Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
omelannya menggemaskan
“Disini?” Tanya Yohan seraya memper-pelan laju mobilnya.
“Hah?” seru kaget Silla yang terlalu sibuk dengan isi kepalanya.
Yohan menggertakkan rahang-rahangnya, berusaha tetap sabar. “Itu kantor kurir, disitu atau dimana mau kirim barangnya?” ucap Yohan dengan penuh penekanan dari satu per satu kata yang diucapkannya.
“Di situ juga boleh!” sahut Silla sekenanya. “Eh, bukan! Yang di sebelah sana!” ralatnya segera setelah sadar bukan tempat yang benar.
Yohan semakin merapatkan gigi-giginya.
‘Sial! Ternyata perempuan ini lemotnya ampun dah!’ gerutunya dalam hati.
“Maaf, hehehe.” Silla mengangkat dua jarinya, tersenyum polos menatap ke arah Yohan.
“Hmm!” Yohan hanya melirik sekilas tanpa ada niat membuka mulutnya untuk menjawab.
Sesampai di tempat yang diinginkan Silla, Yohan tak membiarkan Silla membawa barang bawaannya, berbanding terbalik dengan tadi sewaktu masih di rumah.
Yohan tak bermaksud bersikap manis, hanya sekedar membantu seperlunya.
‘Nggak boleh geer ya Sill, dia hanya sedang pencitraan di depan umum, pasti seperti itu!’ batin Silla saat melihat Yohan membantunya menurunkan satu kantong besar barang yang harus dikirim Silla.
Hampir dua puluh menit, Yohan menunggu Silla memproses kirimannya. Ia menyandarkan punggungnya sambil mendengarkan musik kesukaannya di dalam mobil.
“Udah, yok!”
Silla kembali masuk ke dalam mobil, namun mendapati Yohan bersandar nyaman dengan mata terpejam. Alunan musik ringan menenangkan terdengar halus di dalam mobil.
Silla kelimpungan, ia begitu canggung, haruskah membangunkannya, atau membiarkannya?
“Dasar manusia merepotkan!” gumamnya lirih.
Hidung Yohan menangkap aroma lain di dalam mobilnya, membuatnya bersin, hingga akhirnya membuka mata dan menyadari Silla telah duduk tenang menunggunya.
“Oh? Sudah? Kenapa tak membangunkan?”
Krik …
krik …
krik ….
Suasana tiba-tiba canggung.
Silla memutar bola matanya, berkedip lebih cepat dari biasanya, ‘Sengaja, aku capek sama emosimu yang berubah-ubah dan sulit sekali ditebak!’ jawab Silla dalam hati tanpa berniat mengutarakannya.
Sedangkan Yohan terdiam canggung menyadari kesalahan pemikirannya. ‘Kenapa juga dia harus membangunkan ku? Itu pasti sangat canggung nantinya, lebih canggung dari ini.’ pikirnya meralat ucapannya sendiri.
Kini keduanya telah masuk ke dalam kedai es krim, tempat biasanya Yohan mengajak kedua ponakannya.
Begitu juga dengan Silla yang menjadikan kedai itu sebagai tempat seru menikmati sajian desert bersama Usna.
“Seberapa sering kamu beli disini?” Silla membuka percakapan, sekedar untuk memecah keheningan diantara mereka.
“Jarang. Cuma kalau anak-anak pengen aja.” Yohan menjawab seperlunya.
“Kenapa tiba-tiba ngajakin makan es krim?” seloroh Silla tak lagi bisa menahan rasa penasarannya.
Yohan meletakkan sendoknya, menunda suapannya, menegakkan tubuhnya lalu menatap lurus ke arah Silla.
“Terimakasih, meski terlambat menyadari, tapi aku tahu semalam kamu harus ikut panik berlarian mencarikanku air putih, menemaniku, bahkan hingga memastikan aku selamat sampai dirumah.”
Yohan menarik napas, memenuhi rongga dadanya, entah kenapa tiba-tiba ada rasa sesak yang luar biasa, ada rasa tercekat yang membuat detak jantungnya sedikit lebih terpacu. Lalu menghembuskan perlahan udara itu melalui mulut yang dibukanya sedikit hingga membuatnya merasa segar dan lebih tenang.
Silla tersenyum menangkap kegugupan Yohan. Sekuat tenaga pria itu menutupinya, namun ekspresi wajah memerah terlanjur tertangkap dimatanya.
“Ya … aku terima rasa terima kasihmu, tapi suer aku sebenarnya ….”
“Tidak khawatir denganku, kamu hanya mengkhawatirkan dua ponakanku! Aku ingat itu ….” Yohan memotong ucapan Silla. “Tapi secara tidak langsung aku terbantu oleh kesigapanmu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibku jika kamu tidak disana semalam,” imbuhnya.
“Hmm … baguslah kalau aku bisa berguna.”
“Hmm, jadi bagaimana progressnya?”
“Hah?”
“Hah heh mulu, lemot amat sih!”
Yohan hanya bermaksud menggoda Silla, membuat lelucon kecil, namun tampaknya Silla justru salah mengira.
Wajah masam kembali terlihat jelas di wajah Silla. “Lemot-lemot gini, aku manusia berhati lembut dan siap membantu siapa saja yang membutuhkan, berbeda sama situ yang kalau ngomong setengah-setengah bikin orang terpaksa mikir sendiri!”
“Ck! Kumat lagi nih bocah!”
“Kumat?? Kamu yang nggak pernah bener kalau ngomong!” Silla menghela napas panjang, berusaha menetralisir rasa kesal yang kembali datang. “Aduh … buat apa sih sebenernya pertemuan ini?”
“Ya kan tadi sudah kubilang aku mau ngucapin terimakasih doang. Santai aja nggak usah sepaneng … aku cuma nanya kerjaan, ko malah ngomel begitu.”
“Siapa? Siapa yang nggk ngomel kalau dari tadi dikatain lemot-lemot-lemot mulu? Kamu pikir aku adikmu yang bisa seenak jidatmu kamu katain begitu!”
“Jangan ngajak berantem, malu!”
“Lah siapa yang mulai?” Situ yang aneh, ngatain orang lain lemot!”
“Ya memang begitu nyatanya.”
“Kan … dasar robot! Kalkulator aja bisa salah kok kamu nggak mau salah! Udah tahu salah!”
Yohan menghela napas, entah kenapa kali ini ia tak merasa kesal, ia justru terkekeh dengan jawaban-jawaban cepat yang meluncur mulus dari mulut Silla.
Yohan memijat pelan dahinya, ia yakin saat ini wajahnya merah padam karena menahan keinginan untuk tertawa.
Namun lagi-lagi yang terbaca di mata Silla adalah hal yang sebaliknya.
“Kenapa diem? Mau marah? Hm? Muka.u merah semua gitu mau marah lagi? Yok! Sok … marah aja!” cerocos Silla tanpa henti, dan membuat Yohan semakin tak kuasa menahan tertawa.
Yohan akhirnya tersenyum, dengan mulut yang tertutup rapat, tapi tak bisa menahan rasa ingin tertawa, hingga akhirnya lepas juga.
Yohan tertunduk sambil tertawa, sebisa mungkin ia tak membuatnya meledak.
“Kenapa? Kenapa malah tertawa?” Silla memperlembut ucapannya. Tiba-tiba ada rasa keki menyerang.
Yohan masih tertunduk dengan tawanya. Tawa tanpa harus membuka mulut dan memperlihatkan deretan giginya.
“Benar kata kawanku, kamu itu lucu ….” ucap Yohan kembali tertawa, teringat bagaimana cara Silla mengomel sebelumnya.
Caranya bicara, nadanya bicara, ekspresi kesal namun menggemaskan, tanpa sadar semua itu terus teringat dan terbawa hingga Yohan pulang, ketika mandi, hendak makan, bahkan saat ia hendak merebahkan tubuh untuk istirahat malam.
Tidak! Tidak lagi kalau terbawa dalam mimpi.
.
.
.
Keesokan harinya, Yohan mendapatkan pesan dari atasannya bagian SDM.
—Pak Yohan, tolong kirimkan satu saja sampel kaos yang sedang Bapak kerjakan, kalau masuk, saya mau sekalian minta tolong dibuatkan, nggak buru-buru sih, tapi kan perlu ada perencanaan matang. Terimakasih —
...****************...
Bersambung ....