Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH SEMBILAN
Suasana kamar hotel terasa serupa dengan gua yang hening. Tiada suara lain kecuali desah dingin AC yang seolah menerobos sepi dinding kamar.
Faza duduk termangu, raut wajahnya mencerminkan pergolakan batin yang mendalam. Ia memilih untuk berlindung di kesunyian hotel daripada menunjukkan kekacauan emosinya di hadapan Caca.
Faza tahu, ia harus memelihara perasaan Caca, meskipun jantungnya tidak mampu berkata "Cinta". Saat itu juga, Faza terjebak di persimpangan yang sulit. Di satu sisi, ia menyadari telah mengiris hati Felin tanpa ampun; sementara di sisi lain, ia dihantui kewajiban menjaga keharmonisan dengan Caca, sang istri.Itu dilema yang menguras emosinya.
Memang benar apa yang sering dikatakan, puncak dari kecintaan yang sesungguhnya terletak pada keikhlasan untuk melepaskan orang yang kita sayang.
Ada saat di mana hati harus berhenti. Bukan karena cinta itu telah pudar atau mereka tak lagi saling mencintai, melainkan sebuah kesadaran pahit bahwa mereka akan menemukan kebahagiaan yang lebih dalam, dengan melepaskan. Sebuah ironi cinta yang mendewasakan, mengajarkan bahwa cinta tak harus memiliki, tapi menghargai.
Melepaskan Felin adalah Cara Faza menghargainya. Terkesan kejam memang namun hanya itu jalannya.
Faza meraup wajanya dengan kasar, perasaan bersalahnya menggema dalam pikirannya.
"Maafkan aku, Fe. Hidupku untukmu tak lebih dari sederet doa yang tak terkabulkan. Dan kau yang menanggung beban terberat ini," ucapnya lirih, seraya kata-kata itu meninggalkan jejak luka yang perih di bibirnya.
Setiap bisikan itu adalah penyesalan yang menggema, seolah dunia Faza kini berada dalam genggaman ironi yang tak terelakkan.
Sedang sibuk dengan lamunannya, pintu diketuk dari luar, ternyata itu Alfin. Alfin baru saja mengantarkan Felin ke rumah temannya yang tak jauh dari hotel tempat Faza dan Alfin menginap.
"Bagaimana keadaannya, Al...?" tanya Faza dengan suara tergesa-gesa, tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya pada Felin. Faza merasa dadanya sesak, setiap detik semakin memperburuk kegelisahannya.
Alfin menatap Faza tajan, sebelum menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa.
"Kamu pikir dia baik-baik saja setelah kamu hancurkan hatinya, Za...? Bahkan kamu dengan lantang bilang kalau kalian tidak berjodoh? alasanmu terlalu kelasik, Kamu waras, Za? Aku yang hanya mendengar saja merasa sakit hati, apalagi Felin. Dia menunggumu selama tujuh tahun, Za. Tujuh tahun,"
Suara Alfin pecah dengan emosi yang tak dapat ia sembunyikan, dan ia bahkan mengulang kata 'tujuh' dengan penuh penekanan. Faza tak dapat membalas langsung kata kata Alfin yang menyudutkanya. Tatapan mata Alfin terasa seperti duri yang menembus jantung.
Dengan frustrasi, Faza meremas rambutnya sendiri, mencoba meredam perasaan yang kini saling bertubrukan di dalam dirinya. Tujuh tahun... angka itu menggema di kepalanya, membawa Faza ke banyak kenangan tentang Felin—senyumnya, kesabarannya, tatapan penuh pengharapan yang selalu ditujukan pada Faza.
"Aku sudah menikah, Al," ujar Faza akhirnya, mencoba mencari kelegaan di tengah ketegangan. Suaranya terdengar keras, seolah ingin membenarkan keputusannya sendiri, meskipun tidak ada rasa kemenangan di dalamnya.
"Apa harus aku berselingkuh? Atau berpoligami hanya karena nafsu dan rasa bersalahku,kepadanya? Apa itu jalan keluar yang benar?" Suara gemetarnya akhirnya membuat Alfin terdiam.
Namun, hati Faza tetap bergejolak. "Felin..." nama itu tak berhenti terngiang di pikirannya. Bisakah rasa setia dan harapan itu menggantikan semua luka yang pernah Faza buat padanya? Tidak ada jawaban yang mampu meredam batinnya, kecuali kejujuran yang menyakitkan: keputusan sudah Faza ambil, tapi Faza belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri.
"Al, kamu harus tahu, ada hati wanita yang saat ini bergantung padaku,kebahagiaanya aku pertanggung jawabkan di hadapan Allah," suaranya bergetar saat mengungkapkan. "Dia istriku, amanah yang harus kujaga. Sementara Felin... Felin hanya bayang-bayang cinta yang tak berujung pada ikatan suci." Matanya menerawang nanar, seolah memandang ke sebuah masa yang ingin ia lupakan.
"Jadi, aku memilih untuk setia pada yang halal, Al.Waktu tujuh tahun itu tak berarti apa apa jika Allah berkehendak." Alfin menyandarkan kepalanya, menahan amarah dan kekecewaan.
"Tapi di mataku, kamu tetap pria terkejam! Za..!" balasnya sambil tetap membela Felin. Ucapan Alfin sangat menampar hatinya. Faza menghela napas dalam, seperti napas seorang prajurit yang menyerah di medan perang yang tak kunjung usai.
Matanya membelalak ke arah langit-langit kamar, mencari sesuatu yang mungkin bisa memberinya kekuatan.
"Kamu tahu Al..? rasanya dipaksa untuk melepas seseorang yang masih ingin kamu pertahankan?" suaranya parau. "Mengikhlaskan seseorang padahal jantung ini rasanya masih ingin bersatu dalam denyutnya? Kamu tahu rasanya ingin terlihat baik baik saja di luar, tapi di dalam hancur berkeping-keping?" ujar Faza sambil menekan dadanya.
wajahnya pucat pasi, mata tergenang air mata penuh dengan perasaan kehilangan yang mendalam, penyesalan yang memenuhi setiap sudut hatinya.
Setiap kata yang keluar dari bibirnya bagaikan belati yang menyayat hatinya sendiri, menunjukkan kedalaman luka yang tak terlihat. Namun dapat Alfin rasakan kesakitannya itu.
Faza lantas meninggalkan Alfin, mengambil air wudu dan untuk menunaikan salat magrib. Mereka salat berjamaah hanya berdua dan Faza yang menjadi imam.
Faza dengan khusyuk melafazkan surah Al-Fatihah. Setelah salam Faza menenangkan hatinya dengan berzikir, lalu memasrahkan hidupnya pada sang pencipta.
Faza menghaturkan doa dengan helaan napas yang penuh kepasrahan, lembut namun menggema dalam hati. "Ya Robb, aku serahkan segalanya kepadamu. Aku pasrah karena percaya pada rencana-Mu, percaya lebih dari segala kekhawatiran yang menggelayuti pikiranku. Meski hati ini terasa pedih, menyesakkan dada, tapi kuketuk palu keyakinan bahwa Engkau, Penguasa alam, telah merancang perjalanan yang indah di masa depan."
Faza mengangkat kedua tangannya, melangitkan doa doanya, matanya terpejam, meresapi setiap doa yang dia ucapkan.
"Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, dampingilah aku di tengah lara ini, hingga nanti suatu hari berita gembira yang telah Engkau janjikan datang menghampiriku. Berikanlah aku kekuatan menghadapi takdir bahagia yang Kau ukir, sehingga kesedihan ini menjadi kabut yang lama-lama hilang ditelan waktu. Mudahkan lah segala urusanku, Ya Robb, karena hanya Engkau yang sempurna, yang akan menyempurnakan cerita hidupku. Dan semoga cinta tumbuh subur di hatiku untuk istriku, Caca Wijaya Binti Wijaya."
Nama Caca disebut dengan nada yang menghangat, tanda penghormatan dan harapan di ujung doanya.
Waktu berlalu jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, Caca yang diselimuti rasa kecewanya, menenggelamkan diri di atas ranjang, namun matanya tak kunjung terpejam.
Caca tak ingin terpuruk dengan perasaannya sendiri, seperti biasa jika dia sedang kesal ataupun kecewa, Caca menyibukkan diri dengan melakukan sesuatu.
Kali ini Caca mengepel lantai di tengah malam buta, dan hal itu di ketahui oleh Pak Diman, satpam di rumah Faza. Pak Diman yang merasa khawatir dengan kesehatan nyonya rumah majikannya, langsung menghubungi Faza.
Faza yang baru saja membaringkan tubuhnya di ranjang kamar hotel, meraba nakas untuk meraih ponselnya.
"Iya Pak...?" suara serak Faza terdengar dari seberang.
"Maaf Pak, mengganggu waktu istirahatnya Pak Faza. Saya hanya ingin menyampaikan, karena menurut saya, Ibu Caca melakukan hal yang tidak wajar, beliau ngepel rumah di tengah malam, saya jadi hawatir akan kesehatan ibu Caca," jelas Pak diman sambil terus memperhatikan istri majikannya.
Faza langsung terduduk, dia tahu kebiasaan istrinya, jika saat ini Caca sedang tidak baik baik saja.
"Ada apa dengan dia...? Apa dia sedang ada masalah..?" batin Faza jadi tak tenang.
"Halo Pak, Pak Faza mendengar saya...?" Pak Diman memastikan.
"Iya Pak saya dengar, terima kasih informasinya," ujar Faza sebelum mematikan sambungan.
Faza lantas mencari nomor Caca, tapi tak ditemukan dalam kontaknya.
"Astagfirullah, aku tak ada menyimpan kontaknya" batin Faza merasa dirinya sangat keterlaluan. Bagaimana bisa dia tak menyimpan kontak istrinya sendiri. Sebegitu tidak berartinya kah Caca dalam hidupnya...?
♥️♥️♥️♥️♥️
Atas apapun alasan itu!!!