Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Welcome to Japan
Pesawat mendarat mulus di Bandara Haneda sore itu. Udara dingin khas Jepang langsung menyapa ketika mereka keluar dari terminal. Velora merapatkan coat tipisnya, sementara Arvenzo berjalan di samping, membawa koper ringan di tangannya.
“Dingin sekali,” Velora bergumam, meniup telapak tangannya.
Arvenzo melirik sebentar, lalu spontan menyesuaikan langkah. “Kamu harusnya pakai syal, Vel. Nanti masuk angin.”
Velora menoleh, tersenyum kecil. “Kamu sendiri gimana? Luka tusukanmu masih terasa, kan?”
Pria itu diam sejenak, pandangannya lurus ke depan. “Sudah kering. Sesekali nyeri, tapi aku bisa menahannya. Jangan khawatir.”
Jawaban tenangnya justru membuat Velora makin cemas. Ia tahu Arvenzo jarang mau mengeluh, jadi pasti rasa sakitnya lebih dari yang ia akui. Tanpa banyak bicara, Velora meraih lengan Arvenzo, seakan memastikan ia tidak berjalan sendiri.
Perjalanan mereka berlanjut hingga ke Hakone. Malam itu, mereka tiba di Fuji Serenity Resort, sebuah penginapan bergaya modern dengan sentuhan tradisional Jepang. Dari lobi, terlihat siluet Gunung Fuji berdiri megah, meski tertutup kabut tipis.
“Indah sekali...” Velora berbisik kagum begitu mereka menapaki koridor kayu menuju kamar.
Arvenzo meliriknya, sudut bibirnya terangkat samar. “Nggak salah kan aku bawa kamu ke tempat ini?”
Kamar mereka memiliki balkon pribadi yang menghadap langsung ke danau dengan latar Fuji. Saat pintu geser dibuka, udara sejuk masuk bersama aroma kayu basah. Velora berdiri di ambang pintu, matanya berbinar melihat pemandangan itu.
“Aku nggak nyangka bisa ada di sini,” katanya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Arvenzo mendekat, berdiri di sampingnya. Ia menahan nyeri kecil di perut sisa tusukan itu kadang berdenyut ketika ia terlalu banyak bergerak tapi ekspresinya tetap tenang. “Kamu layak dapat ini. Kita layak punya momen seperti ini.”
Velora menoleh, terkejut mendengar nada lembut di suara Arvenzo.
Malam itu, mereka makan malam bersama di ruang tatami dengan jendela besar menghadap taman yang diterangi lampion. Obrolan terasa ringan, jauh dari kesibukan kantor atau bayang-bayang rumah sakit. Sesekali Velora memperhatikan bagaimana Arvenzo menahan diri ketika bergerak, lalu tanpa sadar ia memotongkan makanan untuknya.
Arvenzo sempat menatap Velora lama, seakan baru benar-benar melihat sisi lain dari istrinya. Rasa nyeri di tubuhnya perlahan tenggelam, tergantikan hangat yang ia rasakan setiap kali Velora tersenyum.
Setelah makan malam, seorang staf resort mengantar mereka menuju area onsen private yang sudah disiapkan. Di sana ada dua ruang ganti terpisah, satu untuk pria dan satu untuk wanita.
“Vel, kita ketemu lagi di depan pintu onsen,” kata Arvenzo singkat sebelum melangkah ke ruang ganti pria.
Velora mengangguk kecil, wajahnya sudah sedikit merona sejak tadi karena membayangkan situasi ini. Ia masuk ke ruang ganti wanita, di mana sudah tersedia kimono merah muda bermotif bunga sakura dan handuk kecil. Dengan hati-hati, ia melepas pakaiannya dan mengenakan kimono itu.
Sementara itu, di ruang sebelah, Arvenzo sudah berganti ke kimono biru tua. Ia berdiri di depan cermin sejenak, mengikatkan tali pinggangnya dengan rapi. Tatapannya sempat berhenti pada bayangan samar luka tusukan di perutnya yang kini mulai mengering. Ia menarik napas panjang, lalu keluar.
Mereka kembali bertemu di depan pintu kayu geser menuju onsen. Velora muncul beberapa saat setelahnya, kimononya jatuh anggun dengan rambut panjang tergerai. Arvenzo sempat tertegun sepersekian detik melihatnya.
“Sudah siap?” tanya Arvenzo, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.
Velora mengangguk, mencoba tersenyum walau jelas-jelas gugup. “Iya.”
Begitu mereka melangkah masuk ke area onsen, uap hangat segera menyambut. Arvenzo mulai melepas kimononya lebih dulu, kain biru itu melorot dari tubuhnya, menyisakan celana pendeknya. Tubuh kekarnya yang sebagian masih menyimpan bekas luka terlihat jelas di bawah cahaya lampu temaram.
Velora spontan menoleh ke arah lain, jantungnya berdebar tak karuan. Tangannya meremas erat tali kimononya sendiri.
Arvenzo meliriknya sekilas, bibirnya terangkat tipis. “Giliranmu, Vel.”
Velora menunduk, lalu dengan tangan gemetar melepas ikatannya. Begitu kimono itu terlepas, Arvenzo sempat membeku. Matanya tak bisa lepas dari lekuk tubuh istrinya yang menggunakan dalaman tipis itu ternyata jauh lebih indah daripada yang pernah ia bayangkan. Ada sesuatu yang berbeda, tidak sama sekali dengan wanita-wanita yang dulu hanya singgah sebentar di hidupnya, yang sekadar menjadi pelarian dan pemuas nafsu.
Velora buru-buru merapatkan tubuhnya, kimononya sudah terlepas dan kini hanya tertutup oleh kedua tangannya yang ia silang di depan dada. Wajahnya memerah, pandangannya menghindar dari suaminya.
Arvenzo yang duduk di tepi onsen hanya menatapnya, tidak berkata apa-apa beberapa detik. Ada gurat kagum dan hasrat yang jelas tergambar dari sorot matanya, sampai akhirnya ia membuka suara.
“Vel...” ucapnya rendah, suaranya dalam tapi lembut. “Kamu nggak perlu malu di depanku. Aku ini suamimu.”
Velora menggigit bibir bawahnya, makin menunduk. “Tetap saja, rasanya canggung, Ar.”
Arvenzo menghela napas tipis, lalu mengulurkan tangannya sambil memberi isyarat. “Sini. Duduk di sebelahku.”
Velora sempat ragu, jari-jarinya mencengkeram lengan sendiri seakan takut melepaskan. Tapi tatapan Arvenzo yang tenang dan meyakinkan perlahan membuatnya luluh. Dengan langkah pelan dan hati yang berdebar, ia akhirnya mendekat dan duduk di sisi Arvenzo, masih setengah menutupi tubuhnya.
Begitu jarak mereka hanya sejengkal, Arvenzo berbisik sambil menatapnya dalam, “Aku cuma pengen kita lebih dekat. Nggak ada yang perlu kamu sembunyikan dariku, Vel.”
Velora menelan ludah, tubuhnya masih tegang, tapi hangatnya air onsen dan kehadiran suaminya perlahan membuat rasa canggung itu mencair. Ia menghela napas perlahan, lalu melirik Arvenzo sekilas. Tatapan itu bertemu, membuat wajahnya makin panas.
Arvenzo mencondongkan tubuh sedikit, satu lengannya terangkat pelan ke belakang tubuh Velora, menariknya lebih dekat. Sentuhan itu sederhana, tapi cukup membuat Velora terkejut. Ia sempat membeku, namun akhirnya membiarkan dirinya bersandar, merasakan ketenangan dari pelukan yang ditawarkan.
Suasana hening sejenak, hanya suara air yang beriak pelan dan uap hangat yang mengepul di sekitar mereka.
“Hangat sekali, ya...” Velora mencoba membuka percakapan, suaranya terdengar lirih.
Arvenzo menoleh sedikit, menatap wajah istrinya yang mulai berani mengangkat pandangan. “Iya. Sama seperti hatiku sekarang.”
Velora tersenyum kecil, geli sekaligus malu mendengar jawaban itu. “Ternyata kamu bisa bicara manis juga ya, Ar,” candanya pelan.
Arvenzo hanya tersenyum tipis, lalu menundukkan kepala sedikit mendekat. “Aku nggak biasa. Tapi kalau untuk kamu, aku bisa belajar.”
Velora terdiam, jantungnya kembali berdebar cepat. Ia menggenggam ujung lengan Arvenzo yang berada di bahunya, seakan mencari pegangan.
“Ar...,” katanya pelan, “Aku senang kamu ngajak aku ke sini. Rasanya berbeda.”
Arvenzo menatapnya dalam, matanya serius namun hangat. “Aku memang pengen kita punya waktu kayak gini, Vel. Nggak cuma jadi suami-istri di atas kertas, tapi benar-benar saling mengenal lebih dekat dari sebelumnya.”
Velora menunduk lagi, kali ini bukan karena malu, tapi karena menahan senyum bahagia yang perlahan muncul. Untuk pertama kalinya, ia merasa keintiman mereka bukan sekadar status, melainkan pilihan yang mereka bangun bersama.
Arvenzo menatap wajah istrinya lama, seolah enggan mengalihkan pandangan. Perlahan, ia mengangkat tangannya, jemarinya menyentuh pipi Velora yang memerah karena uap hangat bercampur rasa gugup. Velora terperanjat kecil, tapi tidak menolak ia justru menutup mata Arvenzo sesaat, menikmati kelembutan itu.
“Vel...” suara Arvenzo terdengar berat, nyaris bergetar. “Can I kiss you?”
Sebelum Velora sempat menjawab, tubuhnya sudah ditarik halus. Tangan kiri Arvenzo menahan tengkuk Velora, menariknya mendekat, lalu bibirnya menempel lembut di bibir istrinya. Velora sempat kaku, tapi detik berikutnya ia luluh, membalas ciuman itu dengan pelan.
Tangan kanan Arvenzo bergerak turun, menyusuri sisi tubuh istrinya lalu berhenti di perutnya, mengelus perlahan seakan ingin menenangkan sekaligus memeluk lebih erat. Sentuhan itu membuat Velora tersentak halus, tubuhnya bergetar kecil di bawah dekapan suaminya.
Keheningan di onsen seakan larut bersama sentuhan mereka. Uap hangat yang mengepul di sekeliling menutup dunia, menyisakan hanya mereka berdua. Ciuman itu semakin dalam, meski tetap penuh kesabaran. Hasrat jelas menyala dalam diri Arvenzo, tapi ia menahannya, memilih membiarkan Velora merasa aman di pelukannya.
Saat akhirnya bibir mereka terlepas, Velora menunduk, wajahnya benar-benar merah padam, napasnya tidak beraturan. Arvenzo masih menempelkan dahinya di kening istrinya, ibu jarinya mengusap lembut perut Velora, sementara tangannya yang lain tetap di tengkuknya.
“Sekarang aku makin yakin,” bisiknya rendah, suaranya serak namun hangat. “Kamu satu-satunya yang aku butuhkan, Vel.”
Velora tidak menjawab, hanya menyandarkan kepalanya ke dada Arvenzo, membiarkan debar jantungnya menyatu dengan degup milik suaminya.
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭