Jika sebelumnya kisah tentang orang miskin tiba-tiba berubah menjadi kaya raya hanyalah dongeng semata buat Anna, kali ini tidak. Anna hidup bersama nenek nya di sebuah desa di pinggir kota kecil. Hidupnya yang tenang berubah drastis saat sebuah mobil mewah tiba-tiba muncul di halaman rumahnya. Rahasia masa lalu terbuka, membawa Anna pada dunia kekuasaan, warisan, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebelet
Beberapa waktu sebelumnya
Anna tersentak saat mendengar pintu balkon ditutup. Perlahan ia membuka mata, melempar pandangan sekeliling ruangan dan mendapatkan ingatan bahwa sekarang ia sedang dirawat. Ia melihat jam dinding masih menunjukan pukul 19.15. Lalu ia merasakan ketidak nyamanan di bagian bawahnya.
Gawat! Gue mau ke kamar mandi! seru Anna dalam hati. Tapi gak mungkin minta tolong Pak William.
Anna pun mencoba untuk duduk sambil berpegangan kepada pengaman di tepi tempat tidur. Sedikit pusing dan nyeri di bagian siku, Anna menurunkan pengaman tempat tidur lalu pelan-pelan menurunkan sebelah kaki yang tidak sakit.
Sssshh. Anna mendesis saat kakinya yang digips diturunkan. Rasa nyeri mulai menjalar saat Anna mencoba menggunakan kaki itu. Anna menggigit bibir. Ia butuh bantuan seseorang untuk memapahnya ke kamar mandi, namun tidak mungkin rasanya untuk memanggil William yang sedang berada di balkon.
Saat kehilangan harapan, tiba-tiba pintu balkon terbuka. Wajah terkejut dan bola mata yang membulat muncul dari balik pintu. “Apa-apaan?!” Seruan yang lebih terdengar seperti marah keluar dari mulut William yang bergegas masuk dan memeluk tubuh Anna yang masih berada di samping tempat tidur.
“Sa-saya mau ke kamar mandi,” ucap Anna merasakan wajahnya memanas. Satu tangan William sudah melingkar di pinggangnya, sementara satu lengan Anna yang tidak terpasang infus sudah ditarik untuk melingkar di pundak William yang otot-ototnya terasa liat.
Panas dan tekanan pada kandung kemih nya yang penuh makin membuat Anna merasa tidak nyaman.
“Apakah mulut itu tidak bisa digunakan buat meminta bantuan?” terdengar ucapan William sinis di atas kepala Anna sehingga membuatnya harus mendongak. Tatapan mata penuh aliran listrik bertemu untuk beberapa saat.
Anna yang tidak kuat melawan tatapan itu menggigit bibir dan memalingkan pandangan. “Saya sudah kebelet,” suara Anna bergetar nyaris tak terdengar.
William menautkan bibir antara emosi dan gemas, lalu dengan sigap meletakkan tangan nya di bawah paha Anna, sekejap mengangkat gadis itu.
Anna sedikit limbung, tangan nya yang berada di bahu William mencengkeram pria itu dengan erat. Tidak menyangka William akan menggendongnya dengan mudah. William melangkah ke arah kamar mandi dengan sigap dan meletakkan pasien yang dijaganya itu di toilet .
Pria itu merasa butuh perjuangan baginya untuk membawa Anna. Bukan karena berat badan gadis itu namun karena deru nafas Anna di lehernya yang masih terasa meski gadis itu sudah duduk di toilet.
“Eum. Pak William. Bisakah anda keluar dulu?” Anna merasa ia sudah tahan lagi.
Tanpa bicara, William menutup pintu kamar mandi, lalu menutup wajah dengan telapak tangan nya saat sudah berdiri di depan pintu.
Gawat! batinnya frustasi.
Sementara di dalam kamar mandi, Anna tak kalah frustasi.
Huft!
Anna menghembus nafas sambil bersandar di toilet setelah menyelesaikan hajatnya. Dulu ia pikir sebatang kara tak akan jadi masalah buatnya, tapi sekarang ia sadar bahwa manusia itu memang makhluk sosial. Ia belum sempat membuat pertemanan yang dapat membantunya setidaknya mencari orang untuk mendampinginya dalam keadaan seperti ini.
Anna memandang pintu kamar mandi. Kalau bukan William, tentu Tony yang dapat membantunya seperti tadi. Dan itu memalukan!
“Apakah sudah selesai?” terdengar pertanyaan dari luar.
“Y-ya.”
Anna pasrah. Saat ini tidak ada untungnya jika ia menolak bantuan William. Di luar rencana apa pun yang disusun pria itu bersama kakeknya, kecelakaan ini tentu di luar prediksi mereka.
Anna menahan malu saat pria tampan berwajah dingin itu membuka pintu. “Tolong dipapah saja! Tidak perlu digendong,” ucap Anna saat William memasukkan tangan ke pinggulnya.
Kali ini pria itu tampak mengiyakan.
Saat Anna sampai di tempat tidur, perawat dan petugas pengantar makanan untuk makan malam tampak datang untuk melaksanakan tugas.
“Silakan dimakan, Nona Anna” Petugas pengantar makanan meletakkan makan malam Anna di meja makan pasien.
“Terimakasih,”
“Kita cek tensi nya ya, Mbak!” ucap perawat sambil memasangkan kembali manset tekanan darah dari monitor yang dibuka Anna saat turun dari tempat tidur tadi.
Anna mengangguk.
“Apa ada keluhan? Pusing dan lainnya?” tanya sang perawat ramah.
Anna menggeleng. “Nyeri dan pusing sedikit aja,” jawabnya. Hal yang tidak perlu dikeluhkan karena memang nyatanya ia sedang sakit, kan?
Sang perawat mengangguk lalu mengecek selang infus Anna, ada sedikit darah yang naik dari daerah tusukan ke selangnya.
Perawat mengatur tetesan infus hingga darah di selang itu kembali turun masuk ke pembuluh darah. “Kalau mau ke kamar mandi lagi, nanti infusnya dimatikan ya Mbak Anna. Tinggal turunkan bagian ini,” perawat menunjuk bagian pengatur tetesan infus. “Biar darahnya ga naik dan infusan nya ga macet!”
“Baik, suster,” Anna mengangguk.
Sang perawat melihat monitor. “Tanda-tanda vitalnya dalam batas normal. Jadi monitornya kita matikan saja ya, Mbak. Biar nanti bisa istirahat lebih tenang.” Ia membuka manset tekanan darah dan pengukur saturasi di ujung jari Anna.
“Bagaimana dengan rencana rawat inap di rumah seperti yang kami minta tadi siang, Sus?” William yang sedari tadi hanya berdiri bersandar ke dinding sambil memperhatikan mulai bertanya.
Perawat itu tampak sedikit terkejut karena tadi tidak memperhatikan bahwa penunggu pasien adalah seorang pria yang sangat tampan dengan pakaian olahraga yang memperlihatkan postur tubuh yang sangat sempurna.
“Ehm. Kami belum mendapat persetujuan dari dokter ortopedinya, Pak. Besok pagi dokter akan visite untuk menilai apakah sudah bisa dirawat di rumah saja.” jelas sang perawat berusaha bersikap profesional.
William mengangguk. “Baik. Terimakasih!”
Sang perawat pun ikut mengangguk. “Baik. Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau ada apa-apa tinggal pencet nursecall yang itu!” tunjuk sang perawat ke salah satu alat yang tergantung di bagian atas tempat tidur. Lalu keluar dari kamar rawat itu
“Jadi… Pak William sudah membuat rencana agar saya bisa pulang lebih cepat?” tanya Anna mengkonfirmasi percakapan William dengan perawat tadi.
William melangkah mendekat ke tempat tidur, duduk kembali di posisi Tony tadi. “Makanlah! Kamu pasti lapar.” Lelaki itu tak langsung menjawab pertanyaan Anna.
Ada berbagai alasan yang muncul di kepala Anna. Mulai dari kemungkinan mahalnya biaya Rumah Sakit sampai kemungkinan William merasa terlalu repot mengurus Anna di Rumah Sakit. Sedangkan lelaki itu tentu punya tanggung jawab pekerjaan yang harus diselesaikan sebagai direktur utama Wijaya Group.
Anna memang merasa perutnya minta diisi, namun ia baru ngeh kalau William tidak punya makanan untuk dimakan. “Lalu Bapak?” tidak makan?
William mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi pesan. “Sebentar lagi Putra bakalan datang bawa makanan dan baju ganti.” Ia memperlihatkan layar ponsel yang tentu saja tidak bisa dibaca oleh Anna. “Jadi makanlah dulu!”
Anna menatap William. Baju ganti? ia tak salah dengar, kan? “P-Pak William mau tidur di sini?” Anna tergagap.
William mendengus. “Huh. Kalau tidak aku temani, kamu mau di sini sendirian?” William melipat tangan di dada sambil duduk bersandar. Posturnya yang tinggi makin berkharisma dengan posisi duduk begitu.
“Kan ada, Tony!” balas Anna asal.
Geraham William bertaut. Tatapan tajam menghujam jantung Anna. William pun berdiri mendekat. Aura kelam seperti mengurung Anna. “Kau lebih memilih ditemani pria lain, dibanding calon suamimu?” tanya William dengan suara tajam dan berat.