NovelToon NovelToon
Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi / Raja Tentara/Dewa Perang / Pulau Terpencil / Kultivasi Modern
Popularitas:13.6k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Yang Suka Action Yuk Mari..

Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 29

Bab 29 -

Rangga menatap langit malam dengan mata yang penuh perhitungan. Saat Riri mendengar nada suaranya, kelopak matanya bergetar sedikit, seperti ada sesuatu yang menekan di dadanya.

Beberapa bulan terakhir di Barbar City, Riri mengikuti Rangga dan rombongannya. Dalam perjalanan itu, ia belajar banyak — termasuk kebiasaan Rangga yang sering menyebut kata mereka, atau memanggil sesuatu dengan sebutan Ghost dalam hampir setiap pembicaraan. Riri tak pernah tahu persis apa arti semua itu, tetapi setiap kali Rangga berbicara, wajahnya berubah serius; bekas luka di tubuh Rangga, cara ia menahan sakit, semua itu terlihat seperti rahasia yang belum terungkap.

Kini, melihat bintang-bintang jatuh dan suasana kota yang tampak biasa saja, Riri merasakan kepingan ketidaknyataan yang aneh di dadanya — gelisah yang halus namun tak terelakkan.

Rangga tak terlalu memperhatikan reaksi Riri. Ia berdiri ringkih di balkon sambil berbicara lewat telepon dengan Sisil Bahri.

“Skala kali ini… aku takut ini bakal sangat besar,” ujar Sisil dengan nada tegang. “Aku melihat lima cahaya merah... dan satu cahaya emas. Itu saja yang bisa kulihat.”

“Ada ancaman yang masih berkeliaran. Masalahnya… ini besar,” gumam Rangga, rahangnya mengeras. “Beri tahu semua anggota tim kita: siapkan senjata dan pakaian tempur. Suruh Colax segera hubungi yang lain, kumpulkan semua di markas Night Watcher. Katakan pada Tirto agar menjaga Lyren Haven sampai titik darah penghabisan! Telepon juga Kakek GiWanto untuk menyiapkan pesawat bagi kita — semua anggota tim harus bergerak ke Kota Binjai.”

“Dimengerti!” jawab Sisil singkat.

Riri melihat sisi tegas Rangga untuk pertama kali sejak kepulangan mereka. Ada sensasi baru—keberanian yang membuatnya menelan ludah. Ia tak tahu harus berbuat apa, merasa cemas sekaligus bangga.

“Kau… mau bagaimana?” tanya Riri, suaranya sedikit gemetar saat telepon selesai.

Rangga mengusap kepalanya, berusaha tersenyum agar terasa menenangkan. “Tak apa. Kau tetap di Lyren Haven. Jalur mereka hanya mendarat di Kota Binjai. Itu bukan tempat kalian harus masuk. Kalau tak bisa menjaga wilayah sana, Ghost itu akan muncul. Jadi, rileks saja — jalani hidupmu seperti biasa, kerja seperti biasa.”

Ia menengadah, memandangi hujan bintang di langit, dan berbisik pelan, “Aku… Night Watcher… kami akan selalu menjaga keamanan dunia ini. Demi semua yang bernapas.”

Di dalam dada Riri, sosok Rangga tiba-tiba terasa sangat besar — bukan karena tinggi badan, melainkan karena tekad yang memancar kuat.

“Bilang juga pada orang tuaku bahwa aku sedang dinas. Jangan biarkan mereka khawatir,” pinta Rangga.

“Baik,” jawab Riri. “Aku antar kamu ke bandara.”

Saat mobil melaju, untuk pertama kali Riri memanggil Rangga dengan sebutan ‘Kak’—suatu tanda keakraban yang baru. Suasana antara mereka tiba-tiba menghangat, meski ketegangan masih menyelimuti.

“Kak, ini berbahaya, kan?” tanya Riri.

“Ya,” jawab Rangga sambil menyunggingkan senyum kecil. “Sedikit berbahaya.”

“Pulangkan diri dengan selamat, ya,” pinta Riri.

“Aku akan berusaha. Harus ada orang berperingkat tinggi di sana — kakakmu ini akan berjuang. Bagaimanapun, aku peringkat ketiga dari Daftar Master,” Rangga berusaha merendahkan nada agar Riri tak terlalu cemas.

Sekitar satu jam kemudian, mobil berhenti di depan bandara. Dari kejauhan Rangga melihat Sisil Bahri dan rekan-rekan lain berdiri menunggu. Kini tim 11762 lengkap.

Di barisan depan tampak Thania, Sisil Bahri, Krish, Devan, Selly, Puquh, dan Raysia. Osie juga memilih ikut berangkat ke Kota Binjai bersama Rangga.

Mereka membawa tas punggung, tampak layaknya para wisatawan biasa — namun barang-barang itu dibungkus kain, bentuknya sederhana tapi berat maknanya: senjata mereka, belati ganda khas Night Watcher.

Setelah Rangga keluar dari mobil, Krish melempar sebuah bungkusan pada tangannya — belati bernama Tanpa Nama dan Pembelah Udara yang sudah dibalut kain. Rangga menangkapnya, mengangkatnya di punggung.

Ia menoleh ke arah jendela, melambaikan tangan sambil mengejek ringan, “Jangan berlebihan. Manfaatkan waktu ini cari pacar. Kalau sudah punya, pulang nanti kenalkan padaku!”

Riri mencibir, memanyunkan bibirnya, lalu melambaikan tangan bersama. “Kalian… pulang dengan selamat, ya!”

Setelah melihat Riri berlalu, Rangga menarik napas panjang. “Berkumpul!” perintahnya singkat.

Krish dan yang lain segera membungkuk hormat. Sisil segera menghubungi Tirto, dan tak lama Tirto muncul. “Lewat sini. Tak perlu pemeriksaan keamanan!” seru Tirto, membuka jalur khusus agar senjata mereka tidak ditahan petugas.

Mereka berjalan menyusuri koridor menuju lokasi lepas landas. Tirto mengerutkan dahi, lalu bertanya hati-hati, “Setelah kemunculan mereka, kalian pasti terlibat. Tapi… apakah kalian masih tak mau kembali sepenuhnya ke Night Watcher? Lalu, identitas macam apa yang akan kalian pakai saat berperang nanti?”

Rangga tetap diam.

“Aku rasa kau tidak perlu terlalu marah soal orang tua itu. Kami tahu Night Watcher akan datang kepada kalian cepat atau lambat…” Tirto ingin menambah tetapi terhenti.

Sisil tiba-tiba menepuk punggung Tirto. “Mungkin Rangga takut kembali karena sesuatu?” ucapnya.

Tirto terdiam, memandang Rangga dan memilih tak berkata apa-apa lagi.

Di langit, bintang-bintang jatuh semakin deras. Ribuan orang masih membuat permohonan sederhana, sementara ada pula yang tidak tahu bahwa banyak jiwa sedang dipaksa berkumpul demi satu tujuan — mempertahankan perdamaian, bahkan jika itu berarti mengorbankan nyawa sendiri.

Di Barbar City, pertempuran kini memasuki hari-hari yang menegangkan.

Apa yang membuat Mahatir sedikit terkejut adalah bagaimana Hedges justru memilih strategi bertarung mati-matian sejak awal. Pasukan Hedges memang kuat—efektif—tapi ketika bertemu Night Watcher, kenyataan pahit muncul: mereka bukan tandingan.

Night Watcher dari Negara Haz adalah pasukan yang luar biasa kuat, mampu mengguncangkan tatanan yang ada. Yang paling mengagetkan Mahatir adalah bahwa dirinya, Night Watcher nomor satu yang selama ini misterius dan jarang menyerang, ternyata tidak kalah hebat saat beradu kekuatan.

Jatuh korban terjadi di kedua belah pihak.

Hedges lalu mengubah taktiknya: alih-alih bertarung frontal, ia memilih perang gerilya, mencoba menjatuhkan Night Watcher lewat jebakan dan pengalihan. Tujuannya satu: memancing petarung terkuat lawan agar mereka terjebak di sini, sehingga tidak bisa ikut dalam pertempuran utama di tempat lain — setidaknya untuk pertama kalinya!

Jika Night Watcher berkumpul dan hendak menyeberang dengan kapal, Hedges akan membuat kekacauan sehingga mereka harus melarikan diri. Night Watcher menyerang balik, lalu melarikan diri — memaksa mereka kehilangan momentum.

Kini, di depan manornya, Hedges berdiri menatap Mahatir.

“Aku tak menyangka kau sudah mencapai level seperti ini,” ujar Hedges sambil tersenyum. Di tangannya terpancang pedang besar, matanya menatap Mahatir dengan campuran kagum dan ancaman.

“Hanya dengan membunuhmu kami bisa pergi dengan aman!” balas Mahatir dingin. “Sudahlah, tak perlu banyak omong. Bertarunglah!”

“Hm, kita benar-benar lakukan itu?” Hedges menanggapi santai. “Aku memang meremehkanmu sebelumnya, namun kau tetap belum bisa mengalahkanku. Kau tak akan bisa membunuhku. Kenapa tak duduk saja, minum anggur, main catur, dan lihat apa yang terjadi di Kota Binjai?”

Apalagi Hedges menuding ke langit: “Lihatlah garis-garis arus di udara. Kau pikir kalau kau keluar bertarung sekarang bisa menghentikan invasi skala besar ini?”

Mahatir menatap ke atas, matanya menyala. “Jika kau mau menjadi anjing, jadilah, aku tak akan pernah mau menjadi anjing itu. Mending perang sampai mati!”

Bersambung.

1
Was pray
ya memang Rangga dan raysa yg harus menyelesaikan permasalahan yg diperbuat, jangan melibatkan siapapun
Was pray
Rangga memang amat peduli sama orang2 yg membutuhkan pertolongan dirinya tapi tidak memikirkan akibatnya
hackauth
/Pray/ mantap update terus gan
Was pray
MC miskin mantaf ..
Was pray
Rangga. dalam rangka musu bunuh diri kah?
adib
alur cerita bagus..
thumb up buat thor
adib
keren ini.. beneran bikin marathon baca
Maknov Gabut
gaskeun thor
Maknov Gabut
ceritanya seru
Maknov Gabut
mantaff
Maknov Gabut
terima kasih thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!