Amira, wanita cantik berumur 19 tahun itu di jodohkan dengan Rayhan yang berprofesi sebagai Dokter. Keduanya masih memiliki hubungan kekerabatan. Namun Amira dan Rayhan tidak menginginkan perjodohan ini.
Rayhan pria berumur 30 tahun itu masih belum bisa melupakan mendiang istrinya yang meninggal karena kecelakaan, juga Amira yang sudah memiliki seorang kekasih. Keduanya memiliki seseorang di dalam hati mereka sehingga berat untuk melakukan pernikahan atas dasar perjodohan ini.
Bagaimana kisah cinta mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin Aprilian04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kedua
Rayhan menatap Amira yang saat ini tengah berbaring di atas ranjang. Wanita itu menyelimuti tubuhnya dengan selimut berwarna pink seraya memejamkan mata. Rayhan melangkahkan kakinya mendekati Amira lalu duduk di sebelahnya. Tangannya mengelus lembut rambut istrinya itu yang terasa begitu halus dan menguarkan aroma wangi yang menyejukan.
Keduanya memutuskan untuk kembali pulang kembali ke Bandung. Rencana honeymoon tiga hari, namun ternyata kondisinya sangat tidak memungkinkan. Amira jatuh sakit, dan Rayhan ada kepentingan mendadak di pekerjaan nya.
Amira menggeliat, lalu membuka matanya perlahan menatap Rayhan yang kini ada di sebelahnya.
"Udah di minum obatnya?" Rayhan akhirnya ikut berbaring, ia menatap wajah Amira yang tampak lumayan pucat.
Amira mengangguk sebagai jawaban. Rayhan menempelkan tangannya di kening Amira. Suhu tubuh istrinya itu kini sudah mulai menurun.
"Alhamdulillah panasnya turun. Gimana masih pusing gak?"
"Lumayan," jawab Amira lemas.
"Cepet sembuh yaa." Rayhan mengecup pelan kening Amira.
"Jangan banyak memikirkan hal yang memang seharusnya tidak di pikirkan, Amira. Jadinya sakit kan?" Sambungnya.
"Jangan meremehkan perasaan orang. Gak tahu aja perasaan wanita." Amira mendelik kesal.
Rayhan menghembuskan nafasnya pelan. "Mas mengerti perasaan kamu, tapi cemburu pada orang yang sudah meninggal itu buat apa? Toh Mas dan Khadijah gak akan pernah bisa kembali lagi kan? Lalu untuk apa kamu memikirkan itu semua sampai kamu sakit?"
Amira masih mendiaminya. Sejak semalam istrinya itu tidak bisa di ajak bicara dan tidak ceria seperti biasanya.
"Mas gak mau lho menumpuk masalah kaya gini. Kalau kamu masih belum puas dengan jawaban Mas bilang. Atau kalau kamu mau menenangkan diri juga bilang. Jangan sampai mendiamkan Mas seperti ini. Jujur saja Mas kurang nyaman."
"Bukan Kak Khadijah yang jadi permasalahannya. Tapi kamu, Mas." ujar Amira.
"Memang Mas kenapa?"
"Sudahlah, Mas. Kepala aku pusing. Aku gak bisa menjelaskannya. Tenang aja aku gapapa kok."
Amira membalikan tubuhnya memalingkan wajahnya dari Rayhan. Lagi-lagi Rayhan hanya bisa mengelus dada berusaha sabar. Menurutnya Amira belum dewasa, istrinya itu cenderung memendam perasaanya tanpa mau mengutarakannya. Dan hal itu tentu menjadikan komunikasi antara suami dan istri menjadi buruk. Dan jika terus di biarkan suatu saat nanti akan menjadi bom waktu. Apa susahnya istrinya itu mengatakan yang sebenarnya. Agar ia tahu kesalahannya sehingga bisa memperbaikinya.
Melihat Amira yang nampak lemas, Rayhan pun membiarkan istrinya itu istirahat terlebih dahulu. Ia pun ingin menenangkan diri terlebih dahulu. Dari semalam ketika baru saja ia sampai di Bandung, Rayhan langsung pergi ke Rumah Sakit karena ada suatu masalah internal yang lumayan fatal akibat kesalahannya. Untungnya hari ini masalahnya baru selesai, dan itu cukup membuatnya lelah fisik maupun pikiran.
Rayhan melangkahkan kakinya terlebih dahulu menuju balkon, ia duduk disana seraya menyeruput segelas kopi susu. Menurutnya menyelesaikan masalah dengan perasaan yang kalut itu tidak baik, karena akan menghadirkan masalah baru yang semakin rumit.
***
Satu hari tidak masuk kuliah karena masih sakit. Hari ini akhirnya Amira mencoba menguatkan dirinya untuk masuk kuliah. Meski badannya belum fit seutuhnya, tapi setidaknya Amira sudah bisa berjalan dan tidak terlalu merasa pusing dan demam di tubuhnya.
Kini ia tengah bersama dengan Safira. Keduanya tengah makan siang di kantin seraya bercerita dengan begitu asyik. Amira memesan es buah dengan nasi ayam goreng.
"Lo kemaren gimana liburannya di Maratua? Seru yaa?"
Amira mengangguk pelan, "Seru banget sih. Gue baru sadar bahwa ternyata Indonesia itu sangat indah, bak surga dunia." ucapnya antusias.
"Gue juga tadinya mau kesana, Mir. Om gue nyuruh gue kesana, tapi gue banyak kerjaan disini. Rasanya sayang kalau mengecewakan pelanggan."
"Wiihh, calon pengusaha nih." Goda Amira.
"Amiiinn, do'a in yaa. Nanti kalau gue udah kaya Lo jadi babu gue yaa?" ujar Safira.
"Ogah!" Amira mendelik kesal.
"Hahahaha.... " Safira si wanita tomboy itupun tertawa gelak melihat ekspresi kesal Amira.
Keduanya begitu menikmati makan siang ini. Apalagi perut Amira yang sangat lapar, namun tiba-tiba saja seseorang menghampirinya lalu duduk di sampingnya dengan membawa kursi sendiri.
"Syaqil.... " Kesal Amira melihat pria itu menghampirinya. Dengan refleks Amira menjauhkan dirinya dari pria bertubuh tinggi itu.
"Lagi pada makan siang yaa?" Syaqil melipatkan tangannya di meja seraya menatap Amira penuh senyuman.
"Lagi makan malam. Pake nanya lagi!" Ketus Safira kesal.
"Sewot amat sih." Syaqil menghela nafas menatap Safira.
"Lagian Lo ngapain disini sih!" Safira menepuk pelan lengan pria itu. Namun Syaqil tak menghiraukannya. Ia tetap berada di posisinya menatap Amira dengan tatapan penuh arti.
"Oh yaa, Amira. Kita kan satu kelompok. Gimana kalau ngerjain tugasnya di rumah gue?" Syaqil bertanya dengan raut wajah yang ceria.
"Gak bisa, maaf."
Semenjak kejadian itu, Amira menjaga jarak dengan Syaqil. Ia bahkan tak pernah mau bertegur sapa lagi dengan pria tersebut. Jika Syaqil bertanya maka dia akan menjawab dengan singkat. Namun jika tidak, maka ia akan bersikap seolah tidak kenal dengan Syaqil.
Namun hari ini kebetulan ia satu kelompok dengan Syaqil, dan mau tidak mau ia harus berurusan kembali dengan pria tampan dan tinggi itu.
"Terus kita mau ngerjain tugasnya dimana?"
"Di rumahnya Safira aja." Ketus Mira.
"Kontrakan, Mir. Bukan rumah," sahut Safira.
Amira menghela nafas, "Iya sama aja."
"Okay mau jam berapa, Mir? Gue biar siap-siap pesen makanan buat kita disana."
"Terserah, gimana kalian aja," ujar Amira seraya hendak melangkah pergi, namun lagi-lagi Syaqil menghadangnya.
"Lo kenapa sih, Mir? Gue kan udah minta maaf sejak kejadian itu. Lo jangan nyiksa gue kaya gini dong, kita kan teman," Syaqil akhirnya mengeluarkan isi hatinya.
"Maaf, gue cuman gak mau ribut-ribut lagi."
"Gue udah ngasih pelajaran sama Alesha untuk dia gak ganggu Lo lagi. Toh gue sama dia udah putus dari lama. Kita gak ada hubungan apa-apa lagi. Masa kita mau kaya gini terus?" ujar Syaqil.
Amira menghela nafas, disisi lain ada kasihannya juga dengan Syaqil. Pria itu memang membuktikan omongannya bahwa Alesha kini tak pernah lagi mengganggunya. Hanya saja ia tak mau terlalu dekat dengan Syaqil, karena ia tahu pria itu menaruh perasaan padanya dan berharap lebih dari sekedar teman. Jika ia membuka pintu untuk lebih dekat dengan Syaqil, ia sama saja memberikan harapan pada pria itu. Dan ia tidak mau itu terjadi, karena ia sudah memiliki suami.
"Gue juga biasakan, Qil? Emang gue harus gimana?" tanya Amira menatap wajah yang tampak penuh kesedihan itu.
"Yaa biasalah, kaya waktu pertama kali kita bertemu."
"Okay, okay. Nih gue udah biasa, terus?"
"Lo terpaksa!" Protes Syaqil.
"Astagfirullah, terus gue harus gimana?" Amira menghembuskan nafasnya pelan.
"Ribet amat sih, Lo, Qil. Udah ah gue sama Amira mau ke kantin, nanti kita ketemu di rumah kontrakan gue!" Safira menyelamatkan Amira. Tangan wanita itu menggenggam tangan Amira dengan erat lalu menggusurnya kembali menuju kelas.
***
Amira kini berada di toilet. Ia mencoba untuk menghubungi Rayhan karena sekarang ia harus kerja kelompok di rumah kontrakan Safira yang jaraknya lumayan dekat dengan jarak kampus. Sengaja ia bersembunyi di toilet agar tidak ada orang yang curiga padanya.
"Assalamualaikum, Mas!"
"Waalaikumsalam, ada apa, sayang?" ucap Rayhan lembut.
Amira sedikit mengulum senyum saat pria itu mengatakan kembali sayang.
"Aku hari ini ada kerja kelompok di rumah temen. Boleh?"
"Emangnya harus?"
"Harus banget, Mas. Ini penting, besok tugasnya harus udah selesai."
"Siapa aja?"
"Banyakan ada 4 orang."
"Perempuan semua?"
"Ada laki-lakinya, Mas." Amira menghela nafas, ribet sekali meminta izin pada suaminya tersebut. Toh dia tidak akan macam-macam.
"Ada berapa orang laki-lakinya?"
"Ada dua orang."
"Astagfirullah!"
"Aku mau kerja kelompok, Mas. Bukan mau selingkuh!" Kesal Amira.
"Iyaa tahu, tapi... "
"Ini perintah dosen, Mas. Aku gak bisa protes."
Terdengar helaan nafas Rayhan, "Baiklah, okay gapapa. Tapi pulangnya jangan malem yaa? Nanti Mas jemput."
"Iyaa nanti paling pulangnya jam 8 nan."
"Okay, nanti kabari. Lagi ya."
"Iyaa."
"Assalamualaikum, sayang."
"Waalaikumsalam."
"Sayangnya mana?"
"Waalaikumsalam sayaang."
Pipi Amira seketika memerah panas karena malu. Jantungnya berdetak lebih kencang saat kata-kata lembut nan manis itu keluar dari mulut Rayhan. Rasa kesal terhadap suaminya itu seketika menghilang begitu saja.
Dasar mood wanita yaa.
***
Amira saat ini tengah berada di sebuah rumah minimalis yang disana hanya ada satu kamar dan juga ruang tamu yang kecil. Disinilah tempat dimana Safira tinggal sendiri karena kedua orang tuanya sudah tidak ada.
"Kamu tinggal disini sendiri, Fir?" tanya Amira seraya melihat-lihat rumah bernuansa biru itu.
"Iya, Mir. Gue disini udah satu tahun. Sebelumnya gue tinggal sama Om gue. Tapi setelah di pikir-pikir gue gak mau ngerepotin orang lain. Gue akhirnya buka usaha kecil-kecilan, berdagang baju milik Tante gue terus di jual di shopee. Yaa lumayaanlah buat bayar kontrakan juga makan sehari-hari, plus bayar kuliah." Safira tersenyum.
"Mashaallah, kamu bener-bener kuat, Fir. Gue gak nyangka kamu bisa sehebat ini. Anak perempuan yang tegar, di tinggal oleh kedua orang tuanya lalu berusaha hidup di atas kakinya sendiri itu benar-benar hebat." Amira mengusap lengan Safira penuh dengan cinta.
Tanpa di pungkiri Safira berat melakukan ini semua. Ia di paksa dewasa dan harus tahan banting. Padahal ia pun sama fitrahnya seorang wanita yang lemah dan inginnya di lindungi juga di sayangi.
Mata Safira kini berkaca-kaca, Amira pun memeluk Safira menguatkannya.
"Gue tahu cape jadi Lo, Fir. Lo hebat, gue bangga punya sahabat yang kuat seperti ini. Allah gak akan ngasih ujian di luar batas kemampuan hambanya. Allah nguji kamu seperti ini karena Allah tahu kamu mampu. Kelak Insyaallah kamu akan mendapatkan pendamping hidup yang membuat Lo bahagia. Membalas semua kesedihan mu yang sekarang. Menjagamu dan mencintai mu lebih dari dirinya sendiri. Lo harus percaya bahwa hujan pasti ada redanya. Badai pasti berlalu." ujar Amira yang ikut menangis juga. Ternyata sosok Safira yang terlihat kuat dan tomboy itu faktanya di dalamnya begitu rapuh.
"Makasih yaa, Mir. Lo udah baik banget sama gue. Lo udah hadir di hidup gue, setidaknya gue punya tempat bercerita dan berkeluh kesal. Hidup gue sepi, Mir. Setiap harinya sama, isinya cuman pekerjaan, sekolah dan tangisan di malam harinya."
"Lo pasti kuat, Fir!" Amira menepuk-nepuk bahu wanita bertubuh tinggi tersebut.
"Makanya cepet nikah biar punya temen hidup yang jagain dan bisa nafkahin kamu!" Ledek Amira.
"Gue pengen banget punya suami. Tapi gue punya perasaan sama satu laki-laki yang gue harap dia akan jadi suami gue nantinya,"
Amira berbinar mendengar itu semua, "waaahh, siapa dia, Fir? Kasih tahu doongg!"
Safira kini mengulum senyum, lalu ia mengajak Amira untuk duduk di sebuah tikar berwarna biru itu.
"Tapi Lo janji jangan kasih tahu siapa-siapa yaa... "
Amira mengangguk pelan, "Iya, siapa dong?"
"Dia masih bagian dari keluarga gue dulunya. Dia adalah mantan Kakak ipar gue. Dia adalah laki-laki yang tampan dan shaleh. Semenjak kepergian Kakak gue, perasaan ini tiba-tiba muncul. Sebelumnya gue menepis semua perasaan itu, namun semakin hari perasaan ini semakin mendalam, wajahnya yang teduh selalu terbayang-bayang di benak. Dulu Kakak gue pernah berpesan untuk gue menikah dengannya, tapi... "
"Assalamualaikum!"
***
Aku udah up lagi nih temen-temen.
Awas kalau gak komen dan vote yaa...😅