Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Dua Dunia
Akhirnya, hasilnya keluar: SB mencapai level 93, sementara Double A berhenti di level 89.
Dua-duanya sukses memecahkan rekor!
“Gila, keren banget!”
“Pengen banget kenalan sama dua orang ini! Kukira rekor level 80 itu udah mustahil ditembus, tapi ternyata masih ada yang lebih jago!”
“Indonesia emang nggak salah disebut tanah para hacker tersembunyi!”
Obrolan di platform hacker internasional pun meledak.
Sementara itu, Shinta diam-diam keluar dari platform, lalu kembali menyusup ke komputer Double A.
“Hebat juga kamu,” tulisnya pelan, nada sopan namun tetap tenang.
Aryanto Ardi — si Double A — yang masih setengah syok begitu melihat kalimat itu, sudut bibirnya langsung berkedut.
Ia benar-benar tak habis pikir: Orang ini bilang gitu dengan perasaan macam apa, sih?
“Justru kamu yang lebih hebat,” balasnya setelah terdiam sejenak.
“Aku kalah. Dan aku terima sepenuhnya.”
Ia memang harus mengakui: dirinya kalah. Bahkan dia pun tak mampu menandingi kemampuan orang ini.
Aryanto memang terkenal sombong di dunia maya, tapi kalau kalah, dia nggak pernah main curang. Dia tahu kapan harus mengakui keunggulan orang lain.
“Perusahaan masih disiapin, jadi kamu nggak perlu buru-buru datang,” tulis Shinta lagi.
Ekspresi Aryanto langsung berubah sengsara. Kerja kantoran? Duh, itu sama sekali bukan dunia yang ia mau!
Dulu dia setuju ikut proyek cuma karena yakin — nggak ada orang lain yang bisa ngalahin dia selain Hacker F, tapi sekarang… kenyataannya berkata lain. Dan seorang Aryanto Ardi harus pegang omongan.
“Baiklah. Aku rasa aku nggak perlu kasih nomor ponselku, kamu pasti bisa nemuin sendiri.”
Kalimat itu diketik dengan nada penuh ketidaksukaan. Sebagai hacker papan atas, sistem pertahanan komputernya jelas super ketat, tapi SB tetap bisa menembusnya—tanpa sekalipun memicu alarm keamanan. Itu bikin dia makin nggak habis pikir.
“Mm,” balas Shinta singkat.
Aryanto menatap huruf “Mm” itu lama, seolah ingin menembus layar laptopnya.
Dia… beneran cuma segitu responnya?
Tangannya pun kembali berlari di atas keyboard.
“Aku harus tahu, kamu sebenarnya siapa, kan?”
“SB,” jawab Shinta cepat.
SB?
Nama itu tidak asing.
Di forum Black Empire, SB adalah legenda hidup—hacker misterius yang sombongnya bukan main, tapi kemampuan teknologinya gila-gilaan.
Ranking SB di Black Empire ada di posisi delapan.
Sedangkan Aryanto sendiri ada di posisi dua. Dulu, dia bahkan sempat menyepelekan SB.
Tak disangka, sekarang justru dirinya yang harus menunduk.
Aryanto terdiam lama sebelum akhirnya mengetik lagi.
“Boleh nggak aku lihat game full-intelligence yang kamu maksud itu?”
Tak sampai semenit, file langsung dikirim.
Shinta tak khawatir gamenya bocor. Tanpa teknologi inti yang ia kuasai, tak ada yang bisa menirunya.
Awalnya, Aryanto nggak berharap banyak.
Dia cuma ingin lihat sekilas.
Tapi begitu mulai mencoba…
dia tenggelam.
Tak bisa berhenti.
Sementara itu, Shinta sudah kembali membuka buku pelajaran di kamarnya, santai menunggu respon dari Double A.
Sambil menyeruput segelas teh manis hangat, matanya sesekali menatap layar laptop yang menampilkan deretan kode.
Setengah jam kemudian, Aryanto akhirnya membalas.
Tangannya bergetar karena terlalu bersemangat.
“Kamu… beneran punya teknologi ini?”
“Punya,” jawab Shinta singkat.
“Kali ini,” tulis Aryanto lagi, “meski kamu usir aku, aku tetap bakal masuk ke perusahaanmu. Gratis pun aku rela!”
Bagi seorang hacker, teknologi baru adalah magnet yang tak bisa ditolak.
Apalagi teknologi kecerdasan buatan penuh seperti yang dikembangkan SB ini.
Aryanto — si gila komputer — jelas nggak mungkin melewatkannya.
“Nggak usah, gaji segitu masih sanggup aku bayar,” jawab Shinta santai.
Aryanto terdiam.
“…….”
Ya sudah, kalau bos besar ngomong, ya manut saja.
Beberapa detik kemudian, Shinta mengirim pesan lagi.
“Ini nomor Harry Subrata, General Manager di Subrata Innovations. Hubungi dia langsung untuk urusan kerja.”
Begitu pesan terkirim, Shinta langsung menutup laptopnya dan pergi tidur.
Sementara Aryanto duduk menatap layar kosong dengan ekspresi campur aduk.
SB ini sebenarnya siapa, sih?
Dalam waktu kurang dari tiga jam, dia benar-benar “terjebak” jadi bawahan SB?
Enggak bisa! Masa cuma dia sendiri yang kena “jebakan manis” itu? Harus ada teman seperjuangan!
Akhirnya, Aryanto menghubungi tiga hacker top lain yang sama gilanya dengan dia. Mereka semua jago bikin program.
Shinta tentu saja senang.
Dengan Aryanto bergabung dan membawa tiga orang berbakat, sisanya bisa diserahkan pada Harry Subrata untuk proses rekrutmen.
Shinta tak perlu repot.
Setelah urusan perusahaan beres, Shinta kembali fokus pada rutinitasnya:
Siang hari ia belajar di sekolah, malamnya ia menulis rencana untuk lepas dari keluarga Bagaskara.
---
Seminggu pun berlalu.
Waktunya ujian penilaian semester tiba.
---
Kelas 12D.
Ibu Rinjani, wali kelas mereka, berdiri di depan ruang kelas sambil menjelaskan aturan ujian.
Kebanyakan murid mendengarkan setengah hati. Aturannya itu-itu saja setiap kali ujian. Mereka sudah hafal itu di luar kepala.
Akhirnya, Ibu Rinjani mengetuk meja cukup keras hingga seluruh kelas langsung hening.
Tatapannya menyapu seluruh ruangan. Kali ini, suaranya tidak seketus biasanya.
“Kali ini, lakukan yang terbaik sebisa kalian.
Saya tahu belakangan kalian sudah berusaha keras. Saya percaya kalian pasti ada kemajuan. Apapun hasilnya, di mata saya, kalian tetap yang terbaik.”
Kata-kata itu hangat, membuat beberapa siswa tersenyum malu. Lalu pandangan Ibu Rinjani berhenti pada Shinta Bagaskara.
“Shinta, dengan nilai harianmu, saya yakin kamu nggak akan ada masalah. Tenang saja.”
Karena Shinta baru pindah di semester dua tahun terakhir di SMA Hastinapura Global School, ini jadi ujian pertamanya di sana. Wajar kalau Ibu Rinjani khawatir dia tegang, jadi memberikan perhatian khusus.
Shinta tersenyum kecil dan mengangguk sopan.
“Baik, sampai di sini dulu. Besok lakukan yang terbaik,” tutup Ibu Rinjani sambil merapikan buku dan keluar kelas.
Begitu guru mereka pergi, Raka Birawa langsung muncul di depan bangkunya bersama dua temannya.
“Bos Shinta, nilaimu pasti bakal bikin rata-rata kelas 12A ketar-ketir!” seru Raka bersemangat.
“Iya bener! Bos Shinta, kamu tuh keren banget. Jago berantem, jago belajar—aku beneran nge-fans, sumpah!”
“Bos Shinta, kali ini kelas kita cuma bisa berharap sama kamu.”
Ucapan mereka disusul dengan ekspresi canggung.
Beberapa murid menunduk sambil memainkan ujung baju seragam.
“Bos Shinta… kalau nanti kami bikin kamu malu, jangan jijik sama kami ya…”
Beberapa minggu belakangan, mereka memang sudah terbiasa menjadikan Shinta pusat dari segalanya.
Melihat Shinta begitu rajin belajar, mereka ikut semangat.
Tapi sayangnya… dasar kemampuan mereka jauh di bawah rata-rata.
Meskipun Shinta sering mengajari, hasilnya paling mentok cuma sedikit di atas batas lulus.
Wajar saja kalau mereka takut bikin Shinta malu punya teman-teman seperti mereka.
Shinta hanya bisa menatap mereka dengan ekspresi setengah pasrah, setengah geli.
“Waktu pertama kali aku masuk ke kelas ini, kalian hobinya berantem, nilainya jeblok, di kelas pun nggak pernah serius. Bahkan sempat coba nakut-nakutin aku. Aku pernah marah? Aku pernah jijik sama kalian?”
Raka dan kawan-kawan langsung tepok jidat bersamaan.
Kok bisa mereka nggak kepikiran hal itu?
“Bos Shinta! Kami janji bakal belajar lebih keras biar kamu bangga sama kami!”
Shinta mengusap pelipisnya, sedikit pusing dengan semangat berlebihan mereka.
Nilai rendah bukan sesuatu yang bikin dia malu, tapi melihat hampir semua murid kelas 12D menatapnya dengan mata penuh harap…
kata-katanya tertahan di tenggorokan.
Akhirnya, ia cuma menghela napas dan tersenyum tipis.