"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Jejak Parakang dan Pintu yang Terbuka
Angin malam yang bertiup dari arah Pantai Lasonrai terasa lebih dingin dari biasanya. Seakan membawa bisikan dari dunia yang tak terlihat, menggugah ketakutan purba yang tertidur dalam nadi setiap insan. Di tengah keheningan itulah, Aisyah terbangun dengan nafas tersengal dan peluh dingin membasahi dahinya. Ia memegang dada, jantungnya berdetak liar seperti genderang perang yang ditabuh arwah masa silam.
Di sampingnya, Khaerul terbangun, matanya masih menyisakan kantuk namun penuh waspada. "Mimpi itu lagi?" tanyanya lirih.
Aisyah mengangguk. "Tapi kali ini... aku tidak hanya melihat bayangan. Aku mendengar namanya. Parakang."
Khaerul terdiam. Kata itu, dalam tradisi Bugis, bukan sekadar dongeng. Parakang adalah makhluk yang dipercaya hidup setengah nyata, setengah gaib, menghisap energi manusia dan menebar penyakit, menyaru dalam wujud manusia biasa namun bermata kosong dan suara sumbang.
Esok paginya, suasana Pondok Tahfidz Ummu Nafizah penuh kegelisahan. Salah satu santri kembali mengigau hebat malam itu. Tubuhnya menggigil, bibirnya membisikkan sesuatu yang sulit dimengerti. Ketika Aisyah mendekat, si anak mendadak tersenyum—bukan senyum bahagia, melainkan senyum getir yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Dia melihat sosok hitam tanpa wajah," kata salah satu ustadzah, matanya berkaca-kaca. "Dan tubuhnya mulai memunculkan tanda-tanda aneh... luka yang tidak berdarah, bekas cakaran seperti terbuat dari angin."
Khaerul menyelidiki sekitar pondok dan menemukan jejak kaki aneh di dekat dapur—jejak yang satu lebih besar, satu lebih kecil, seperti bukan milik manusia sepenuhnya. Bahkan tanah yang diinjak itu tampak hangus dan tak mau ditumbuhi rumput.
Pada malam ketiga sejak surat tanpa nama ditemukan, Aisyah kembali didatangi mimpi itu. Namun kali ini, ia dibimbing oleh seorang perempuan tua berjubah putih, wajahnya samar namun auranya kuat.
"Buka pintu yang terkunci di ujung lorong sebelah barat. Di baliknya, sejarah terbungkus rapat. Parakang bukan hanya mitos... ia dikurung oleh sumpah dan darah."
Ketika pagi tiba, Aisyah dan Khaerul menyusuri lorong yang dimaksud.
Hening malam itu tak biasa. Angin tak berembus, seolah takut membisikkan sesuatu yang tengah menari di antara batas dunia nyata dan dunia gaib. Langit berkerut murung, bulan diselimuti awan kelabu yang menolak terbuka. Di dalam pondok tahfidz Ummu Nafizah, suasana semakin dingin. Ayat-ayat suci menggema lirih dari kamar Aisyah, tetapi seolah kalah oleh aura kelam yang menyelimuti bangunan tua itu.
Aisyah terduduk dengan mata yang nanar memandangi surat tanpa nama yang kembali muncul di atas rak mushafnya. Kertasnya sama, baunya pun serupa—seperti kayu terbakar dan tanah basah. Tapi isinya berbeda:
"Darah lama belum kering. Kau telah membangunkan yang lama tertidur. Pantai Lasonrai menyimpan bukan hanya kitab, tapi segel. Segel itu retak. Dan Parakang kini mencium bau yang dulu dibuang."
Khaerul membacanya perlahan dan suaranya tercekat. "Parakang...?" gumamnya.
Aisyah mengangguk lambat. Ia menelan ludah. Nama itu seperti legenda kelam dalam dongeng Bugis. Makhluk penghisap jiwa, hidup dalam dua dunia, berkeliaran di antara manusia dengan rupa biasa, tetapi bermata ganda: satu melihat dunia, satu melihat jiwa.
Malam itu, suara-suara aneh mulai terdengar dari balik dinding pondok. Seperti tawa, tapi juga seperti rintihan. Santri yang paling kecil mulai meracau dalam tidur, menyebut nama-nama asing. Satu per satu mereka menggigil, dan sebagian mendadak demam tinggi tanpa sebab medis.
Di luar pondok, ada yang berjalan. Tapi tidak terlihat. Tanah terasa bergetar setiap kali sosok itu melintas. Burung-burung di pohon jati berhamburan sebelum fajar. Dan di depan pintu gerbang pondok, ditemukan seikat rambut yang diikat dengan benang merah dan bunga kamboja kering—tanda khas ritual kuno yang hampir tak dikenal lagi.
Khaerul memutuskan menghubungi seorang ulama sepuh dari kampung tetangga yang pernah disebut Aisyah: Anre Guru Haji Latoa, yang dikenal memiliki ilmu tinggi dalam mengurai gangguan dunia ghaib. Ia datang dengan sorban putih dan tongkat tua yang berukir kalimat tauhid.
"Kalian sudah menggali terlalu dalam. Kitab dari Pantai Lasonrai itu bukan hanya warisan ilmu. Ia juga segel," ujar Latoa dengan sorot mata tajam.
"Segel apa?" Aisyah bertanya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Segel yang menahan sesuatu yang tak boleh dibangkitkan. Dulu, para wali menyegel tempat itu dengan ayat-ayat tertentu agar Parakang dan anak-anak gaibnya tidak berkeliaran. Tapi jika kitab itu terbuka dengan cara yang salah... maka penahanan itu runtuh."
Seketika, angin bertiup deras di dalam ruangan tertutup. Lampu padam. Suara tawa melengking membelah udara. Dan di langit-langit kamar utama, muncul bayangan berwujud tinggi, berambut panjang menjuntai, dan bermata merah membara.
"Parakang..." bisik Latoa. "Dia datang. Dan dia tahu siapa yang membangunkannya."
Malam di Batupute menebar aroma kematian. Angin yang melintasi Pantai Lasonrai membawa desau yang bukan sekadar dingin—tapi menggetarkan tulang. Para santri Pondok Tahfidz Ummu Nafizah telah lama tertidur, namun Aisyah belum mampu memejamkan mata. Matanya terus menatap gelap luar jendela, sementara suara detak jam terasa begitu lambat, seperti waktu enggan berjalan.
Khaerul kembali dari mushola dengan wajah penuh kecemasan. "Aisyah, kamu harus lihat ini... di belakang asrama, ada bekas jejak kaki aneh. Seperti bukan manusia."
"Seperti... hewan?" Aisyah berbisik.
Khaerul menggeleng. "Seperti... separuh manusia, separuh makhluk lain. Ada bekas luka darah segar di tanah."
Gemetar menjalar dari telapak kaki Aisyah hingga ke ubun-ubun. Ini bukan pertama kalinya kejadian ganjil muncul. Tapi malam itu, langit pun terasa seperti menyimpan rahasia besar yang menunggu untuk dirobek tirainya.
Tiba-tiba, terdengar suara lolongan dari arah pantai. Bukan lolongan anjing. Bukan suara burung hantu. Tapi suara yang melengking panjang dan menusuk relung kalbu.
Santri-santri mulai terbangun, sebagian menangis, sebagian lagi mengaji dengan suara terbata. Khaerul menggenggam tangan Aisyah, menuntunnya keluar. Mereka melangkah ke belakang asrama, mengikuti arah jejak dan darah itu.
Tak jauh dari rerimbunan pohon pandan laut, mereka menemukan sosok tertelungkup. Badannya kurus, namun tubuhnya bergetar, seolah sedang mengalami pergulatan batin hebat.
"Pak Samad?" Aisyah nyaris tak percaya.
Sosok itu perlahan bangkit, menatap mereka dengan mata merah menyala. Suaranya lirih, parau, dan terdengar bukan dari dunia ini. "Aku... bukan siapa-siapa. Aku hanyalah warisan luka yang dilupakan."
Khaerul mundur satu langkah. "Jadi benar... semua gangguan, penculikan santri, fitnah pada Aisyah... semua ini—"
Pak Samad tersenyum miring. "Aku hanyalah bayang-bayang dari masa silam kalian. Aku Parakang terakhir... pewaris ilmu hitam yang harusnya dikubur. Tapi kalian menggali kembali tanahnya."
Aisyah menggigil, bukan karena takut, tapi karena rasa marah yang membakar. "Kenapa kau lakukan ini kepada para santri? Kepada umat yang sedang berusaha kembali pada cahaya?"
Pak Samad memandang laut. "Karena mereka adalah penerang. Dan terang... akan membakar kegelapan. Tapi aku tak rela dibakar sendirian. Aku ingin mereka ikut dalam gelapku."
Tiba-tiba tubuhnya menggeliat, wajahnya berubah mengerikan. Tapi dari kejauhan, suara azan subuh berkumandang dari masjid kecil pondok. Suara itu menembus segala dinding gaib, menampar tubuh Parakang.
Pak Samad menjerit, suaranya menggema seperti dari liang kubur. "Allahu Akbar...!" jeritnya, sebelum tubuhnya roboh, lemas, dan kembali menjadi manusia biasa.
Beberapa tokoh masyarakat yang sudah mulai curiga sebelumnya datang dan membawa tubuh Pak Samad yang pingsan. Santri-santri menangis bersyukur. Aisyah dan Khaerul saling berpelukan. Malam itu adalah malam di mana kegelapan akhirnya tersingkap.
Namun, dari balik kegelapan hutan, ada sepasang mata lain yang menyaksikan segalanya... dan belum tentu menyerah.