Cerita ini sepenuhnya adalah fiksi ilmiah berdasarkan serial anime dan game Azur Lane dengan sedikit taburan sejarah sesuai yang kita semua ketahui.
Semua yang terkandung didalam cerita ini sepenuhnya hasil karya imajinasi saya pribadi. Jadi, selamat menikmati dunia imajinasi saya😉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tirpitz von Eugene, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Hampir satu jam lamanya pertarungan itu berlangsung, menit-menit berlalu terasa semakin berat bagi para gadis. Singosari mencoba untuk memusatkan perhatiannya pada petarung-petarung nya yang tersisa, sedangkan petarung-petarung milik kakaknya sudah jatuh satu persatu.
"Shikikan-sama, Shikikan-sama, apa kau mendengar ku?" panggil nya lewat radio, mencoba untuk menghubungi komandannya itu. Tapi tak ada balasan yang terdengar, hatinya semakin gelisah karna sambungan radio masih mengalami gangguan.
"Kita tak bisa bertahan lebih lama, Singo-sama," ujar Djateng pasrah, "kita harus mundur untuk menghindari korban yang lebih banyak."
"Tidak! Kita harus tetap bertahan dalam keadaan apapun! Aku yakin, shikikan-sama pasti sedang memikirkan cara terbaik untuk menolong kita."
Seolah mendapat jawaban ilahi, radio tiba-tiba berhasil terhubung kembali. Suara Tirpitz segera terdengar di radio, tapi kali ini terdengar juga ombak berdesir seolah ia sedang meluncur di atas permukaan laut.
"Bertahanlah, gadis-gadis kesayangan ku! Aku akan sampai lima menit lagi!"
"Radio berhasil terhubung kembali, shikikan-sama akan datang menolong kita!" seru Singosari riang.
Sorak-sorai penuh semangat segera dilontarkan oleh para gadis, yang menbuat Madjapahit akhirnya bangun dari pingsannya.
"Apa yang terjadi, Singo-san?" tanya lemah.
"Shikikan-sama akan datang menolong kita, nee-san. Dia sedang dalam perjalanan kemari."
Tepat saat itu, beberapa petarung Mitsubishi A6M Zero dan A5M Claude datang dan segera bergabung dalam pertempuran udara, mereka berhasil membabat habis sebagian besar pesawat Seiren yang sebelumnya menguasai langit. Kedatangan pesawat-pesawat milik kekaisaran Sakura itu bukan tanpa alasan, karna sejurus kemudian Yukikaze dan empat gadis dari kelas Kagero serta Nagara dan Abukuma melintas di depan mereka.
"Menyingkir dari jalur ku! Hush! Hush!" ujar Yukikaze dengan sombongnya.
"Maaf atas keterlambatan kami, Singo-san, Madja-san," sapa Nagara saat melintas, "sekarang giliran kami yang bekerja!"
Setelah Yukikaze dan yang lainnya melintas, Kongo dan ketiga adiknya datang bersama Shoukaku dan Zuikaku.
"Yahuu! Akhirnya kita bisa bertempur lagi, Shoukaku-nee!" seru Zuikaku sambil meluncurkan pesawat-pesawat Aichi D3A "Val" dan Nakajima B5N "Kate" dari landasan pacu nya.
Keenam kapal itu segera bergabung ke dalam formasi konvoi, membuat Madjapahit terharu karna ternyata Tirpitz masih sangat peduli dengan kondisi mereka.
Dibulatkan nya tekad dan dikuatkan nya pijakan kakinya, Madjapahit segera memberi perintah pertama dalam babak baru itu.
"Mataram-san, pimpin lah adik-adik kita! Serang dan gempur tiga kapal biadab disana!"
"Aye-aye, kakak tertua." balas Mataram lalu memimpin ketiga adiknya untuk berpisah dari formasi utama. Keempat kapal tempur cepat kelas Keradjaan pertama itu segera melesat, meluncur memecah ombak lautan dengan kecepatan tiga puluh lima knot.
"Kongo-san, tolong pimpin adik-adik mu. Kita lakukan salvo bersama dan hujani dua kapal tempur lawan!"
"Daijoubu des, Madja-san!" sahut Kongo lalu memberikan isyarat dengan kedipan lampu sinyal pada bando nya.
"Bagaimana dengan kami, Madja-san?" tanya Shoukaku tak sabar.
"Jadilah pahlawan di udara! Usir semua alap-alap dan Petrel badai ini!"
"Eh? Apakah kau meminta kami untuk mengusir burung-burung itu dengan petarung kami?" tanya Zuikaku tak mengerti.
"Zuikaku-san, itu adalah sandi untuk petarung dan pembom torpedo lawan." ujar Singosari menjelaskan.
"Ah baiklah! Maafkan saya atas ketidaktahuan saya." sahut Zuikaku sambil melakukan gerakan membungkuk.
Madjapahit memalingkan pandangannya menatap Singosari lalu mengangguk, anggukan itu segera dibalas oleh Singosari dengan kedipan mata dan senyuman.
Dua gadis itu segera mengarahkan kedua dek penerbangan mereka sambil menyiapkan petarung yang tersisa.
"Terbang lah rajawali ku! Jatuhkan lah mereka yang telah mengusir mu dari wilayah kekuasaan mu!" seru Madjapahit. Seruan itu membuat petarung-petarung yang sudah siap lepas landas diselimuti oleh api keemasan, "Meluncur!"
Seketika itu juga Me-262 dan P-51M Mustang meluncur bagaikan anak panah yang dilepaskan dan segera lepas landas dari dek penerbangan nya, disusul dengan petarung milik Singosari yang diselimuti api kehitaman.
Dua jenis pesawat tempur itu seolah memiliki kesadaran dan jiwa tersendiri, mereka dengan ganasnya membabat apa pun yang menghalangi kedaulatan udara mereka, bahkan beberapa A6M Zero milik Zuikaku hampir saja menjadi korban mereka jika gadis itu tak segera menjauhkan mereka dari zona pertempuran udara!
...****************...
Di sisi lain, Tirpitz saat ini sedang berlayar menuju lokasi pertempuran. Ia dan Marina menaiki sebuah kapal cepat torpedo, karna sebelumnya Marina menteleportasi nya kembali ke pulau Tunda. Tirpitz terus memacu kecepatan kapal itu, bahkan kecepatan maksimalnya yang hanya lima puluh knot masih dirasa kurang.
"Zero, ehh... Marina-chan. Apakah kau benar-benar yakin kalau aku bisa menggunakannya?"
Marina yang saat itu sedang duduk di depan meja peta menoleh sebentar.
"Bukannya kemarin sudah terbukti bahwa kau bisa?"
"Tapi kan kekuatan itu dipinjamkan oleh Singosari, bukan kekuatan yang ada didalam tubuhku."
"Halah, omong kosong!"
Marina bangkit lalu menghampiri Tirpitz yang sedang berdiri dibalik roda kemudi kapal.
"Kenapa tidak kau coba saja sekarang? Lagi pula kekuatan dua kubus itu sudah saling mengikat, ditambah dengan kekuatan yang belum terdefinisi kan dari kubus pengetahuan."
"Bagaimana denganmu?"
"Aku ini kan Seiren, otomatis aku memiliki zirah tempur sendiri." ujar Marina sambil memutar bola matanya.
"Apa tidak berbahaya? Maksudku, jika kau masuk ke mode tempur, bisa jadi para gadis akan menyerang mu."
Kali ini Marina sedikit merasa jengkel, ia menendang pelan kaki kiri Tirpitz sambil berkata.
"Tentunya aku akan mematikan transponder ku, sayang! Dengan begitu para gadis tidak akan merasakan kekuatan yang mengancam, dan juga kapal-kapal kami tidak akan merasakan bahwa salah satu pemimpin mereka sedang ditawan."
"Lalu, apa kau akan ikut bertempur bersama kami?"
"Hah? Tentu saja tidak! Menyerang kawan sendiri hanya akan membuat status ku menjadi abu-abu, seperti faksi META."
Tirpitz berpikir sejenak, ia masih ragu untuk mencoba menggunakan kekuatan kubus pengetahuan yang ada pada dirinya. Di saat itulah, tiba-tiba dilihatnya kapal hantu Flying Dutchman yang berlayar beberapa mil di sebelah kanannya, seketika membuat keraguannya sirna.
"Baiklah," ujar Tirpitz sambil sesekali menoleh ke arah Dutchy, "kita coba sekarang!"
Tanpa banyak basa-basi, ia segera menggandeng tangan Marina dan menuntunnya menuju haluan kapal torpedo. Sejenak ia mengumpulkan keberaniannya untuk melompat, lalu ia memberikan aba-aba kepada Marina untuk melompat bersama.
"Sekarang!"
Seketika kapal torpedo itu bersinar dengan perpaduan cahaya biru dan emas saat mereka berdua melompat ke laut, sebelum akhirnya meledak menjadi kubus-kubus kristal biru dan emas. Saat ia membuka matanya, tubuhnya sudah menggunakan zirah tempur dari kapal torpedo tadi, dengan cahaya biru keemasan seolah mengalir mengelilingi tubuhnya.
"Apa - apa aku berhasil?" gumamnya pada diri sendiri.
"Selamat, Eugene-san. Kau sudah membuktikan bahwa kekuatan kubus itu menyatu dengan jiwa dan raga mu." ucap Marina yang saat ini sudah berada dalam mode tempur dengan zirah Seiren nya.
Zirah tempur milik Marina, atau bisa dibilang juga Zero, terlihat sangat kuat, mewah, dan futuristik, dengan garis-garis cahaya berwarna merah dan biru menghiasinya. Alih-alih menggunakan tangan hidrolik seperti para gadis kapal, zirah tempur nya menggunakan struktur logam dari titanium untuk menopang dua buah turret dengan tiga laras meriam, entah berapa kaliber meriam yang ia gunakan.
Di bawah masing-masing turret nya, terdapat tiga lubang yang terlihat seperti peluncur torpedo. Pakaian yang ia kenakan sendiri sedikit berbeda dari sebelumnya, kali ini sebuah jubah berwarna putih pucat yang terlihat seperti susunan bantal berukuran kecil melintang di kedua bahunya, memberikan kesan seolah jubah itu adalah sayap seekor burung Albatros.
Sebuah struktur kubah berwarna kebiruan dengan hiasan berbentuk simbol positif berwarna hitam terbentuk di atasnya, nampak jelas bahwa kubah itu terlihat sangat mirip dengan bagian kepala ubur-ubur.
Satu hal yang membuatnya berbeda dengan dirinya yang tidak dalam mode tempur adalah raut wajah dan nada bicaranya. Raut wajah gadis itu sangat tenang, sama sekali tak menunjukkan gerak perasaannya. Sedangkan nada bicaranya menjadi datar dan dingin, berbeda dengan sebelumnya yang masih bisa di tebak suasana hatinya! Tatapan matanya terlihat sayu dan dingin, seperti seseorang yang menyembunyikan rasa kantuknya dengan ekspresi dingin.
"Wow, boleh juga zirah tempur mu," puji Tirpitz saat melihat Marina yang dalam mode tempur, "apakah aku boleh meminjam nya suatu saat nanti?"
Marina melirik sebentar ke arah Tirpitz, lalu berkata.
"Boleh, dengan catatan kau harus mengorbankan jiwa dan raga mu. Lalu dibangkitkan dalam bentuk sebuah program baru, yang pastinya Compiler tak akan suka mendengar bahwa ada program yang lebih muda darinya."
"Mengerikan!"
Sama sekali tak ada perubahan ekspresi dalam wajah gadis itu, tapi Tirpitz masih bisa menebak kalau Marina sedang tersenyum dari gerakan tubuhnya.
"Eugene-san, harap dicatat baik-baik bahwa aku tak bisa berekspresi sama sekali dalam mode tempur ini. Entah kenapa, program ku diciptakan untuk tak memiliki ekspresi atau perasaan."
"Hei, aku lupa membawa buku catatan ku!"
"Terserahlah!"
Mereka berdua meluncur dengan kecepatan hampir mencapai seratus knot dengan zirah tempur itu. Sedang dibelakang mereka, kapal hantu Flying Dutchman mengikuti dengan kecepatan yang setara! Sangat aneh bukan?
"Dengan begini, kita akan sampai dalam waktu beberapa menit. Jadi fokus lah mengendalikan diri mu, kita tak ingin terlambat hanya karena kau tak sengaja menyerempet sebuah karang kecil."
Tirpitz tersenyum pahit, ia hanya berkata.
"Serahkan saja pada ku, manis ku yang dingin!"