NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sumpah untuk sayap yang lain

“Mas?” panggilnya lembut, melangkah mendekat.

“Dokter bilang apa? Ada kabar baik soal donor sumsumnya?”

Angkasa mengangkat wajahnya, menarik otot-otot pipinya menjadi sebuah senyum yang terasa seperti pecahan kaca. Di mata Lila yang masih basah oleh air mata bahagia untuk Gilang, kebohongan ini terasa seperti dosa termanis sekaligus paling menyakitkan yang pernah ia lakukan. Ia tidak bisa merenggut harapan dari wajah itu, tidak sekarang. Tidak setelah semesta baru saja memberikannya sepercik keajaiban.

“Dokter bilang… kita harus terus pantau,” jawab Angkasa, suaranya ia paksa terdengar ringan.

“Belum ada keputusan pasti. Katanya, yang penting sekarang aku harus tetap semangat dan jaga kondisi.”

Sebuah kebohongan yang nyaris sempurna, karena sebagian kecil darinya adalah kebenaran. Lila menghela napas lega, senyumnya kembali merekah.

“Syukurlah. Aku takut banget tadi. Kupikir ada berita buruk.” Ia mengusap lengan Angkasa.

“Berarti kita berdua harus berjuang bareng, kan? Kamu buat transplantasi sumsum, Gilang buat transplantasi jantung.”

“Iya,” bisik Angkasa.

'Kita berdua berjuang untuk jantung Gilang.' gumam angkasa dalam hati.

“Gila, hari ini rasanya kayak mimpi,” celoteh Lila, kembali duduk di samping adiknya yang kini sedang asyik memainkan ponsel, seolah kabar baik tadi memberinya energi baru.

“Rasanya semua beban di pundakku keangkat.”

Melihat pemandangan itu, sebuah ide gila yang putus asa muncul di benak Angkasa. Sebuah ide untuk mencuri waktu, untuk memenjarakan satu hari dan menjadikannya abadi.

“La,” panggilnya.

“Ya, Mas?”

“Kita ke pantai, yuk.”

Lila dan Gilang menoleh serempak. Gilang menatapnya seolah ia baru saja mengusulkan untuk terbang ke bulan.

“Hah? Ke pantai?” ulang Gilang sinis.

“Kak, lo sadar nggak sih kita ini di mana? Ini rumah sakit, bukan agen travel.”

“Aku serius,” kata Angkasa, tatapannya terpaku pada Lila.

“Aku tahu ini gila. Tapi aku butuh lihat laut. Sekali lagi. Kita bisa minta izin dokter. Cuma beberapa jam. Aku janji nggak akan kenapa-napa.”

Lila menatap Angkasa lekat-lekat, mencoba membaca sesuatu di balik matanya yang tenang. Ia melihat kelelahan di sana, tetapi juga sebuah permohonan yang begitu dalam. Mungkin Angkasa butuh perayaan kecil atas berita ‘baik’ versinya. Mungkin mereka semua butuh udara segar setelah terkurung begitu lama.

“Oke,” putus Lila setelah hening sejenak.

“Aku yang urus izinnya. Tapi kalau kamu ngerasa pusing sedikit aja, kita langsung balik. Janji?”

“Janji,” jawab Angkasa, hatinya terasa sedikit lebih ringan.

.

.

.

.

Dua jam kemudian, pemandangan yang mustahil itu menjadi nyata. Roda kursi dorong Gilang berderit pelan di atas pasir yang lembap, didorong oleh Lila. Di sampingnya, Angkasa berjalan pelan sambil menyeret tiang infusnya, ujung selang menancap di punggung tangannya seperti pengingat permanen akan takdirnya.

Angin laut di penghujung sore itu terasa dingin, membawa aroma garam dan kebebasan yang menusuk paru-paru. Langit kelabu, dan ombak bergulung malas ke bibir pantai, seolah ikut merasakan kelelahan mereka.

“Wah, keren juga ide lo, Kak,” aku Gilang, menatap cakrawala yang tak berujung.

“Pasien gagal jantung sama pasien gagal produksi darah lagi liburan. Konten yang bagus buat TokTok.”

Lila tertawa kecil, membetulkan syal di leher adiknya.

“Kamu ini, ya. Udah dikasih enak masih aja nyinyir. Coba hirup udaranya. Enak, kan?”

“Enak sih,” gumam Gilang. Ia menoleh ke Angkasa.

“Kak, lo nggak apa-apa? Muka lo pucet banget.”

“Aku nggak apa-apa, Lang. Cuma sedikit dingin,” jawab Angkasa sambil tersenyum.

Sejujurnya, ia merasa lebih hidup dari kapan pun dalam beberapa bulan terakhir. Setiap embusan angin, setiap butir pasir yang masuk ke sandalnya, setiap suara debur ombak, terasa seperti hadiah perpisahan dari dunia.

Mereka duduk di dekat garis pantai, membiarkan buih ombak sesekali menyentuh ujung sepatu mereka. Lila mengeluarkan termos berisi teh jahe hangat dan membagikannya dalam cangkir kertas. Untuk sesaat, mereka bukan lagi tiga orang yang dihantui oleh penyakit. Mereka hanyalah dua kakak dan satu adik yang menikmati senja.

“Dulu waktu kecil, Ayah sering ajak aku ke sini,” kata Angkasa tiba-tiba, suaranya hampir hilang ditelan angin.

“Katanya, laut itu seperti kehidupan. Kadang tenang, kadang ganas. Tapi sejauh apa pun ombaknya pergi, dia pasti akan kembali ke pantai. Ayah bilang, kita juga harus begitu. Sejauh apa pun kita pergi, kita harus tahu jalan pulang.”

Lila menatapnya, hatinya tersentuh. Ini pertama kalinya Angkasa bercerita tentang ayahnya dengan begitu terbuka.

“Ayahmu pasti orang yang hebat.”

“Dia hebat,” sahut Angkasa.

“Dia juga yang ngajarin aku kalau sayap itu bukan cuma buat terbang. Tapi juga buat melindungi orang yang kita sayang.”

Gilang yang sedari tadi diam, menatap Angkasa dengan sorot mata yang aneh, sorot mata yang kehilangan semua nyalanya.

“Kak Angkasa…”

“Ya?”

“Lo… lo harus sembuh, ya,” kata Gilang pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya tulus, tanpa dibuat-buat.

“Gue pengin kita ke sini lagi nanti. Tapi beneran liburan. Nggak ada kursi roda, nggak ada tiang infus. Cuma kita bertiga. Lo harus janji bakal sembuh.”

Permintaan polos itu menghantam Angkasa lebih keras dari vonis dokter. Ia menelan ludah, tenggorokannya terasa tercekat. Ia menatap Gilang, remaja kurus yang menyimpan harapan begitu besar untuknya, harapan yang bahkan tidak lagi ia miliki untuk dirinya sendiri.

Angkasa mengulurkan tangannya yang tidak diinfus, mengacak-acak rambut Gilang dengan lembut.

“Aku janji, Lang,” katanya, suaranya serak menahan emosi.

“Aku janji akan selalu jagain kamu. Selalu.”

Sebuah janji dengan makna ganda yang hanya ia sendiri yang mengerti.

Saat itulah Gilang meringis, tangannya tiba-tiba mencengkeram dadanya. Wajahnya yang sudah pucat kini berubah kebiruan.

“Lang?” seru Lila panik, langsung berjongkok di hadapan adiknya.

“Kenapa? Sesak lagi?”

“Iya, Kak…” rintih Gilang, napasnya terdengar berat dan pendek.

“Dada gue… kayak diremes.”

Lila dengan sigap mengeluarkan tabung oksigen kecil portabel dari tasnya, memasangkan masker ke wajah Gilang. kepanikan tergambar jelas di wajahnya saat ia mencoba menenangkan adiknya, membisikkan kata-kata penenang yang terdengar bergetar.

Angkasa hanya berdiri membeku beberapa langkah di belakang mereka, menatap punggung Lila yang tegar namun rapuh. Ia melihat bagaimana bahu wanita itu menanggung beban seluruh dunia. Di hadapannya, Gilang berjuang untuk setiap tarikan napas, tubuhnya yang muda dikhianati oleh jantungnya yang lelah.

Tanpa sadar, Angkasa mengangkat tangannya, meletakkannya di atas dadanya sendiri.

Di balik kaus tipis dan kulitnya yang dingin, ia merasakan sesuatu yang begitu kontras dengan pemandangan di depannya. Sebuah irama. Dug. Dug. Dug. Kuat, stabil, tanpa cela. Jantungnya bekerja dengan presisi yang sempurna, memompa kehidupan ke seluruh tubuhnya yang sekarat. Sebuah mesin yang luar biasa, terperangkap di dalam cangkang yang rapuh dan hancur.

Ia merasakan ironi yang begitu kejam menusuk hingga ke tulang. Ia memiliki apa yang Gilang butuhkan untuk hidup, dan Gilang memiliki waktu yang tidak lagi ia miliki.

Angin laut bertiup lebih kencang, menerbangkan beberapa helai rambut ke wajahnya. Ia menatap Lila yang kini memeluk Gilang, mencoba menyalurkan kekuatan lewat sentuhannya. Ia menatap Gilang yang memejamkan mata, menahan sakit. Keputusannya yang tadinya hanya sebuah gagasan, kini menjadi sebuah sumpah yang terukir di jiwanya.

Satu air mata yang panas akhirnya lolos dari pertahanannya, mengalir menuruni pipinya yang kebas karena angin. Bukan air mata kesedihan untuk dirinya sendiri. Itu adalah air mata kelegaan. Air mata seorang pria yang akhirnya menemukan jalan pulangnya.

“Mas Angkasa!” Suara panik Lila memanggilnya, menyadarkannya dari lamunan.

“Tolong bantu aku! Kita harus bawa Gilang kembali ke mobil, sekarang!”

Angkasa tidak bergerak. Ia hanya terus menekan telapak tangannya ke dada, merasakan detak jantungnya sendiri yang bergemuruh seperti janji.

1
Puput Assyfa
jangan bilang Lila hamil anak Angkasa? angkasa sudah pergi jauh tp Dy meninggalkan kenang2 yg terindah jantung buat Gilang dan anak buat Lila 🤧
Puput Assyfa
sampai nafas terakhir pun Laras GK muncul bner2 ibu yg jahat, apa GK ada simpatik sedikit pun atau penyesalan terhadap Angkasa
Puput Assyfa
dia sudah ada di surga Gilang ditempat yang indah 🤧 km memiliki kehidupan baru dgn jantung Angkasa
Puput Assyfa
pada akhirnya Angkasa menyerah oleh takdir dan pusat kehidupannya diberikan pada Gilang, pengorbanan Angkasa yang menyedihkan mak🤧
Puput Assyfa
menanti harapan palsu🤧
Puput Assyfa
Mak bull aq butuh pelukan, sumpah gak kuat 😭😭😭
Puput Assyfa
makin kesini makin gak kuat baca tp penasaran sama angkasa 😭😭😭
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa aku takut😭😭😭
Puput Assyfa
bener2 Laras bikin muak sikapnya yg arogan dan gak peduli sama anak kandungmu
Puput Assyfa
setiap Angkasa sekarat semakin takut akan kehilangan Angkasa dan tiba2 menutup mata untuk selamanya 😭😭
Puput Assyfa
Laras muncul2 hanya untuk menyakiti angkasa, bukannya sedih anaknya sakit atau prihatin malah marah2 GK jelas km Laras
Puput Assyfa
bahagia yg sederhana tapi berkesan untuk Angkasa disisa waktunya yg tinggal sedikit 🤧
Puput Assyfa
selamat ya Angkasa km sudah memiliki istri yg akan setia menemani disisa hidupmu, walaupun menyakitkan tp aq bahagia akhirnya km punya keluarga baru angkasa.
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
Puput Assyfa
walaupun hanya seminggu waktu yg tersisa setidaknya Angkasa merasakan kebahagiaan disisa hidupnya bersama orang yg dicintainya yaitu Lila
Puput Assyfa
semakin kesini makin menyesakan da2 😭 angkasa yg malang
Puput Assyfa
apa keinginan terakhir mu kasa? apa km ingin menikah dgn Lila
Realrf
berasa nggak 😩
Puput Assyfa
hingga Angkasa sekar4tpun Laras tidak muncul untuk menemuinya, hanya Gilang dan Lila yg setia menemaninya disaat2 terakhir Angkasa
Puput Assyfa
nyesek bgt ya Allah 😭😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!