Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Yang Tertinggal
Rumah mungil yang pernah jadi satu-satunya tempat pulang Azam kini kembali bernyawa. Lilin aromaterapi menyala di sudut ruangan, memancarkan cahaya temaram dan aroma lembut mawar putih yang menenangkan. Di atas ranjang, dua tubuh bersatu dalam sunyi malam yang khusyuk.
Azam tak banyak bicara. Matanya hanya memandangi Nayla dengan penuh haru dan rindu yang menumpuk sekian lama. Dengan lembut, ia menarik tangan Nayla ke dadanya, meletakkannya di atas detak jantungnya yang berdetak cepat.
“Aku ingin malam ini jadi ibadah kita,” ucap Azam pelan, sebelum mengecup kening istrinya dengan penuh takzim.
Mereka tenggelam dalam pelukan, dalam desah doa dan rintih rindu yang tak hanya melibatkan tubuh, tapi juga hati yang selama ini saling menguatkan dalam diam. Pelan, Azam mengukur tubuh Nayla dengan tubuhnya sendiri, seolah ingin memastikan bahwa ia tak pernah jauh, bahwa cintanya tak pernah berkurang, meski waktu dan keadaan terus menguji.
Di tengah kebersamaan itu, Azam sempat menatap dalam mata Nayla, “Kalau aku bisa membelah diriku jadi dua, aku akan selalu pulang ke kamu setiap malam.”
Nayla hanya tersenyum, lalu membisik lirih, “Malam ini cukup, Mas. Karena malam ini aku merasa utuh lagi.”
Namun di tempat berbeda…
Di rumah yang tak begitu jauh, Humairah
Terbangun tiba-tiba. Ia duduk di ranjang, menatap jendela yang masih diselimuti tirai tipis.
Tangannya mengusap perutnya yang mulai membuncit. Ia tidak tahu kenapa, tapi hatinya terasa penuh—seperti ada sesuatu yang jauh tapi terasa begitu dekat… dan berat. Rasa sesak menggantung di dadanya, bukan karena cemburu, tapi karena cinta yang ia tahu harus berbagi.
“Semoga malam ini jadi keberkahan untuk kalian berdua,” bisiknya dengan suara serak, seraya menyandarkan kepalanya ke dinding.
Malam itu, ketiganya beribadah dengan cara masing-masing. Azam dan Nayla dalam pelukan penuh cinta yang halal di atas ranjang. Dan Humairah, dengan doanya yang diam-diam, menguatkan hati untuk tetap ikhlas menjalani takdir yang telah ia pilih.
Pagi itu…
Langit masih berselimut kabut tipis ketika Azam tiba di rumah Humairah. Di tangannya tergenggam dua kotak makanan hangat yang dibungkus rapi oleh Nayla pagi tadi.
“Assalamualaikum…” suara Azam terdengar ringan, senyumnya lebar. Ia masuk ke dalam rumah dan mendapati Humairah sedang duduk di ruang tamu sambil mengelus perutnya.
“Waalaikumsalam,” jawab Humairah singkat. Sorot matanya tajam dan tak biasa.
Azam meletakkan bungkusan di meja, lalu duduk di samping istrinya. “Ini sarapan. Dibikinin sama Mbakmu Nayla. Ada bubur ayam dan roti bakar kesukaanmu, Dek.”
Humairah mengangguk kecil, namun tak menyentuh makanan. Matanya justru terpaku pada sesuatu yang lain—tanda samar kemerahan di leher Azam, tepat di bawah kerah kemeja putih yang sedikit terbuka.
Sejenak Humairah terdiam. Tapi hatinya bergejolak. Rasa panas menyelinap begitu cepat ke dada dan matanya. Ia tak tahu kenapa tanda kecil itu terasa begitu menusuk.
“Mas tidur nyenyak?” tanyanya dingin, nada suaranya menekan dan tajam.
Azam yang masih belum menyadari apapun menjawab ringan, “Alhamdulillah. Mbakmu Nayla juga kelihatan senang.”
Humairah mengangguk lagi. Tapi detik berikutnya, kotak makanan yang ada di meja ia dorong menjauh.
“Kenapa kamu uring-uringan, Dek?” tanya Azam heran.
“Kenapa Mas nggak pakai kerah tinggi atau kaus leher bulat? Minimal tahu lah apa yang harus ditutup sebelum pulang ke rumah istri yang satunya,” gumam Humairah, pelan namun cukup menyayat.
Azam mematung. Tangannya refleks menyentuh bagian leher—dan baru sadar, ada jejak samar yang tertinggal.
“Oh… Ya Allah,” napas Azam berat. “Aku nggak sadar…”
“Aku tahu kok,” ucap Humairah, mencoba tersenyum, tapi justru matanya yang lebih dulu menggenang. “Aku tahu aku harus kuat. Aku tahu aku harus ikhlas. Tapi hari ini... kenapa rasanya sakit sekali?”
Azam bergeming. Ia merasa bersalah. Bukan karena tanda itu, tapi karena ia melukai hati perempuan yang sudah begitu tulus menerimanya dalam hidup yang tak mudah ini.
“Maafkan Mas…” ucapnya lirih, menunduk dalam.
Humairah berdiri pelan, lalu menatap Azam dengan mata berkaca, “Hari ini aku butuh waktu sendiri ya, Mas. Aku nggak marah… cuma ingin tenang.”
Azam hanya bisa mengangguk. Tak mampu bicara, hanya diam dalam penyesalan kecil yang begitu nyata.
Malam harinya di rumah Humairah…
Langit pekat, hanya sesekali suara angin menyusup lewat celah jendela. Di atas ranjang, Humairah membelakangi Azam. Diam, tanpa sepatah kata pun sejak makan malam. Azam duduk di ujung ranjang, memandang punggung istrinya yang terasa begitu jauh malam ini.
“Humairah…” panggil Azam pelan.
Tak ada jawaban.
“Kalau kamu marah, Mas bisa mengerti. Tapi jangan pendam sendiri. Mas khawatir nanti kamu…”
“Tidur, Mas. Aku capek,” potong Humairah datar, tanpa membalikkan badan.
Azam menghela napas panjang. Ia tahu perempuan sekuat dan semanis Humairah juga bisa terluka. Dan luka itu kini membeku menjadi sikap dingin yang begitu menusuk.
Keesokan paginya, Azam menemui Nayla…
Rumah Nayla pagi itu sunyi. Ketika pintu dibuka, Nayla menyambutnya dengan senyum kaku. Pandangannya sejenak menunduk.
“Mas Azam, sudah sarapan?” tanyanya sopan.
Azam langsung menggeleng. “Nggak sempat. Boleh ngobrol sebentar?”
Mereka duduk di ruang tamu. Hening sesaat sebelum Azam memulai pembicaraan.
“Humairah berubah sejak semalam. Dia lihat… bekas di leher Mas.”
Nayla sontak membeku. Matanya membulat, dan wajahnya langsung menegang.
“Ya Allah… Mas, aku… aku nggak sadar,” suaranya tercekat. “Sungguh, aku nggak berniat. Aku cuma… kangen. Mungkin terlalu kangen sampai lupa diri.”
Azam menggenggam tangan Nayla lembut. “Mas tahu. Mas ngerti. Tapi dia terluka, Nay. Dan kamu tahu, Humairah itu nggak pernah banyak nuntut. Tapi sekali hatinya kena, dia narik diri.”
Nayla menunduk. Ada semburat rasa bersalah yang begitu menyesakkan dadanya.
“Sekarang dia pasti mikir, aku sengaja ninggalin jejak itu biar dia tahu ‘bagiannya sudah diambil’. Padahal aku justru nggak pernah mikir begitu. Mas, aku bahkan selalu jaga batas…”
Azam menatap wajah Nayla yang kini berkaca. Ia tahu istrinya yang satu ini tak pernah suka konflik, apalagi membuat orang lain merasa tersisih.
“Mas tahu kamu nggak ada niat buruk, Nay. Tapi mungkin sekarang kita harus lebih bijak. Kita saling cinta, iya. Tapi cinta itu juga harus adil. Jangan sampai yang satu merasa lebih dipilih, lebih dimiliki.”
Nayla mengangguk pelan. “Aku akan bicara sama Humairah. Tapi bukan untuk membela diri. Aku cuma ingin dia tahu, aku mencintai kalian berdua, dengan caraku.”
Azam menghela napas panjang, lalu menyentuh pipi Nayla yang mulai basah.
“Kamu wanita hebat, Nay. Aku yang harusnya minta maaf. Harusnya Mas lebih waspada, lebih hati-hati.”
Nayla hanya tersenyum samar, “Nggak apa-apa, Mas. Ini bagian dari ujian kita, kan? Ujian cinta, ujian adil, ujian kesabaran.”
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan