SEAN DAN SAFIRA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua puluh lima
happy reading genks!!
****
"M—mau apa?"
Pada kenyataannya suara itu tidak lebih dari sebuah rintihan. Safira tampak gugup dan gelisah, ia masih menyoroti wajah Sean yang berada di atasnya. Lelaki itu ... astaga, bahkan ia tidak sedikit pun ingin merubah posisinya. Tanpa ekspresi yang mampu membuat Safira nengerti namun itu justru membuat debaran jantungnya bertabah kencang dua kali lipat.
"Sean, kamu mau apa?" Akhirnya Safira bisa mengeluarkan suaranya jauh lebih kencang. Pipinya memanas. Di dalam keremangan malam dengan lampu kamar yang berpendar, Sean masih bisa melihat pipinya yang memerah. Jujur Safira tidak mengerti kenapa Sean bisa tiba-tiba memenjarakannya seperti ini. "Sean ... tolong jangan macem-macem."
Mendengar kegugupan dari rintihan suara Safira menjadikan Sean kian geli dan tidak bisa menahan tawanya. Bibirnya terlipat ke dalam, dan tak lama gelak tawanya menggema. Sumaph demi apapun, ini sangat tidak lucu. Safira benci sekali melihat tampang Sean yang seperti itu.
"Elo merah, Fir hahaha." Ia menegakan tubuh, namun tidak merubah posisinya yang kini berada di atas Safira. "Muka lo merah, Safira. Lo pasti gugup kan?" Wajah jenaka dengan sudut bibir tertarik lebar itu menyorotinya dari atas.
Safira tidak berkutik meski sejujurnya ia ingin sekali menendang Sean yang berdiri dengan lutut sebagai penyanggah di atasnya. "Gak lucu! Kamu pasti lagi ngerjain saya kan?"
Sean masih tergelak, ia juga tidak merubah posisinya. "Pasti lo mikir gue mau apa-apain lo kan?" kelakarnya. "Ketahuan, Fir, cewek kayak lo tuh belom pernah di ***** ***** sama cowok."
Kedua bola mata Safira membulat kala mendengar nada vulgar keluar dari bibir Sean. "Bibir kamu tuh memang senang sekali ya mengatakan hal-hal semacam itu?" Ia kemudian memukul dada Sean. "Cepat menyingkir, kamu tuh ganggu tidur saya!" dengusnya, namun tidak juga membuat lelaki itu menyingkir dari tubuhnya.
"Mau gue ajarin gak, Fir? Buat latihan, siapa tahu setelah elo cerai dari gue lo langsung nyantol sama laki lain kan, terus lo di ajak nikah. Biar gak kaku kayak gini."
Tidak mengerti, kenapa Sean mudah sekali mengatakan tentang perpisahan mereka, padahal Safira selalu mengurut dada setiap ia menyadari telah mencoreng sucinya pernikahan. Begitulah cara berpikir lelaki dan perempuan.
"Saya tidak bercanda, Sean! cepat kamu menyingkir dari tubuh saya."
"Ya elah, Fir, gak gue sentuh kok." Lalu Sean benar-benar menyingkir dari atas Safira, merebahkan tubuhnya di samping perempuan itu dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar.
Sementara itu Safira langsung memperbaiki selimutnya, bergerak agak menjauh dari lelaki itu.
"Jangan nangis lagi, Fir." Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Sean, membuat Safira gatal untuk melirik ke arahnya.
"Apa urusannya sama kamu?"
Ada helaan napas kasar, sebelum kemudian Sean memiringkan tubuhnya dan memandang Safira dari samping.
Safira tahu kalau lelaki itu sedang memandangnya, tapi ia tidak mau menoleh, jangan menoleh kalau ia ingin menyelamatkan hatinya.
"Dada gue tuh gremet-gremet gitu pas lihat lo nangis. Tapi jangan tanya kenapa, gue juga gak tahu." Sean mengakhiri penjelasannya dengan kekehan kecil, tapi Safira tidak juga menoleh. "Kayaknya gue gak bisa lihat perempuan nangis deh. Se—sensitif itu ya, Fir, hati gue?"
Safira berdecih. "Mungkin itu karena kamu ngerasa bersalah sama saya. Ya kan, memang kamu salah sama saya."
"Tadinya gue juga mikir gitu, tapi gue gak merasa ada salah sama lo kok."
"Salah kamu banyak, Sean, sama saya."
Meski minim penerangan, tapi Sean bisa melihat bibir Safira yang mengerucut di sebelahnya. Dan tanpa sadar itu mempu menyulut sudut bibir Sean tertarik lebar.
"Fir ..."
"Apa?" jawabnya ketus dan ogah-ogahan. Safira masih berbaring lurus, menatap langit kamarnya. "Tidur aja deh kamu, berisik tau gak."
"Fir," seolah tidak perduli dengan gerutuan perempuan itu, Sean memanggilnya lagi.
"Apa sih, Sean?"
"Nengok dong, Fir, mau lihat muka lo."
Astaga, begini saja membuat Safira gugup, apa lagi kalau mata mereka saling berpandang.
"Fir ..." masih tidak mau kalah, Sean memanggilnya tidak sabaran. "Safira ..."
Dengan decakan sebal yang sebelumnya tidak pernah Safira tunjukan pada siapa pun, ia menggerakan kepalanya ke samping, tepat ke arah Sean yang sedang memandangnya. "Apa?"
Untuk beberapa saat mata mereka saling berpandang, menciptakan gelenyar aneh yang membuat perasaan mereka makin tidak tenang. Sean tidak berbicara lagi, ia menikmati mata Safira yang sedang memandangnya dengan penerangan redup.
"Kenapa sih? Kamu tuh aneh."
Untuk detik selanjutnya, Sean sudah bisa mengendalikan perasaannya. "Lo tahu gak sih, Fir."
"Enggak, kan kamu belom cerita."
Sean mendengkus. "Udah bisa ngejawab sekarang ya, huh."
"Saya belajar dari kamu." balasnya sombong. "Lagian ada apa sih, mau ada yang kamu omongin?"
Kepala lelaki itu mengangguk samar, membuat kernyitan di dahi Safira terlipat dalam. Tumben tampangnya serius.
"Fir,"
"Iya?"
"Jangan nyusahin Raga, ya."
Kalimat singkat yang lagi-lagi mampu memberikan rasa penasaran di diri Safira. "Kenapa sih, Se? Aneh kamu tuh."
"Gue cuma gak mau dia menderita aja."
"Kenapa menderita?"
Merasa tidak sanggup bercerita, Sean hanya mengedikan bahunya menanggapi pertanyaan Safira. "Kapan-kapan deh gue ceritain, tapi yang jelas elo gak boleh pecat dia ya."
"Siapa sih yang mau pecat Raga ... bukan karena saya tahu dia salah satu dari keluarga kamu, tapi karena saya suka sama pembawaannya dan cara kerjanya, lebih dari itu, saya ngerasa dia orang baik kok."
Sean memandangi Safira dalam diam saat perempuan itu bercerita mengenai sepupunya.
"Dia sopan, dan enak untuk diajak bertukar pikiran. Meski kamu sama Raga saudaraan, tapi saya melihat ada perbedaan di antara kalian. Yang jelas, dia tidak semenyebalkan kamu." ada nada menyindir di akhir kalimat Safira.
"Jadi menurut lo gue nyebelin?"
"Iya," jawabnya yakin seraya memiringkan tubuhnya. "Kamu udah gak sopan, ngeselin, suka gangguin saya."
Sean berdecih dengan wajah masam. Bodo amat dengan sifatnya yang tadi Safira jabarkan, ia tidak merasa keberatan. Memang benar seperti itu, hanya saja ia sebal kalau itu harus dibandingkan dengan Raga. "Awas aja lo kangen sama gue nanti."
"Kenapa saya harus kangen kamu?" balas Safira tidak peduli. "Lagian kita kan satu rumah, kamu pasti bakalan terus ketemu saya."
"Nanti ... suatu saat pasti lo kangen."
"Percaya diri banget."
"Bukan percaya diri, tapi memang kenyataannya." Ia menarik pinggang Safira agar tubuh mereka semakin dekat. Saking dekatnya bahkan Safira bisa merasakan deru napas Sean menerpa wajahnya.
Tentu saja itu membuatnya tersentak kaget. "Sean?"
"Gue mau cium lo, Fir."
Kali ini bukan kaget lagi, Safira merasa jantungnya telah lepas hingga ke dasar lambung. Ia tidak bisa menjawab izin itu. Eh tunggu, itu Sean sedang meminta izin atau sedang memberitahukannya?
Mata Safira mengerjap gelisah. Ia gugup, lebih dari itu ia merasa aliran darahnya memanas.
"Poin terakhir, kalau pun ada kontak fisik harus dengan persetujuan masing-masing pihak. Jadi, gimana?"
Safira merasa lidahnya keluh, suaranya hilang tertelan kembali dengan kegugupannya, apalagi begitu Sean memajukan wajahnya dan meniupkan napas di bibirnya.
"Apa jawaban lo, Fir?"
Sumpah mati, Safira tidak mengerti apa yang ingin ia katakan, tapi bukannya menjawab, Safira malah memejamkan matanya—yang dianggap Sean sebagai lampu hijau. Memejamkan mata artinya menyetujui, maka dengan cepat sebelum perempuan itu berubah pikiran, Sean kemudian menundukan wajahnya, lalu mempertemukan bibirnya dengan bibir Safira.
****
terima kasih sudah menyukai dan mendukung cerita saya, jangan lupa like, komen, share, dan vote. i love yu all ❤❤
udah dihapus ya thor?
dimana kalau mau baca kisah mereka lagi...🥺
tp masih ada yg belum diubah itu thor.
hmmm fir fir.. mending kamu biarin jona sm diana. Klo sama medusa, Ga berasa canggung apa ya jdi satu keluarga sm mantan tmn tidur suami? 🙄
lagian knp jd ngurusin dia
otak dipke dong
Ga ada alesan bantuin atau apapun itu. Ingat sdh berumah tangga.
Lemah bgt jd cow, gmn mau ngelindungin anak istri
Bukan kyk sean yg plin plan
Dia begitu krn obsesinya sendiri.