NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28

Beri aku kesempatan untuk membangun itu semua demi masa depan kita. Aku tidak akan menjanjikan hal apapun, tapi aku pasti akan kembali. Setelah aku berhasil menggenggam semuanya, aku akan membahagiakan kamu. Aku akan pulang dan segera menikahi kamu. Aku akan bangun rumah untuk kita dan anak-anak kita nanti.

Pernyataan itu masih Satria ingat. Bukan janji, namun berhasil membuatnya bekerja keras untuk membuktikan sesuatu—kepada sosok yang kini telah mengkhianatinya.

Setiap kata dari perempuan itu dulu menjadi bahan bakar yang menghidupkan semangatnya, membuatnya menatap masa depan dengan keyakinan penuh. Ia berjuang bukan semata demi dirinya, tapi demi menunjukkan bahwa kepercayaan yang diberikan padanya tidak salah.

Namun siapa sangka, sosok yang dulu memberinya alasan untuk berjuang kini justru menjadi luka paling dalam di hidupnya. Satria menatap kosong ke arah cermin di depannya. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang rapuh—seolah di balik setiap tarikan napas ada amarah yang berusaha ia jinakkan.

“Bodoh!” Umpatnya pada diri sendiri, nada suaranya rendah tapi tajam. Ia menarik napas dalam, mencoba menahan gejolak di dadanya. Tangan kirinya sedikit bergetar saat ia mengenakan jas kantor berwarna abu tua—jas yang untuk pertama kalinya ia pakai hari ini, simbol dari posisi baru yang dulu ia impikan.

Keberhasilan yang seharusnya dirayakan dengan kebahagiaan—yang seharusnya ia nikmati bersama seseorang yang dulu ia perjuangkan—kini justru terasa hampa. Tak ada rasa bangga, tak ada euforia.

Ia merapikan dasinya, menatap bayangan dirinya sekali lagi. “Lihat lo sekarang, Satria,” Gumamnya lirih. “Sukses, katanya."

Satria tertawa pahit, suara itu nyaris terdengar sebagai bisikan getir di ruangan sepi. Matanya mulai menggenang, cahaya redup dari lampu kamar memantulkan kilau lembut air mata yang perlahan menetes di pipinya.

Tawa itu bukan karena bahagia, melainkan karena ironis akan kehidupannya. Semua yang dulu ia perjuangkan, semua kerja keras yang menguras tenaga dan jiwa, kini hanya meninggalkan rasa hampa. Hampa yang pahit, getir, dan tak bisa dihapus dengan apapun.

Ia menunduk sejenak, menarik napas dalam, berusaha menahan gelombang emosi yang ingin meledak. Namun setiap tarikan napas hanya membuatnya semakin sadar akan kehilangan yang tak tergantikan.

****

Mbok Surti menghidangkan menu terakhir di meja makan, di sela-sela sarapan mereka. Hal itu semakin menebarkan aroma masakan hangat menyebar, memenuhi suasana sarapan pagi mereka.

Hening kembali menyelimuti mereka. Angga yang duduk di ujung meja, melahap makanannya dengan tenang, tanpa banyak bicara. Di sisinya, Amira juga tampak diam, ia menatap makanannya dan melahapnya tanpa sepatah kata pun yang sedari tadi terucap jelas—hanya dengan jawaban "ya", "baik", atau "tidak" pada saat Hendra mengajukan pertanyaan padanya.

Di hadapan mereka, Hilda dan Hendra duduk berseberangan. Hilda terlihat waspada, sesekali melirik ke arah Amira dan Angga, sementara Hendra lebih tenang, hanya menikmati sarapannya sebelum ia pergi bekerja.

"Pagi semua," Sapa Satria yang sudah mendadak muncul di ruang makan. Ia berjalan dari anak tangga kamarnya. Langkahnya pelan dan berdiri sejenak di dekat mereka.

Hendra dan Hilda menatap Satria dengan mata tak biasa, namun tidak heran—Hendra sudah tahu bahwa pagi ini adalah hari pertama Satria mengunjungi kantornya.

Angga tetap menikmati makanannya sendiri, sementara Amira sembunyi memperhatikan kekasihnya itu dengan mata yang tak bisa menyembunyikan kekaguman. Jas rapi yang dipakai Satria membuatnya terlihat sangat berbeda dari penampilan kasualnya yang biasa, memberi kesan lebih dewasa dan berwibawa.

"Ini adalah hari pertama kamu mengunjungi kantormu dan berkenalan dengan karyawanmu," kata Hendra, menatap Satria dengan serius juga bangga.

Satria mengangguk sambil menarik kursi ke belakang. Ia kemudian duduk, tepat dihadapan Angga dan Amira. "Untuk hari pertama, Papa temani aku ke kantorku, kan?"

Hendra tertawa, suaranya penuh wibawa. "Tenang saja. Sebelum Papa berangkat ke kantor, Papa akan memastikan kamu bisa meng-handle semuanya. Sekarang, kamu itu direktur perusahaan cabang ketiga setelah kedua yang Kakakmu kelola, jadi tanggung jawabmu jelas besar, tapi Papa yakin kamu mampu menjalankannya."

"Makasih ya, Pa." Satria melempar senyum sambil melahap potongan roti di piringnya. "Aku gak bisa bayangin nasib aku tanpa Papa." Matanya melirik Hilda yang sedari tadi hanya diam. "Dan, Mama."

Setelah Mama pergi, aku dititipin ke panti asuhan. Di sanalah aku belajar bertahan. Sampai akhirnya ada pasangan yang mengangkat aku sebagai anak mereka. Dan kalau bukan karena mereka, mungkin aku nggak akan bisa sampai di titik ini. Semua yang aku punya sekarang … nggak akan pernah ada tanpa mereka.

Amira menelan saliva, hatinya bergetar. Ia teringat pernyataan Satria dulu—kedua orangtua yang dimaksudnya selama ini mungkin Hendra dan Hilda. Ingatan itu membawanya kembali ke saat Satria mengajaknya ke pemakaman ibu kandungnya, ketika mata Satria begitu tulus menatap pusara, memancarkan rasa kehilangan yang dalam terhadap sosok yang sangat berarti dalam hidupnya.

Kehilangan. Dan sekarang, rasa itu Satria alami. Terpancar jelas dari raut wajahnya—tenang di permukaan, namun memancarkan sisi lain yang tak bisa disembunyikan, sebuah kesedihan halus yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang benar-benar memahami kedalaman hatinya.

Amira. Ia tahu kehilangan itu untuknya. Ia paham, kekecewaan pria itu padanya, dan rasanya menusuk hatinya sendiri.

Sayang," Kata Angga mengejutkan, setelah makanan dan minumannya habis. Suaranya lembut dan penuh perhatian, menatap Amira seolah ingin berbagi kehangatan di pagi itu. "Aku berangkat kerja dulu, ya."

Amira sembunyi melirik Satria yang ada di hadapannya. Tatapan pria itu begitu tajam, seolah menembus langsung ke dalam hatinya, membuat Amira merasa tertekan dan saat itu ia tak bisa berpaling. Ini gak seperti yang kamu lihat, Mas.

Satria tertegun,pahit. Aku benar-benar kecewa padamu, Amira. Sangat!

"Pa, Ma. Aku pergi dulu," Kata Angga sambil beranjak dari kursi makannya.

Hilda hanya melempar senyuman. "Hati-hati ya, sayang," Tambahnya, sesaat sebelum Angga meninggalkan ruang makan.

Amira segera ikut beranjak. "Ma-maaf semuanya. Sa-saya permisi dulu," Ucapnya tergesa. Ia mengejar Angga, meninggalkan ruang makan.

Geraknya begitu cepat, Amira menerobos ruang tamu hingga akhirnya udara pagi menyambutnya saat ia berada di luar, melangkah menuju pelataran rumah. "Mas, tunggu!" Serunya, menghampiri Angga.

Wajah Angga tetap datar. Ia tidak jadi masuk ke mobil, tapi dengan kasar membanting pintunya, hingga menimbulkan suara benturan yang bergema di pelataran, membuat Amira terhenti sejenak dan tercengang.

"Ma-Mas,"

Angga tak menoleh.

"Kenapa kamu melakukan itu padaku, tadi?" Ucap Amira dengan nada setengah kesal. "Kamu mencintai aku, tapi itu semua hanya di depan ayahmu."

Angga masih membisu.

"Apa yang kamu lakukan, itu justru membuat aku semakin terluka, Mas!" Lirih Amira, nyaris tanpa suara. Bahkan di depan Mas Satria, aku gak bisa membiarkan kesalahpahaman ini terus berlanjut.

Amira mengedipkan kelopak matanya. Saat itu juga, air matanya menetes membasahi wajah. "Aku bukan boneka yang kamu perlakukan seenaknya. Aku ini istri kamu, Mas!"

"Cukup!" Sambar Angga dengan cepat, pelan, namun penuh penekanan. Matanya yang sedari tadi kosong kini menatap lurus Amira sehingga membuat wanita itu tersentak dan terdiam sejenak. "Pernikahan kita berjalan tanpa cinta, kenapa harus kamu permasalahkan?!"

Amira menelan saliva. Masalahnya Mas Satria. Aku gak mau Mas Satria salah paham dan gak semakin percaya sama aku, Mas. Bilang kalau kamu gak pernah cinta sama aku dihadapan mereka, bilang kalau kamu tidak pernah setuju atas pernikahan ini agar aku bisa lepas dari ini semua. "Aku mohon, Mas..." Ungkap Amira. Hanya kalimat itu yang bisa diucapkannya. "Apa yang kamu lakukan itu membuat aku terluka."

Angga tertawa pahit. Ia tertunduk. Sesaat kemudian, matanya kembali menangkap wajah istrinya. "Terluka?" Tanyanya lirih. "Kamu pikir aku, enggak?! Karena kamu hidup aku jadi seperti ini, karena kamu harapan aku hilang! Menikah denganmu itu sebuah bencana! Kamu pikir aku gak terluka, Amira?! Kamu sadar gak dari awal kita bertemu, kamu yang buat hidup aku sial sampai sekarang!"

Amira mengusap air matanya seketika melihat Hendra, Hilda, dan Satria muncul keluar rumah dan sempat memperhatikan mereka. Angga tersentak, namun ia sontak memeluk Amira dan mendekapnya begitu hangat. Saat itu juga, Satria menelan saliva, menelan luka yang lagi harus ia terima.

"Mas, aku mohon lepasin aku!" Lirih Amira, berusaha melepaskan pelukan, namun gerak Angga semakin erat.

"Hidup kamu gak akan pernah bahagia jika masih bersamaku, Amira!" Bisik Angga dalam pelukan.

Sedangkan, Amira tak bisa menahan kesedihannya. Pelukan yang seharusnya menenangkan, justru sangat menyakitkan. Sebuah luka yang terbalut kehangatan itu membuat hatinya perih, kecewa, dan rasa kehilangan yang begitu dalam akan sosok Satria yang mungkin hatinya kini semakin menjauh.

Angga melepas pelukan itu kemudian dan menatap Amira lekat-lekat. "Hey, kamu kok nangis?" Lirihnya sambil mengusap lembut wajah istrinya yang basah. "Aku cuma lembur satu hari ini aja, kok. Jangan nangis gitu, dong?"

"Angga!" Sahut Hendra.

Angga melepaskan ruas jemarinya dan melirik Hendra.

"Kamu belum pergi?"

"I-Iya, Pa. Ini mau kok! Bermesraan sama istri sebentar gapapa kan, Pa? Buat kita semakin semangat pergi kerja!" Kata Angga sambil melirik Hilda. Mata mereka seolah saling bicara, tanpa seorangpun yang dapat memahami.

"Iya, tapi ini udah jam berapa!" Protes Hendra dengan senyuman dan gelengan bijak.

Angga tertawa. "Iya,iya. Aku pergi dulu!"

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!