Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anastasia
Sosok Anastasia benar-benar duduk di hadapanku. Dia lebih indah daripada seni-seni hasil karyanya yang menawan, dia lebih menawan dan tidak terbandingkan daripada semua karya seninya yang terpampang di galeri saat itu.
Anastasia benar-benar terlahir untuk seni, semua yang ada pada tubuhnya adalah representasi seni ciptaan Tuhan yang begitu indah. Melihatnya seperti aku dihadapkan dengan kesempurnaan makhluk ciptaan tuhan yang nyata, entah jika pernah kubayangkan dari apa yang pernah kudengar jika bidadari itu sosok yang suci dan bentuk yang indah, Anastasia mungkin salah satunya.
"Hem," ia tersenyum. Seolah senyuman kecil itu mampu membuatku melemas saking terpesonanya.
"Ya, aku Anastasia dan benar gaun itu buatanku," ujarnya ketika aku bertanya benarkah dengan dia yang sedang aku ajak bicara--pencipta gaun merah itu.
Anastasia menjawabnya dengan lemah lembut dan tidak ada di dirinya selain daripada sebuah kedamaian saat melihatnya dan kelembutan di setiap tutur katanya.
Tangannya mengaduk minuman matcha di cangkirnya.
"Claire bilang, kamu ingin membeli gaun itu, ya?" tanya dia padaku.
Kelopak matanya yang agak lebar dan seimbang dengan bentuk wajahnya yang tirus dan kecil dihiasi dengan bulu mata yang lentik itu menatapku lembut.
Aku hanya bisa mengangguk.
"M.. maksudku, aku hanya sangat kagum dengan gaun itu. Namun, Claire bilang jika gaun itu tidak dijual."
Lagi-lagi Anastasia tersenyum. Lehernya menggolek ke samping kanan dengan perlahan, seolah sendi di lehernya begitu elastis sehingga setiap pergerakan adalah sebuah bentuk kelembutan.
Pun jari-jari tangannya yang lentik dan kecil, memegang apapun terlihat seperti dia akan mengambil sebuah kuas untuk menggoreskan tinta pada kanvas, padahal dia hanya meletakkan sendok kecil di tepian alas cangkirnya.
Bibirnya yang merah muda itu seperti aku menunggu setiap dia akan mengeluarkan kata, bergerak sangat perlahan dan selalu ada semburat senyuman.
"Aku memang tidak menjualnya," ujarnya.
Aku mengangguk. Sudah pasti, dia tentu membuatnya dengan susah payah. Setinggi apapun harga yang diberikan, tidak akan sepadan dengan keindahan gaun itu. Karena aku tahu, itu bukan sekadar gaun, tetapi nilai seni yang tinggi. Dan aku tahu, Anastasia sedang memperlihatkan nilai seninya, bukan nilai jual.
"Tapi kalau kamu mau, aku bisa memberikannya padamu."
Sontak, aku membelalakan mataku bulat-bulat.
"Mau?" tawarnya.
Jangan ditanya apakah aku mau, tapi tanyakan apakah gaun itu muat di tubuhku.
Pertama kali ucapan yang akan keluar di bibirku adalah kata "Mau!". Namun, begitu mengecek pinggangku dan mengingat bagaimana bentuk ramping gaun itu. Jelas, itu tidak akan muat di tubuhku dan malah akan merusaknya.
Aku hanya bisa mendenguskan napas panjang dan berat.
"Jangan tanyakan apa aku mau, tapi...."
Aku berkacak pinggang mengukur pinggangku yang lebar.
Anastasia tertawa kecil hingga dia menutupi mulutnya dengan sebelah tangannya supaya giginya tidak terlihat.
"Padahal, aku sangat suka. Sangat mau memilikinya, tapi aku takut tidak bisa menjaganya atau malah merusak. Karena yang aku lihat hanya ada sebuah seni di setiap detailnya. Sayang, kalau robek," ujarku.
Anastasia menggeleng-gelengkan kepala.
"Dari banyaknya orang yang menyaksikan, cuma kamu yang bilang setiap detailnya adalah karya seni. Dan itu benar. Setiap detailnya aku terinspirasi oleh satu peristiwa and ... unforgetable for me."
"Jadi, apakah yang Claire katakan itu benar?"
Alisnya mengerut, tetapi sungguh tidak ada guratan di dahinya. "Claire? Dia mengatakan apa?"
"Katanya gaun itu dibuat untuk seorang wanita yang bertunangan, tapi juga sebuah adalah ungkapan kebahagiaan sekaligus kesedihan karena dia pada akhirnya tidak jadi menikah ...."
Anastasia menunduk sekilas, mengulum bibirnya sebelum berkata. "Itu benar, gaun itu mempunyai kisah. Namun, cinta mereka abadi dan berjanji akan bersatu kembali suatu hari nanti."
Aku menganga. "Serumit itu kisah cinta mereka? Aku tidak bisa membayangkan sebesar apa perjuangan cinta keduanya."
"Ya. Sehingga kamu bisa melihat bagaimana gaun itu seolah hidup dengan emosi kesedihannya karena proses menyusunnya pun penuh dengan drama dan air mata."
Aku lagi-lagi terbelalak. "Benarkah, Anda sampai menjiwainya?"
"Tentu."
Tok tok tok
"Excuse me, Anastasia you have to go to the airport now, penerbangan terjadwal dua jam lagi."
Claire datang dan mengetuk pintu ruangan ini, membubarkan perbincanganku dengan Anastasia yang disayangkan karena harus berhenti. Waktu dia tinggal di kota ini sudah tidak lama lagi.
Aku merasa waktu dua jam yang telah dihabiskan kami berdua di dalam kamar hotel ini adalah suatu kemewahan dan kesempatan karena Anastasia begitu menyambutku dengan baik, tetapi Anastasia tidak bisa berlama-lama tinggal.
Dia harus pergi karena suatu pekerjaan yang mengharuskannya pergi karena sudah terjadwal.
"Kita bisa bertemu kapan-kapan lagi, kontak saja nomor teleponku," ujarnya setelah kami berpisah di bawah lobby hotel.
Anastasia menjabat tanganku. Menepuk punggung tanganku seraya berkata: "Just for you, kamu bisa memilikinya kapan pun jika kamu perlu."