Menara yang Misterius yang sudah berdiri dan berfungsi sejak sangat lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Space Celestial, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Hari Ke-empat, Kelas Light Bearer
Sofia mengikuti kelas Light Bearer, dia kelas ini dia ingin melatih strategi dan memimpin sebuah tim.
Semua Regular yang terpilih menjadi Light Bearer sudah berkumpul pada pagi hari termasuk salah satu orang dari tim Shawn, Emily Dorne.
Sofia ingat bahwa Emily merupakan strategis tim Shawn, dia bukan hanya ahli berpedang tetapi dia juga mampu membuat strategi saat di ujian lantai 1, sebab itulah dia terpilih menjadi Light Bearer.
Langkah kaki berat terdengar menghentak lantai.
Ranker mereka tiba.
Seorang pria tinggi dengan tubuh ramping namun berotot, mengenakan jaket hitam kusam yang terlihat sudah lama tak dicuci. Rambutnya pirang, sedikit acak-acakan, dan matanya setengah terbuka—wajahnya seperti orang yang baru saja terbangun dari tidur siang yang dipaksakan.
“Ah… pagi…” gumamnya malas. “Nama gue Marcus. Light Bearer. Ranker. Blablabla. Ingat saja gue satu-satunya yang harus kalian dengerin hari ini.”
Beberapa Regular saling memandang, bingung. Seorang pemuda mengangkat alisnya, berbisik, “Apakah guru kita... waras?”
Sofia hanya menghela napas perlahan. Ia tahu, Menara punya caranya sendiri untuk memilih guru. Orang seperti Marcus, malas, cuek, dan tampak tidak peduli, mungkin justru lebih berbahaya daripada terlihat.
Marcus berjalan dengan malas, menggoyangkan tangan sambil menunjuk ke arah lapangan terbuka yang luas dan kosong. “Ke sana. Sekarang.”
Mereka mengikuti tanpa protes.
Setibanya di lapangan, Marcus menghentikan langkahnya dan mengibaskan tangannya ke udara. Seolah menjentikkan sesuatu yang tak terlihat, sebuah pola aneh muncul di tanah. Dalam hitungan detik, di hadapan masing-masing siswa muncul sebuah kotak berdiri setinggi tubuh mereka. Warna kotak itu berbeda-beda. Beberapa ungu, merah, hijau... dan dua di antaranya menonjol: satu kuning untuk Emily, dan satu biru untuk Sofia.
“Kotak ini,” kata Marcus sambil menguap, “adalah Lighthouse atau Mercusuar. Teman kalian mulai hari ini. Bukan teman curhat, tapi teman kerja. Kalian akan tidur dengannya, makan dengannya, bertahan hidup karena dia. Kalo bisa mengendalikannya, kalian bisa selamatin seluruh tim dalam ujian apapun.”
Marcus mengangkat tangannya ke salah satu Lighthouse, dan dalam sekejap, kotak itu menyala terang, sinar putih bersinar seperti senter raksasa, menerangi bahkan bayangan terkecil.
“Lighthouse bisa menyala dan padam sesuka kalian. Bisa terbang. Bisa bantu kalian lihat jauh ke depan. Tapi untuk hari ini, kita mulai dari yang paling dasar.”
Marcus menatap mereka semua satu per satu, lalu berkata perlahan. “Sentuh Lighthouse kalian. Tarik napas. Fokus. Dan... nyalakan.”
Sofia menyentuh Lighthouse birunya. Kotaknya dingin, namun terasa seperti ada denyut kecil yang bergetar di dalamnya. Ia memejamkan mata, berfokus seperti saat menyentuh mana, tapi ini berbeda. Lighthouse bukan tentang aliran kekuatan, tapi tentang koneksi pikiran.
Dalam kepalanya, ia membayangkan cahaya yang perlahan tumbuh, memancar dari dalam... hingga...
Fwoosh.
Mercusuar miliknya menyala lembut, sinarnya biru muda, tenang dan stabil. Seperti dirinya.
Di sisi lain, Emily menyalakan Lighthouse kuningnya, dan sinarnya sedikit lebih terang, lebih tajam. Seperti lampu sorot yang menyibak kabut perang.
Marcus mengangguk tanpa ekspresi. “Lumayan. Sekarang, buat Lighthouse kalian terbang. Maksimal sepuluh meter. Konsentrasi.”
Sofia menarik napas pelan. Ia membayangkan Lighthouse-nya terangkat. Sulit pada awalnya. Berat. Seolah sedang mendorong sesuatu dari dalam pikirannya. Tapi perlahan, kotak biru itu terangkat, melayang pelan ke udara. Dua meter. Lima meter. Tujuh. Stabil.
“Bagus.” Marcus mengangkat kedua tangannya dan Lighthouse-nya sendiri naik dengan mulus seperti burung. “Lighthouse bisa mengikuti kalian. Tapi hanya jika kalian punya kendali penuh. Kalau pikiran kalian kacau... dia akan jatuh.”
Marcus bilang. "Lighthouse kalian masing-masing hanya bisa terbang setinggi 10 meter karena Lighthouse ini berperingkat E, peringkat terendah, tetapi kalian bisa membeli Lighthouse berperingkat tinggi saat mendaki dan tiba di lantai yang lebih tinggi."
Marcus menunjukkan Lighthouse itu kepada mereka sambil melayang di atasnya. Marcus juga mengatakan bahwa Lighthouse itu juga bisa mengikutinya, menyala dan mati saat melayang. Mereka hanya perlu berkonsentrasi agar Lighthouse itu terus terbang dan mengikuti mereka.
"Sekarang, aku ingin kalian semua berjalan sambil membawa Lighthouse kalian sendiri melayang di atas kalian. Ingat, konsentrasi dan pikiran kalian jangan kemana-mana."
Sofia menatap Lighthouse birunya yang kini melayang pelan di atas kepalanya. Angin pagi berhembus lembut, mengibaskan helai rambutnya yang hitam, namun pandangannya tetap fokus ke atas. Cahaya biru dari Lighthouse-nya tidak menyilaukan, tetapi cukup terang untuk menciptakan bayangan halus di tanah.
Langkah pertamanya pelan. Kakinya menyentuh tanah keras lapangan pelatihan itu, dan ia mencoba mengatur napasnya seirama dengan irama Lighthouse-nya yang melayang. Ia tahu bahwa sedikit saja pikirannya terganggu—baik oleh suara, perasaan gugup, ataupun kelelahan—maka Lighthouse-nya akan goyah. Jatuh.
Beberapa Regular di dekatnya sudah mulai berjalan. Ada yang terlalu cepat, dan hasilnya...
Thud—
Lighthouse mereka jatuh ke tanah seperti batu. Marcus hanya menghela napas panjang tanpa komentar. Ia tampak terlalu malas untuk menegur. Tapi jelas, kekecewaannya terasa seperti tekanan diam-diam di udara.
Sofia tetap tenang. Ia melangkah pelan, memperhatikan setiap ayunan kaki, seolah sedang berjalan di atas es tipis. Lighthouse-nya stabil, melayang sekitar delapan meter di atas, mengikutinya seperti bayangan yang tak kasat mata.
Di sisi lain, Emily juga berhasil. Lighthouse kuningnya tetap menyala cerah di atas kepala, bahkan sedikit lebih tinggi daripada milik Sofia. Pandangan mata Emily lurus ke depan, ekspresinya tajam dan serius, seperti biasa.
"Yah... paling nggak kalian berdua nggak payah," gumam Marcus sambil menguap. Ia duduk di sebuah batu besar di tepi lapangan, membuka sebotol minuman kaleng, lalu meminumnya perlahan. “Yang lainnya... coba lagi sampai berhasil. Kalau nggak, ya udah. Nanti kalian mati pas ujian, bukan urusanku.”
Ucapan itu terdengar dingin, tapi tak ada yang membantah. Mereka semua sadar bahwa kerasnya pelatihan ini bukan karena kejam, tapi karena itulah dunia yang mereka hadapi. Di Menara, kelemahan berarti kematian. Dan tidak semua orang akan menunggu mereka belajar dengan lambat.
Sofia melanjutkan langkahnya, setengah mengitari lapangan. Ia sesekali mencuri pandang ke arah Emily, dan gadis itu pun sempat menoleh, mereka saling bertukar tatapan singkat. Tak ada permusuhan di sana. Tapi jelas, ada rasa waspada. Mereka mungkin akan berada dalam tim berbeda, mungkin juga dalam tim yang sama. Tapi satu hal pasti: keduanya bukan tipe yang akan mengalah tanpa alasan.
Setelah lima belas menit berjalan dalam diam dengan Lighthouse di atas kepala, Marcus akhirnya bangkit. Ia menepuk-nepuk tangannya seperti ingin menyingkirkan debu yang tak ada.
“Oke, cukup main-main. Sekarang bagian yang lebih menyebalkan.”
Sofia berhenti. Ia mengatur napasnya, Lighthouse-nya melayang turun perlahan hingga sejajar bahunya, lalu berhenti di udara.