyanya lembut.
Selena menelan ludah. “Kak… aku perlu ngomong sesuatu.”
Nada suaranya membuat Daren langsung berhenti. Ia menatap Selena dengan serius.
“Kamu bikin aku takut kalau bicara gitu.”
Selena mengulurkan amplop itu dengan tangan yang gemetar.
“Ini… buat kamu.”
Daren mengernyit bingung, lalu mengambil amplop itu dan membuka isinya. Kertas tipis dengan hasil tes medis terlipat rapi di dalamnya.
Matanya membaca cepat.
Lalu berhenti tepat pada satu baris:
RESULT : POSITIVE
Daren membeku. Tatapannya naik ke wajah Selena—kaget, tak percaya, dan perlahan-lahan berubah menjadi sesuatu yang sulit diartikan.
“Sel…” suaranya parau. “Ini… maksudnya… kamu…?”
Selena mengangguk, suara pecah.
“Aku hamil.”
Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah.
“Aku takut bilang sama kamu. Takut kamu belum siap. Takut semuanya berubah. Aku—”
Daren menjatuhkan kertas itu ke meja, menghampiri Selena dalam dua langkah panjang, lalu menariknya ke dalam pelukan.
Pelukan yang begitu erat seakan takut Selena menghilang.
“Kamu pikir aku nggak siap?” suara Daren pecah di bahunya. “Selena, aku siap untuk apa pun… asal sama kamu.”
Selena menutup mata. Ia merasakan dada Daren bergetar.
“Aku takut Arunika merasa tergeser,” ucap Selena lirih, suaranya patah. “Aku takut kita belum siap jadi orang tua lagi. Aku takut kamu berubah, Ran.”
Daren melepas pelukan itu perlahan. Ia memegang wajah Selena dengan dua tangan, menatap matanya dalam-dalam.
“Aku nggak akan berubah,” ucapnya pelan tapi tegas.
“Anak ini… bukan menggantikan siapa-siapa. Ini hadiah. Hadiah yang datang karena kita saling mencintai.”
Wajah Selena basah oleh air mata.
Daren mengecup keningnya lembut.
“Kamu nggak sendiri. Semua ini… kita hadapi berdua.”
Selena terisak, akhirnya mengizinkan dirinya jujur.
“Aku takut.”
“Aku juga,” jawab Daren, tersenyum simpul. “Tapi kita sama-sama takut. Dan itu artinya… kita pasangan yang kompak.”
Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Selena tertawa kecil. Tawa yang masih bergetar, tapi penuh kelegaan.
Daren menyentuh perut Selena, pelan—seperti menyentuh sesuatu yang sakral.
“Hai… kecil,” bisiknya. “Ini Ayah.”
Selena memejamkan mata. Satu air mata jatuh, tapi kali ini bukan karena takut.
Karena akhirnya ia tidak lagi memikul semuanya sendirian.