NovelToon NovelToon
Jodoh Jalur Orang Dalam

Jodoh Jalur Orang Dalam

Status: sedang berlangsung
Genre:Hamil di luar nikah / Konflik etika / Selingkuh / Cinta Terlarang / Keluarga / Menikah Karena Anak
Popularitas:578
Nilai: 5
Nama Author: yesstory

Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Siapa Dia

Mardi dan Sinta berada di kota hingga satu minggu kemudian. Sepanjang mereka di sana, Mardi tak menceritakan apapun pada Sinta tentang percakapannya dengan Nira pagi itu. Mardi akan bercerita nanti jika mereka sudah sampai di kampung halaman.

Setelah Nira mengatakan keinginannya untuk bercerai, Mardi diam-diam memperhatikan Riki. Tak ada yang aneh. Riki menunjukkan sikap baik dan rasa sayangnya pada Nira juga pada anak-anak mereka. Atau mungkin Riki melakukan itu karena masih ada Mardi dan Sinta. Entahlah.

Yang jelas, Mardi mulai merasa tak suka pada menantu sulungnya itu. Mardi tak sanggup membayangkan sekasar apa Riki pada Nira hingga Nira tak kuat lagi dan ingin bercerai. Mardi juga tak sanggup membayangkan betapa takutnya Nira saat Riki berlaku kasar.

“Pak?”

Mardi tersentak saat Sinta menyentuh lengannya.

“Bapak mikirin apa? Dari tadi kok lihatin Riki terus?” Tanya Sinta.

Keduanya sedang duduk di teras depan, menunggu Riki memanaskan mobil. Hari ini, mereka akan kembali ke kampung halaman. Riki akan mengantarkan mereka sampai terminal bus.

“Nggak mikirin apa-apa, Bu,” jawab Mardi tersenyum.

Sinta mengernyitkan dahi,” Masa? Dari tadi loh terus lihatin Riki. Riki ada salah sama Bapak? Atau Bapak mau ngomong sesuatu sama dia?”

Mardi menggeleng,” Nggak, Bu. Ya ngliatin menantu sendiri masa nggak boleh.”

Sinta menghela napas, mengangguk.

“Mau berangkat sekarang apa nanti, Pak, Bu?” Tanya Riki mendekati kedua mertuanya.

“Sekarang aja lah, Rik. Takut kejebak macet nanti kalau terlalu mepet,” jawab Sinta.

Riki mengangguk. Ia membawa tas kedua mertuanya dan memasukkannya ke dalam mobil.

Nira keluar dari rumah dengan menggendong Alvin. Di belakangnya, Mbak Dewi menggendong Arsa. Mardi dan Sinta langsung berpamitan.

Mardi memeluk Nira, tersenyum hangat, mengangguk dan berkata pelan,” Semua pasti baik-baik saja, Nak.”

Nira mengangguk.

“Aku antar Bapak sama Ibu dulu ya,” ucap Riki setelah mencium kening Nira.

Nira mengalihkan pandangan saat Riki mengulurkan tangan—meminta tanpa suara agar Nira mencium punggung tangannya, tapi Nira acuh, pura-pura tak melihat.

Riki mendengus. Ia berjalan ke mobil. Nira melambaikan tangan pada kedua orang tuanya saat mobil meninggalkan garasi.

Sepanjang perjalanan, mobil terasa lengang. Baik Mardi, Sinta, ataupun Riki tak ada yang bicara. Sinta menoleh, melihat Mardi yang menatap kaca jendela di sampingnya. Sinta merasa ada yang berbeda dari Mardi. Suaminya itu lebih pendiam.

Sampai di terminal pun, masih tak ada yang bicara. Suasana jelas canggung. Tak seperti saat Mardi dan Sinta datang satu tahun lalu setelah Nira melahirkan anak pertama.

Begitu petugas terminal memberitahukan bahwa bus akan segera berangkat, Mardi dan Sinta berpamitan. Riki mencium punggung tangan kedua mertuanya takzim.

Sebelum Mardi melangkah, ia berkata pelan pada Riki,” Kalau kamu libur, ajaklah Nira sama kedua anak kalian ke rumah orang tuamu.”

Riki mengernyit, tak mengerti. Sepanjang jalan hanya diam, tiba-tiba Mardi mengatakan itu. Tapi, Riki mengangguk.

Setelah bus yang ditumpangi Mardi dan Sinta melaju meninggalkan terminal, Riki langsung berangkat bekerja.

Sementara itu, di rumah, Nira sedang menyiram tanaman hiasnya saat Mbak Dewi mendekat.

“Bu.”

Nira menoleh,” Iya, Mbak? Arsa sudah tidur?”

“Sudah, Bu,” angguk Mbak Dewi.

Nira mengangguk, kembali menyiram tanaman.

“Bu, saya ingin bicara.”

Nira kembali menoleh,” Bicara apa, Mbak?”

“Eum, saya mau berhenti kerja, Bu.”

Nira tersentak,” Berhenti kerja?”

Mbak Dewi mengangguk,” Ibu saya sakit di kampung, Bu. Nggak ada saudara yang jaga. Saya mau merawat Ibu saya, Bu.”

Nira melangkah, mematikan kran air.

“Kita bicara di dalam, Mbak.”

Mbak Dewi mengangguk, mengikuti langkah Nira masuk ke dalam rumah.

“Mbak Dewi beneran berhenti kerja karena mau merawat Ibunya Mbak?” Nira bertanya begitu mereka duduk di sofa ruang tamu.

“Iya, Bu.”

“Bukan karena nggak betah kerja di sini?”

Mbak Dewi menggeleng,” Saya sebenarnya betah, Bu. Ibu dan Bapak baik sama saya. Hanya saja, saya nggak bisa bolak balik minta ijin buat jenguk Ibu saya, Bu. Jadi, saya memutuskan untuk berhenti kerja.”

Nira menghela napas panjang, bersandar,” Terus gimana sama Arsa dan Alvin? Siapa yang bantu saya lagi?”

Mbak Dewi terdiam. Ia menunduk.

“Mbak Dewi nggak langsung berhenti hari ini ‘kan?”

Mbak Dewi menggeleng.

“Ya sudah. Saya bilang dulu sama Riki ya, Mbak.”

Mbak Dewi mengangguk, lantas pamit, kembali bekerja.

Malam harinya, Nira berbicara pada Riki tentang Mbak Dewi yang ingin berhenti bekerja. Walaupun sebenarnya Nira malas sekali untuk berbicara dengan suaminya, tapi ini masalah anak-anak mereka.

“Dititipin aja ke Bapak sama Ibu di kampung. Dulu mereka pernah nawarin mau ngasuh Arsa ‘kan?”

“Tapi, kasihan Bapak kalau Ibu berangkat ngajar, Bapak ngasuh Arsa sendirian.”

“Ya terus gimana? Mau cari pengasuh baru? Mau cari dua sekaligus buat Alvin juga?”

“Sayang uangnya tapi.”

“Ya udah Arsa titipin ke Bapak dan Ibu aja.”

“Terus siapa yang nganter Arsa ke sana?”

Riki berpikir sejenak,” Aku bisa.”

“Terus kerjaan kamu? Jangan bilang kamu udah keluar lagi dari pekerjaanmu.” Mata Nira memicing, menatap curiga.

“Ya enggaklah. Aku bisa ijin.”

Tatapan Nira menelisik, menolak percaya karena Riki pernah membohonginya.

“Kalau nggak percaya, datang aja ke showroom. Kamu juga tahu tempatnya. Tanya apa aku masih kerja di sana atau enggak,” ucap Riki.

“Ya udah. Nanti aku telepon Bapak dan Ibu dulu.”

Riki mengangguk,” Eum, Sayang, boleh minta tolong buatkan kopi?”

“Bikin sendiri.”

“Please, Sayang. Sekali ini saja layani suamimu ini.” Riki menatap penuh permohonan pada Nira.

Nira menghela napas jengah,” Baiklah.”

Riki tersenyum manis,” Gitu dong. Makin sayang deh.”

“Sayang kok disakitin terus.”

Riki terdiam, tersentak sesaat sebelum akhirnya nyengir. Nira berjalan menuju dapur, membuatkan kopi, lalu mengantarkannya.

‘Anggap saja ini kopi terakhir yang aku buat untuk kamu sebelum kita cerai,’ ucap Nira di dalam hati.

Setelah meletakkan kopi di depan Riki, Nira ke kamar. Ia masih tidur di kamar bawah bersama Arsa juga Alvin. Riki sudah membujuk dan merayu Nira agar Nira mau kembali ke kamar mereka di lantai atas, tapi Nira tetap tak mau. Ia tak ingin tidur sekamar lagi dengan Riki.

***

Nira terbangun. Mengerjapkan mata, melirik jam kecil di meja nakas, lalu melirik botol minumannya yang kosong.

Tenggorokannya kering. Mau tak mau, Nira beranjak, keluar kamar membawa botol minumannya.

Nira melangkah menuju dapur. Tapi sayup-sayup, ia mendengar suara yang sangat ia kenal. Nira berjingkat pelan, mendekati sumber suara.

“Kamu sendiri kenapa nggak tidur? Udah jam satu malam lho.”

Suara Riki meski pelan, tapi masih terdengar jelas karena ruangan yang sepi.

Deg!

Nira menghentikan langkah di balik tembok ruang tamu. Dengan jantung berdebar, Nira mengintip. Riki duduk di sana, di sofa, sedang melakukan video call entah dengan siapa.

Wajah Riki berseri-seri, memamerkan senyuman yang dulu membuat Nira terpesona. Dan suara Riki selanjutnya, membuat Nira terbelalak.

“Iya, Sayang. Besok aku ke sana. Udah kangen banget ya?”

1
Miu miu
Gak terasa waktu lewat begitu cepat saat baca cerita ini, terima kasih author!
ZodiacKiller
Ga sabar nunggu kelanjutannya thor, terus semangat ya!
yesstory: Terima kasih kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!