Menikahi sahabat sendiri seharusnya sederhana. Tetapi, tidak untuk Avellyne.
Pernikahan dengan Ryos hanyalah jalan keluar dari tekanan keadaan, bukan karena pilihan hati.
Dihantui trauma masa lalu, Avellyne membangun dinding setinggi langit, membuat rumah tangga mereka membeku tanpa sentuhan, tanpa kehangatan, tanpa arah. Setiap langkah Ryos mendekat, dia mundur. Setiap tatapannya melembut, Avellyne justru semakin takut.
Ryos mencintainya dalam diam, menanggung luka yang tidak pernah dia tunjukkan. Dia rela menjadi sahabat, suami, atau bahkan bayangan… asal Avellyne tidak pergi. Tetapi, seberapa lama sebuah hati mampu bertahan di tengah dinginnya seseorang yang terus menolak untuk disembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon B-Blue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Marsha yang tadinya fokus menatap layar komputer seketika terkejut karena tiba-tiba ada yang membuka pintu ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu dan ternyata Ryos muncul dari balik pintu.
Pria itu langsung menghempaskan dirinya di sofa sambil menghela napas kasar dan melonggarkan ikatan dasinya.
Marsha masih memerhatikan pria itu tanpa ingin melontarkan pertanyaan lebih awal. Tiga jam yang lalu, rekannya itu izin keluar kantor untuk menemui Avellyne. Dia pikir Ryos mungkin tidak kembali ke kantor hari ini.
Marsha tersenyum tipis. Dilihat dari sikap Ryos, pria itu pasti bertengkar dengan Avellyne.
"Kok kamu balik, Yos. Enggak jadi fitting bajunya?" Marsha berpura-pura bertanya untuk mengorek informasi dan untuk membuktikan dugaannya.
"Sudah selesai. Avel langsung nyuruh aku balik. Padahal aku masih mau berlama-lamaan di dekatnya. Kena ceramah sama Avel supaya aku jangan sering keluar kantor." Ryos kembali menghela napas.
"Kalian berdua ternyata sama aja. Suka menyinggung soal tanggung jawab aku sebagai pimpinan perusahaan. Kalau sudah begitu, mana bisa aku membangkang."
"Katanya aku enggak boleh terlalu santai dan harus menyelesaikan pekerjaan penting sebelum mengambil cuti pernikahan."
Setelah mendengar jawaban tersebut, Marsha sedikit kecewa. Ternyata tidak ada pertengkaran. Padahal dia ingin mengambil kesempatan. Dia pun duduk di sebelah Ryos dan menatap pria itu sambil tersenyum tipis.
"Kenapa kalau aku yang berbicara kayak gitu kamu enggak pernah mau dengar? Yang dikatakan Avel memang benar. Kamu pemimpinan di perusahaan ini, kemajuan perusahaan ada di tangan kamu dan nasib ratusan karyawan juga ada di tangan kamu, Yos."
"Cukup, Sha! Kamu jangan nambahin omelan Avel. Kepalaku jadi pusing." Ryos langsung menutup mulut Marsha agar wanita itu tidak banyak bicara lagi.
"Soal proyek baru kita bagaimana?" Ryos mengalihkan pertanyaan tentang pekerjaan.
"Material sudah mulai masuk. Para pekerja sudah lengkap sesuai yang dibutuhkan. Mungkin ada yang menyusul beberapa kalau memang dibutuhkan pekerja tambahan."
Ryos mengangguk mengerti. "Besok aku mau cek ke lapangan–"
"Kita pergi bareng." Marsha menyela dan berbicara dengan antusias, bibirnya juga terlihat tersenyum lebar.
Dia sudah membayangkan akan pergi berdua dengan Ryos besok. Ternyata ada untungnya juga Avellyne mengomeli pria itu sehingga dia memiliki lebih banyak waktu bersama dengan Ryos.
...
Sementara itu di tempat lain, keadaan Avellyne tidak baik-baik saja. Ada Chalista yang sedang berusaha menenangkannya.
Kira-kira satu jam yang lalu, Avellyne menghubungi salah satu sahabatnya–Chalista. Dia meminta sahabatnya untuk menjemput. Di mana pada saat itu, mobil yang dikendarainya masih menepi di pinggir jalan raya.
Saat Chalista sampai, keadaan Avellyne sangat kacau. Wanita itu menangis dan bernapas tidak normal.
"Gimana, sudah lebih tenang?" tanya Chalista memijit punggung sahabatnya.
Sebenarnya dari awal Chalista sudah mengajak Avellyne ke rumah sakit. Akan tetapi, wanita itu tidak mau dan hanya minta diajak pulang. Bukan kerumahnya, melainkan ke rumah Chalista.
"Sudah mendingan. Maaf, ya, Cha. Gue lagi-lagi ngerepotin loe." Suara Avellyne terdengar begitu lirih. Dia merasa begitu lelah meski tidak melakukan pekerjaan berat.
"Kali ini kamu ikuti perkataan aku, Vel. Enggak ada salahnya konsul ke psikiater," ucap Chalista.
"Gue stres, tapi enggak gila. Buat apa ke psikiater."
"Avel! Mendatangi psikiater itu bukan berarti gila. Kita konsultasi ke ahlinya, terus nanti bakal dapat pengarahan kita harus melakukan apa biar tidak tertekan. Semuanya akan baik-baik saja. Percaya deh sama aku."
"Waktu masih SMA, aku inisiatif pergi ke psikiater sendiri. Kamu dan teman-teman yang lain tahu bagaimana keadaan aku dulu. Setelah mengikuti saran dari dokter, akhirnya aku bisa menjalani hidup dengan normal dan tentu saja karena ada kalian di sisi aku. Tidak ada salahnya mencoba, Vel." Chalista berkata sambil menatap begitu dalam kedua mata Avellyne. Caranya berbicara pun begitu lembut, dia tidak ingin Avellyne merasa dihakimi.
"Aku bisa menahannya. Aku baik-baik saja kalau mama tidak mendesakku untuk menikah. Cha, aku enggak menginginkan apa pun dari kamu. Cukup jadi pendengar aku aja dan tetap rahasiakan semua ini dari yang lainnya. Aku tidak ingin merepotkan mereka, terutama Ryos."
Chalista menghela napas. Ini bukan pertama kali keadaan Avellyne memburuk. Temannya itu bisa secara tiba-tiba sesak napas dan menangis sendiri karena hal sepele. Mental Avellyne sedikit terganggu, entah sejak kapan. Namun, Chalista menyadarinya ketika mereka sudah lulus kuliah. Dia menyadari sikap Avellyne berubah. Tidak seceria saat mereka masih SMA. Avellyne sekarang lebih banyak menghindari keramaian. Satu hal lagi, wanita itu tidak bisa mempercayai orang lain, kecuali kepada para sahabat yang sudah membersamainya sejak SMA.
"Kamu mau menginap malam ini?" tanya Chalista.
"Gue ke hotel aja. Enggak enak sama kak Hanan. Nanti kalian enggak bisa mesra-mesraan." Avellyne tersenyum, sepertinya dia sudah lebih membaik. Lebih tepatnya sedang berusaha menghibur diri sendiri.
"Apaan, sih!" Chalista memukul pelan lengan Avellyne sambil tersenyum malu-malu.
"Gue numpang istirahat sebentar aja, habis itu langsung ke hotel," ucap Avellyne.
"Kamu bisa pakai kamar yang biasa." Chalista berdiri lalu mengantar Avellyne memasuki kamar khusus tamu yang berada di lantai satu.
"Aku tinggal kamu sendiri tidak apa-apakan?" tanya Chalista sebelum dia meninggalkan Avellyne yang sudah duduk di pinggiran ranjang.
"Gue sudah baik-baik aja, kok." Avellyne mengulas senyum tipis.
Chalista melihat wajah Avellyne sudah tidak murung seperti sebelumnya, setelah memastikan keadaan sahabatnya itu membaik, dia pun keluar dari kamar dan memberi waktu Avellyne untuk beristirahat.
Selain itu, Chalista harus bersiap-siap untuk menyiapkan makan malam.
...
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Avellyne belum keluar dari kamar. Padahal wanita itu berkata hanya beristirahat sebentar saja.
Setelah meja makan sudah tertata dengan beberapa menu makan malam, Chalista pun meninggalkan dapur. Dia menuju kamar tamu yang dipakai Avellyne, hanya sekedar memastikan apakah temannya itu baik-baik saja.
"Avel!" Chalista mengetuk pintu dan tidak mendapatkan jawaban. Dia pun membuka pintu dan ternyata melihat Avellyne masih tertidur.
Chalista mendekat, melihat Avellyne lebih dekat.
"Kamu pasti capek banget," gumam Chalista. Dia merapikan selimut Avellyne lalu keluar dari kamar.
"Avel mana? Enggak ikut makan bareng kita?" Hanan bertanya di saat istrinya kembali ke dapur.
"Masih tidur," jawab Chalista.
"Enggak dibangunin aja. Biar makan malam bareng-bareng."
"Enggak apa-apa, Kak. Dia jarang bisa tidur nyenyak." Chalista berkata sambil mengambil makanan untuk suaminya.
"Anak-anak mana? Kok belum datang. Sudah Kakak panggil, kan?" tanya Chalista kepada sang suami.
"Sebentar lagi. Katanya nanggung."
"Mereka main game?" tanya Chalista.
"Sebentar doang."
"Sayang, soal Avel... apa kondisinya bakal baik-baik saja? Aku khawatir dia semakin parah. Sebaiknya kamu cerita ke mamanya atau ke Ryos."
Chalista menghela napas, dia sudah lama ingin melakukan apa yang dikatakan suaminya. Namun, dia sudah berjanji untuk menyimpan rahasia sahabatnya itu.
"Kita pantau dulu, Kak. Avel pasti bisa melewatinya. Untuk saat ini, Avel cuma bisa mengeluh sama aku. Kalau aku bercerita ke tante Cintya atau Ryos, maka Avel beranggapan dia tidak memiliki siapa pun lagi di sisinya. Kakak harus memahami keadaan Avel."
Hanan menuruti kata sang istri, dia tidak begitu mengetahui apa sebenarnya yang dipendam wanita itu. Avellyne yang sekarang memang berubah drastis dari Avellyne yang dulu. Dia seperti orang yang berbeda.