roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.
dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.
sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Satu minggu pun berlalu. Sudah cukup lama Roni tinggal di rumah Miya dan merepotkan mereka. Roni menatap ke kalender, tidak terasa dia sudah satu minggu tinggal di sini tanpa berbuat apa-apa. Dia merasa sudah waktunya pergi dan kembali ke kosnya, apalagi sekarang tubuhnya sudah sedikit membaik. Dia sudah bisa berdiri kembali, meskipun hanya sebentar, karena tubuhnya masih belum sepenuhnya sembuh.
"Miya… Om… sepertinya saya sudah waktunya untuk pulang. Saya sudah cukup banyak merepotkan kalian," ujar Roni, memberitahu mereka maksudnya untuk segera meninggalkan rumah besar ini.
"Tidak, Roni! Kamu harus tetap di sini. Kamu tidak merepotkan kami kok. Justru aku senang kamu tinggal di sini, jadi aku bisa merawatmu," kata Miya menolak.
"Miya… saya tahu maksud baikmu, tapi aku tidak seharusnya tergantung padamu. Apa kata orang-orang nanti kalau aku terus di sini?" ujar Roni.
"Miya, Roni benar. Mungkin saatnya dia pulang. Kita tidak seharusnya terus menahannya," ucap Tuan Bram.
"Tapi, Pa… Roni seperti ini juga karena Miya. Kalau terjadi sesuatu nanti, Miya tidak bisa memaafkan diri Miya," kata Miya sambil memeluk Roni.
"Aku baik-baik saja kok. Semua ini bukan salahmu. Hanya saja, aku yang teledor sampai mengalami kejadian seperti ini. Aku tidak ingin terus seperti ini. Ada hal yang harus aku selesaikan. Untuk kamu, terima kasih atas semuanya. Om, terima kasih. Roni harus pergi," ucap Roni, perlahan melepas pelukan Miya.
"Pokoknya aku tidak mau kamu pergi! Kamu boleh pergi dari rumahku setelah kamu benar-benar sembuh!" ujar Miya bersikeras melarang Roni pergi.
Roni memandang ke arah Tuan Bram, meminta dukungan, tapi Tuan Bram hanya menggelengkan kepala, menandakan bahwa dia tidak punya pilihan.
"Baiklah… kalau kamu tidak ingin aku pergi, aku akan tinggal," kata Roni.
"Nah, gitu dong!" ujar Miya sambil memeluknya.
Namun, saat Miya pergi ke kampus, Roni malah memanfaatkan kesempatan itu untuk pulang ke kosnya.
Sesampainya di kos, dia masuk ke dalam kamarnya.
"Ah… sudah lama rasanya aku tidak kembali ke sini. Oh iya, bagaimana kabar Mbak Maya ya?" gumamnya, memikirkan Mbak Maya, karena sudah lama dia juga tidak pernah bertemu dengannya.
"Mbak… Mbak Maya…," panggil Roni sambil mengetuk pintu rumah Mbak Maya. Dia belum mengetahui bahwa Mbak Maya sudah lama pergi meninggalkan rumah itu dan pulang ke kampungnya.
Mendapati tidak ada jawaban dari dalam, Roni berpikir bahwa Mbak Maya sepertinya sedang tidak berada di rumah. Dia pun kembali ke kosnya.
Di sana, dia berbaring sambil menatap langit-langit kamarnya, sampai akhirnya tertidur pulas.
Di tempat lain, tepatnya di kampung…
Terdengar suara seorang wanita paruh baya sedang mengomel. Itu adalah Aisyah, ibunya Mbak Maya. Dia memperhatikan ada yang aneh dengan perut Mbak Maya, yang semakin membesar.
"Maya, jujur sama ibu, apa kamu sekarang sedang hamil?" tanyanya kepada Mbak Maya.
Mbak Maya yang mendengar pertanyaan itu terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Apa perutku terlalu cepat membesar sampai ibu menyadarinya? Bagaimana ini?" gumamnya dalam hati.
"Kenapa kamu diam? Jawab ibu! Siapa yang menghamilimu? Apa karena itu kamu pulang, hah?!" ujar Aisyah semakin kesal karena Mbak Maya hanya diam.
"Maafkan Maya, Bu… Iya, Maya mengakui kalau Maya saat ini sedang hamil. Tapi bukan seperti yang Ibu pikirkan. Maya—"
"Kamu kenapa, hah?! Cepat jelaskan kepada Ibu siapa bapak dari anak di kandunganmu! Ibu tidak mau cucu Ibu tanpa seorang ayah! Cepat beritahu Ibu!" teriak ibunya.
Di saat seperti itu, Rocky yang kebetulan mampir ke sana mendengar suara keras dari dalam rumah. Dia langsung masuk.
"Tante… jangan marahi Maya, Tante. Sebenarnya, aku dan Maya sudah menikah. Aku adalah suaminya, bapak dari anak di kandungannya. Kami dari awal tidak menceritakannya kepada Tante karena Maya merasa malu memberitahu Tante kalau kami sudah menikah," ujar Rocky, menengahi agar Mbak Maya tidak dimarahi.
Mendengar itu, Aisyah sangat terkejut. Namun, lama-kelamaan, dia malah bahagia saat mengetahui bahwa Maya dan Rocky sebenarnya sudah menikah.
"Beneran ini? Kalian tidak membohongi Ibu, kan?" tanyanya sekali lagi.
"Ya, Tante. Benar. Ya kan, sayang?" kata Rocky sambil mengedipkan mata ke arah Mbak Maya. Karena tidak ada pilihan, Mbak Maya pun mengangguk.
"Astaga… kenapa kalian tidak bilang dari awal?! Dasar bodoh, kamu malah malu juga! Lihat suamimu, sangat tampan! Kenapa harus malu sih?" kata ibunya sambil memeluk tubuh Mbak Maya.
"Karena Maya menikah di kota tanpa sepengetahuan Tante, mungkin itu yang membuatnya malu. Aku sudah menyarankan, sih, pas pulang langsung memberitahu Tante. Hanya saja, dia ingin menyembunyikannya. Aku sampai terpaksa menyewa rumah dan bolak-balik ke sini demi itu," kata Rocky.
"Astaga… sampai segitunya? Maafkan Maya ya, Rocky, sampai membuatmu seperti itu. Tapi tenang saja, mulai sekarang kamu juga boleh tinggal di sini. Tante senang ternyata kalian sudah menikah! Bapak pasti sangat senang mendengar kabar ini," ujar Aisyah, tidak tahu bagaimana lagi cara memperlihatkan kebahagiaannya.
Sedangkan Mbak Maya hanya diam saja. Dia ingin sekali menjewer telinga Rocky saat ini karena terlalu berlebihan, tapi dia akan menunggu waktu yang tepat.
"Sebentar ya, Ibu mau memberitahu Bapak soal ini dulu. Kalian tunggu di sini," ucap Aisyah, lalu pergi untuk memberitahu suaminya.
Saat ibunya pergi, barulah Mbak Maya langsung melotot ke arah Rocky.
"Kenapa kamu melakukan ini?! Aku tidak memintamu untuk melakukannya!" tanya Mbak Maya.
"Maya… aku melakukan ini demi kebaikanmu. Apakah kamu tidak lihat semarah apa ibumu tadi saat tahu kamu sedang mengandung, dan dia tidak tahu siapa suamimu?" jawab Rocky.
"Iya, tapi bagaimana kalau mereka tahu kalau ini bohongan? Aku tidak mau mereka menjadi lebih kecewa," kata Mbak Maya dengan kesal.
"Ah, sudah terlanjur. Apa salahnya kalau kita menikah beneran? Lagipula, kenapa suamimu tidak ikut pulang bersamamu dan memperkenalkan diri? Kan mereka bisa tahu kalau kalian menikah. Apa jangan-jangan kamu benar hamil di luar nikah? Ya, tapi walaupun begitu, aku tetap mau sih jadi suamimu dan merawat anak itu," ujar Rocky sambil tersenyum menggoda.
"Kamu jangan macam-macam ya! Aku tidak mungkin hamil di luar nikah! Aku memang sudah menikah, hanya saja… hanya saja ada sesuatu yang membuat suamiku tidak ikut pulang," jawab Mbak Maya meyakinkan Rocky.
"Beneran apa yang kamu katakan? Kalau memang benar, kenapa kamu tidak memberitahu ibumu soal itu, apalagi pas beliau bertanya tadi? Aku rasa apa yang kamu katakan ini bohong. Maya, jangan berbohong. Aku sanggup kok menjadi ayah sambung bayi itu," ucap Rocky.
"Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah menikah dengan siapa pun lagi! Suamiku jauh lebih tampan darimu! Walaupun kami tidak bersama, yang terpenting aku sudah menikah dengannya, itu sudah cukup!" kata Mbak Maya. Sedikit pun di hatinya tidak pernah terpikir untuk menikah lagi, walaupun Rocky menggodanya dengan cara tadi.
"Tidak apa-apa kamu menolak sekarang. Tapi ingat, kamu harus berpikir dewasa. Mana ada seorang anak tanpa tahu siapa bapaknya? Kalau suamimu benar mencintaimu, kenapa dia sampai membiarkanmu pergi dan tidak mencarimu?" kata Rocky.
"Tahu apa kamu sampai berkata begitu? Sudahlah, kamu jangan sok tahu," kata Mbak Maya lalu duduk diam di sofa sambil melipat kedua tangannya, tidak mau lagi berbicara dengan Rocky.
Sampai akhirnya, kedua orang tuanya datang.
Bapaknya kembali menanyakan soal apa yang diberitahu oleh istrinya, dan semua pertanyaannya hanya Rocky yang menjawab.
"Ya kan, sayang?" katanya sambil memanfaatkan situasi untuk mengecup pipi Mbak Maya. Namun, Mbak Maya langsung menahan bibir Rocky dengan tangannya.
"Ais… romantis sekali… hehe… Maya, ayo dong, kenapa malah menahan kecupan manja suamimu?" kata ibunya.
"Biasa, Tante. Maya lagi malu. Kalau di kamar pasti agresif," kata Rocky, membuat Mbak Maya melototinya dengan kesal.
"Haha… ada-ada saja kamu! Ya, juga sih, pantas saja hamil," kata ibunya menggoda. Mereka bercanda dan tertawa. Tidak lupa juga Aisyah menanyakan soal kehidupan mereka berdua di Jakarta. Tapi, seperti biasa, hanya Rocky yang mengada-ada, sedangkan Mbak Maya malah masuk ke dalam kamarnya, tidak ingin mendengarkan obrolan mereka yang malah membuatnya semakin kesal.
Sejak saat itu, Rocky jadi semakin punya alasan untuk tetap tinggal di rumah itu dan lebih dekat dengan Mbak Maya. Mbak Maya tidak punya pilihan lain karena ibu dan bapaknya sekarang sudah berpikir bahwa mereka suami istri, seperti yang dikatakan Rocky.
Rocky pamit untuk pulang, tapi ibunya Maya langsung menahannya.
"Kenapa harus pulang? Kalian kan sudah menikah, jadi ini juga rumahmu," kata ibunya.
Mendengar itu, Mbak Maya langsung melototkan matanya ke arah Rocky, dan Rocky mengerti arti tatapan itu.
"Saya harus mengambil barang-barang saya dulu, Tante. Besok saja saya menginap," jawab Rocky. Jawaban itu membuat Mbak Maya sedikit lega. Dia takut Rocky sampai setuju untuk menginap dan satu kamar dengannya, apalagi dia orangnya terbiasa tidur tanpa busana.
"Sana, pamitkan suamimu keluar," pinta ibunya kepada Maya, yang hanya berdiri di tempat.
"Baik, Bu," kata Mbak Maya patuh.
Dia pun menarik tangan Rocky keluar, seperti sedang mengusirnya agar cepat pergi. Dia sudah capek melihatnya.
"Segitunya ingin aku pergi?" kata Rocky.
"Mulai besok, jangan datang lagi," pesan Mbak Maya.
Mendengar itu malah membuat Rocky mendapatkan ide agar Mbak Maya tinggal di rumahnya saja.
"Baik, aku tidak akan kembali… asalkan kamu tinggal di rumahku," katanya.
"Jangan mimpi," jawab Mbak Maya.
"Daripada aku ke sini terus dan menginap di rumahmu, kan kalau kamu tinggal di rumahku, kamu bebas mau tidur di mana. Aku punya banyak kamar. Bagaimana? Jadi tidak ada lagi hal seperti tadi terjadi," kata Rocky memberi saran.
Mendengar itu, Mbak Maya sedikit mempertimbangkannya. Dengan menatap wajah Rocky, dia memikirkan apakah Rocky punya rencana lain.
Rocky yang menyadari itu langsung berkata, "Tidak usah berpikir macam-macam. Aku tidak akan menyakiti ataupun berbuat macam-macam. Aku benar-benar melakukan ini hanya untuk membantumu. Nanti setelah anakmu lahir, terserah kamu bagaimana."
"Baiklah, aku akan memberimu jawaban besok. Sekarang kamu pulang dulu," kata Mbak Maya.
"Baiklah, pikirkan baik-baik ya, cantik," kata Rocky sambil melirik ke arah dada Mbak Maya, yang kelihatan cukup besar dari luar.
"Apa yang kau lihat, dasar mesum!" kata Mbak Maya sambil berbalik masuk, meninggalkan Rocky, membuat Rocky hanya tersenyum lalu pergi.
Di tempat lain, Roni terlihat bangun dari tidurnya karena merasa lapar. Saat dia membuka matanya, dia cukup terkejut melihat seseorang berdiri tepat di depannya. Ya, siapa lagi kalau bukan Miya.
“Miya… kenapa kamu di sini? Kamu mengagetkanku,” kata Roni, sambil memegang dadanya karena terkejut.
“Berani-beraninya kamu bertanya begitu setelah pergi diam-diam dari rumahku! Kenapa kamu pergi begitu saja, padahal kamu bilang kamu tidak akan pergi?” ucap Miya, memarahinya karena pergi saat Miya tidak di rumah.
“Maaf, Miya. Lagipula, kalau aku memberitahumu, kamu pasti akan tetap menahanku. Jadi, aku pergi diam-diam,” jawab Roni sambil bangkit dan duduk.
“Tahu tidak, aku sampai memarahi bapakku tadi karena membiarkanmu pergi. Kamu ini sudah dibilang jangan dulu pergi kalau belum sembuh. Nih, ambil ini makanan. Aku tahu kamu belum makan,” katanya sambil memberikan bingkisan di tangannya kepada Roni. Meskipun dia marah karena Roni kabur dari rumahnya, dia tetap perhatian kepadanya.
“Terima kasih. Astaga, aku lapar sekali! Tidak terasa sudah malam juga,” ujar Roni sambil menerima bingkisan yang diberikan oleh Miya, lalu langsung membukanya dan memakannya dengan lahap.
“Pelan-pelan makannya, nanti kamu bisa tersedak. Makan seperti dikejar anjing saja,” omel Miya lagi.
“Baiklah,” kata Roni dengan patuh.
“Aku akan menginap di sini. Kamu pasti belum mandi. Habis makan, kamu pergi mandi! Aku tidak mau dipeluk sama pria bau,” kata Miya.
“Lebih baik aku jangan mandi, biar kamu jangan menginap,” kata Roni bercanda. Mendengar itu, Miya langsung melotot.
“Coba kamu bilang apa tadi?”
“Baiklah, kamu boleh menginap. Tapi ingat, jangan macam-macam,” kata Roni.
“Kenapa? Apa kamu bosan dengan tubuhku?” tanya Miya.
“Bukan begitu, Miya. Tapi masa iya setiap malam kita melakukannya? Apa kamu tidak capek?” ujar Roni. Memang selama seminggu di rumah Miya, Roni selalu dipaksa melakukan hubungan intim oleh Miya tanpa libur satu malam pun. Entah kenapa Miya tidak pernah merasa lelah, dan belakangan malah jadi hiperaktif.
“Aku tidak lelah, dan aku ingin melakukannya setiap malam denganmu! Harusnya kamu senang dong, bukannya setiap pria senang pasangannya menyediakan tubuhnya setiap malam?” kata Miya polos.
“Miya, bukan semua pria seperti itu. Apalagi kamu dan aku bukan suami istri. Kita hanya sebatas teman,” kata Roni.
“Tidak! Kita itu pacaran. Mulai sekarang kamu adalah pacarku, ingat itu. Kalau kamu menolak, aku akan cerita kepada Kak Bobi kalau kamu membuatku kecewa,” katanya sambil merebut makanan Roni, mengancam.
“Astaga… baiklah,” ujar Roni sambil menggelengkan kepala melihat tingkah Miya yang seperti ini.
“Nah, gitu dong! Hehe…” Miya tersenyum bahagia.
Setelah selesai makan dan kembali dari kamar mandi, Roni masuk ke kamar kosnya. Namun, saat dia masuk, dia langsung terkejut melihat Miya sudah menunggunya di atas tempat tidur tanpa pakaian, sambil tersenyum dan mengedipkan mata ke arahnya.
“Astaga, Miya... kalau orang lain yang masuk, bagaimana?” kata Roni terkejut.
“Emangnya siapa lagi yang mau masuk? Memangnya ada orang lain yang biasa masuk?” tanya Miya dengan santai.
“Tidak sih… hanya saja bisa saja ada orang yang membuka pintu untuk mencariku, kan? Astaga, ini kosan, Miya! Bukan rumahmu!” ujar Roni, masih syok dengan apa yang dilihatnya.
Namun, Miya malah tidak peduli. Dia justru berdiri, berjalan ke arah Roni, lalu menariknya ke dalam dekapannya. Roni mengerutkan kening dan menggelengkan kepala. Dia tidak punya pilihan lain kecuali menghadapi Miya yang seperti ini.