Impian memiliki rumah tangga harmonis ternyata harus berakhir di usia pernikahan yang ke 24 tahun. Handi sosok suami yang di harapkan bisa melindungi dan membahagiakannya, ternyata malah ikut menyakiti mental dan menghabiskan semua harta mereka sampai tak tersisa. Sampai pada akhirnya semua rahasia terungkap di hadapan keluarga besar ayah dan ibu Erina juga kedua anak mereka yang beranjak dewasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Enigma Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita ikuti maunya ibu
Aku tidak pernah meminta mas Handi cerita soal masa lalunya. Ku pikir bukan urusanku untuk tahu itu. Biar Tuhan yang akan membuka aib keluarganya satu persatu di depan mataku.
"Kita pulang sekarang mas. Besok aku mulai kerja dan kamu juga harus berangkat pagi." ajakku.
"Ayo, kita pamit dulu sama ibu dan bapak ya Er."
Kami berdua menuruni anak tangga sembari menenteng tas berisi sisa baju yang masih tersimpan di dalam lemari milik mas Handi. Dari atas terlihat ibu dan bapak sedang duduk di kursi makan yang di geser ke ruang tengah. Ibu masih terisak sambil memegang tissue di tangannya.
"Mas, jangan lupa minta maaf ke ibu ya. Aku gak mau ada apa-apa nantinya," bisikku dan di jawab anggukan oleh mas Handi.
"Bu...pak...aku pamit mau pulang dulu. Besok aku dan Erina sudah harus kerja dan berangkat pagi," pamit mas Handi sambil berjalan ke arah orang tuanya.
Tiba-tiba saja ibu menangis tersedu-sedu tanpa sebab.
"Huhuhuhuhuhu....." ratap ibu mertua.
"Sudah bu, jangan nangis lagi. Kamu ini malah bikin bingung semua," ucap bapak setengah kesal.
Aku memberikan kode pada mas Handi untuk mendekati ibu dan meminta maaf padanya. Mas Handi duduk bersimpuh di depan lutut ibunya.
"Maafkan Handi bu. Maafkan Handi kalau ucapan Handi sudah buat ibu sedih,"
Terdengar isakan tangis yang bertambah kencang dari mulut ibu.
"Ja...ja...jadi.. K..kamu...te...tep mau ba...lik lagi ke ru...mah i..ibu..me...mertuamu...?" tanyanya di antara segukan tangis.
"iya bu. Kan semua baju Handi dan Erina di sana."
"Ta...tapi..ka..kamu mau p..pindah k...ke..rumah ka..kamu kan?"
"Hemmmmm... Masih aja di bilang rumah kamu. Bukan bu, itu bukan rumah mas Handi. Itu rumah mas Yoga. Sempat-sempatnya bisa nge drama"
"Iya bu. Aku sama Erina nanti pindah ke rumah ku. Tapi gak sekarang bu. Kasihan Erina, baru mulai kerja. Biar Erina penyesuaian dulu. Jarak dari sini ke kantor Erina kerja itu lebih jauh di banding dari rumah mamah. Nanti ya, aku dan Erina nunggu waktu yang tepat." jawab mas Handi sambil mengusap tangan ibu.
"Sekarang saja Han.. Itu kamu bawa tas baju yang dari kamar atas? Itu ndak usah di bawa lagi ke rumah mertuamu. Berat kamu bawa ke sana sini. Kamu taruh saja di rumahmu. Malu di lihat tetangga mertuamu Han..." pinta ibu di sela tangisnya yang mulai reda.
"Gimana Er? Kamu setuju gak?" Mas Handi menoleh ke arahku.
"Aku terserah mas saja," kali ini aku putuskan untuk tidak berdebat dengan mertuaku yang habis nge drama.
"Kamu ya ngapain dadak nanya Erina. Pasti dia setuju Han. Kamu kan suaminya."
"Ya ndak bisa begitu bu. Namanya suami istri itu harus sama-sama sepakat ambil putusan. Ndak boleh sepihak," sela bapak dengan suara kencang.
Ibu langsung diam. Ekspresi wajah ibu menunjukkan kalau tidak suka dengan pembelaan bapak di depan kami. Ibu memalingkan wajah ke arah teras depan dengan tatapan emosi.
"Iya bu, habis dari sini aku langsung ke mas Yoga buat nitip tas ini," jawab mas Handi sambil menumpuk 3 tas baju yang kami bawa dari kamar .
Mata ibu tampak berbinar. Sudah tak terlihat kesedihan dan kecewa di wajahnya. Seperti anak kecil yang mendapatkan permen, itulah reaksi ibu mertuaku saat ini.
"Bawa mobil bapak Han. Bensin sudah penuh. Kemarin sudah bapak isi." bapak menyodorkan kunci mobil ke mas Handi.
"Iya pak. Besok mobil aku kembalikan sekalian aku berangkat kerja," jawab mas Handi.
"Ya sudah, kamu pulang sekarang. Bapak takut kamu terjebak macet nanti kalau makin malam pulangnya," saran bapak.
"Jangan lupa taruh tas bajumu di mas Yoga dulu ya Han," suara ibu masih terdengar parau.
"Iya bu. Ini mau ke mas Yoga dulu. Aku pamit ya bu," mas Handi mencium punggung tangan ibu.
Aku mengikuti dari belakang mas Handi. Wajah ibu yang sudah bersahabat membuatku lega. Ibu sudah menerima permohonan maaf dari mas Handi. Aku meraih tangan ibu untuk berpamitan ketika ku hendak mencium punggung tangannya ibu menepis tanganku. Menolakku mencium tangannya sambil membuang muka ke arah teras seperti yang tadi di lakukan ketika bapak menyela ucapannya.
"Aduh...salah apalagi aku. Tadi udah senang ngeliatnya. Kenapa tba-tiba merungut lagi?"