"Aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."
Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.
Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, satu yang aku yakini, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 : Genggaman Tangan dan Pelukan Hangat darinya
Ternyata, hubunganku dengannya semakin hambar dari hari ke hari. Komunikasi kami kian memburuk. Dia sudah tidak pernah meneleponku. Membalas pesanku pun hanya singkat dan seadanya. Pertemuan kami juga semakin menyusut. Kami seakan tercerai jarak puluhan kilo meter.
Aku bukan orang bodoh yang tak bisa melihat perubahan besar ini. Namun, tetap saja aku menafikan keadaan. Semua masih seperti dulu. Semua baik-baik saja. Hanya tunggu bersabar beberapa saat lagi, semua pasti kembali ke sedia kala. Itu yang tertanam di benakku.
Aku mencoba fokus mengerjakan penelitian. Meski tak ada kak Evan di sisiku, tetapi aku masih memiliki Arai. Boleh dibilang, kehadiran Arai, sedikit mengobati kehampaan saat hubunganku dan kak Evan merenggang. Sebagai mahasiswa akhir, kami saling mendukung dan bahkan membuat taruhan siapa yang lebih dulu maju sidang skripsi.
"Kalo kau lebih dulu maju skripsi, bakal kucukur sampai botak licin rambut aku. Tapi kalo aku yang lebih dulu maju ...."
"Rambutku bakal aku potong pendek," sambungku.
"Serius?" tanya Arai sedikit terkejut.
Aku mengangguk.
"Emangnya kau ndak takut dimarah bang Evan? Barangkali dia ndak suka."
"Makanya aku harus lebih dulu maju dari kamu, biar aku bisa lihat rambut kamu tercukur habis sampai botak licin," ucapku sambil tertawa.
"Okeh, kalo gitu deal, ya?" cetusnya sambil menyodorkan tangannya padaku.
Tanpa ragu, aku menerima uluran tangan Arai sebagai tanda taruhan telah dimulai.
Di kalangan adik tingkat, banyak yang mengira aku dan Arai berpacaran. Ini karena kami selalu berduaan di kampus. Memiliki dosen pembimbing dan penguji yang sama, membuat kami selalu bersama seperti saat masih semester satu. Kami pun sering berdiskusi bahan penelitian di perpustakaan kampus.
"Kau tahu, ndak kenapa aku ambil penelitian tentang ibu hamil?" tanyanya.
"Kenapa coba?"
"Selama pelajari ilmu kedokteran, aku dibuat terkagum-kagum dengan seluruh ciptaan Tuhan. Sedetail itu Tuhan nyiptain organ tubuh dan saraf kita lengkap dengan fungsinya. Tapi, ada lagi yang lebih membuatku kagum, yaitu uterus." Dia menunjukkan gambar alat reproduksi wanita.
(Ket. Uterus: rahim)
Arai lalu kembali melanjutkan. "Coba, berapa ukuran uterus perempuan pada umumnya?"
"Kalo gak salah, panjangnya 7,5 cm, lebar 5 cm dan ketebalan 2,5 cm dengan berat antara 30-40 gram," jawabku sambil mencoba mengingat.
"Betul." Dia memetik jarinya. "Bayangkan, ukuran sekecil itu bisa melebar demi sebuah janin yang tercipta di dalam sana. Tuhan menciptakan uterus seelastis itu agar bisa jadi rumah ternyaman bagi calon manusia."
"Keknya kamu cocok jadi dokter obgyn deh, Rai!"
"Saranin aja sama pacar kau. Dia masih bingung milih bidang spesialis."
Disinggung tentang kak Evan, membuat sinar mataku meredup. "Kak Evan baik-baik aja, kan?" tanyaku.
"Heh? Emangnya kalian gak saling chat-an? Kok nanya ke aku."
Sepertinya Arai tak mengetahui hubunganku dan kak Evan yang merenggang beberapa bulan ini.
"Dia sudah jarang menghubungiku," ucapku sambil menunduk. Seharusnya aku mengatakan pada Arai kalau kak Evan bahkan sudah tak pernah menghubungiku lebih dulu.
"Aku ketemu bang Evan kemarin pas lagi bersihin taman di rumahnya. Dia nanyain tentang skripsimu. Aku rasa dia lagi ndak mau ganggu kau supaya kau lebih fokus ngerjain skripsi," jelas Arai.
Benarkah? Benarkah seperti itu? Benarkah kak Evan jarang menghubungiku karena tak ingin menggangguku dan agar aku lebih fokus menyusun skripsi?
Waktu terus berjalan konstan. Beberapa Minggu setelahnya masih sama. Setiap aku menelepon, kami hanya mengobrol selama beberapa menit. Tidak apa-apa. Setidaknya, dia masih menerima panggilan teleponku. Itu sudah cukup.
Di kamar kos, aku mulai menyusun skripsiku setelah selesai penelitian. Aku menargetkan skripsiku harus selesai dan diterima dosen pembimbing, sebelum kak Evan selesai magang agar dia senang dan bangga padaku. Ya, segala apa yang kulakukan masih karenanya.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Mataku tengah berpusat pada layar laptop. Sudah ada sekitar sepuluh menit, lampu kamarku berkedap-kedip hingga mataku terasa pusing. Sepertinya aku harus mengganti balon lampu. Baru saja berdiri, tiba-tiba lampu kamarku mati total.
Aku mengambil ponsel untuk menyalakan senter. Tanganku membeku sesaat. Biasanya, jika lampu kamarku padam, aku akan menghubungi kak Evan dan dia langsung datang untuk menggantinya. Sekarang, rasanya sungkan untuk sekadar menghubunginya.
Aku lalu berjalan keluar kos menuju mini market terdekat untuk membeli bola lampu yang baru. Setibanya kembali ke kosku, aku membuka pintu kamar agar ada sedikit cahaya yang masuk. Kutarik kursi belajarku ke posisi bawah lampu. Aku menaiki kursi tersebut untuk mengganti lampu yang baru. Sialnya, tanganku tak sampai saat hendak menggapai ke atas. Aku pun berinisiatif menaiki bagian atas sandaran kursi. Baru saja menaikkan satu kakiku ke atas, kursi itu mendadak terjungkir balik diikuti jeritan teriakanku.
Aku terkesiap. Seorang langsung menangkap tubuhku yang hampir jatuh. Aku pun spontan mengalungkan tanganku ke lehernya.
"Kenapa lakuin hal bahaya kek gini, tanpa minta bantuan orang lain?"
"Kak ... Evan?" sebutku lirih. Wajah tampannya samar terlihat. Kuulurkan tanganku untuk meraba wajahnya, hanya mencoba memastikan apakah ini benar-benar dia. Sebab, aku mengingat dengan baik gurat wajah dan tiap inci lekukannya.
"Hum," angguknya. Masih menggendongku, dia mendudukkan aku di tepi ranjang, lalu mengambil alih menggantikan balon lampu kamarku dengan bantuan senter dari ponselnya. Dalam waktu sekejap, ruangan kamarku telah terang seketika.
Kami saling berpandangan sejenak. Dengan mata yang mulai berembun, aku langsung memeluknya. Dia pun membalas pelukanku. Ternyata hanya dekapannya yang mampu menguraikan laraku.
"Maaf, aku baru sempat datang."
"Setidaknya jangan cuekin aku dong," balasku sambil mengeratkan pelukan.
"Aku udah selesai magang."
Aku mengangkat kepalaku seraya menatapnya. "Serius? Terus, kak Evan mau melamar kerja di rumah sakit mana?"
"Aku belum tahu."
Aku memerhatikan perubahan sorot matanya. Apa jangan-jangan ia akan lanjut kuliah spesialis di luar negeri?
"Gimana skripsi kamu?" tanyanya.
"Masih sementara kukerjakan."
"Mau jalan-jalan, gak?"
"Sekarang?"
"Iya ...." Dia tersenyum dan langsung mengambil tanganku serta menarikku keluar dari kamar kos.
Kami berboncengan, berkeliling kota, menikmati hiruk pikuk jalanan malam. Kudekap pinggangnya dengan erat seraya menyandarkan kepalaku di punggungnya yang kokoh. Sepasang mataku menutup lembut, terbius aroma tubuhnya yang begitu kurindukan. Akhirnya, aku dan dia kembali menjadi dua pemeran utama di catatan kisah cinta yang kami goreskan dalam ingatan. Kehadirannya yang selalu menawarkan genggaman tangan dan pelukan kehangatan, membuatku gagal terbiasa tanpanya.
Kami berhenti di sudut jalanan ibukota. Aku duduk diam di atas motor sembari menunggunya membeli minuman di minimarket terdekat. Mataku terpaku pada aktivitas di kolong jembatan yang menggambarkan sepotong kehidupan orang-orang berumah kardus.
Tiba-tiba bahuku bergidik merasakan sebuah kaleng minuman dingin menempel di kulitku. Kak Evan tertawa kecil seraya kembali menarik kaleng minuman itu, untuk membuka penutupnya lalu menyodorkan padaku kembali. Kami sama-sama meneguk minuman yang baru saja dibelinya.
"Waktu masih kecil, aku takut banget lihat darah." Kalimat itu mendadak terlontar dari mulutnya.
"Hah? Serius?" Aku menoleh ke arahnya.
"Hum." Dia mengangguk. "Bahkan kalo aku jatuh, terus kakiku luka dan berdarah, aku bakal teriak-teriak sampai nangis histeris. Lucu, ya? Padahal aku bakal jadi dokter," kenangnya sambil tertawa.
"Sekarang gimana? Masih takut, gak?"
"Kadang-kadang, tapi bisa kuatasi."
Tiba-tiba aku teringat peristiwa tiga tahun lalu saat kami menolong korban kecelakaan. "Ah, kita pernah nolongin korban kecelakaan, kan? Apa karena itu, makanya kak Evan panik pas abis nolongin orang kecelakaan? Waktu itu darah di tangan kak Evan banyak banget."
Tawanya menyembur. "Yah, ketahuan, deh!"
"Terus, kenapa kak Evan mau jadi dokter kalo takut darah?"
"Seperti yang pernah aku bilang ma kamu, aku selalu maksain diri buat ngelakuin hal yang gak aku suka," ucapnya sambil tersenyum.
Dia berjalan lurus ke depan, membelakangiku yang tetap duduk di atas motornya.
"Waktu umur sepuluh tahun, aku ikut lomba olimpiade robotic di Singapura. Aku meraih medali emas dan mengalahkan kandidat dari tujuh negara yang ikut serta."
"Keren! Itu sudah lima belas tahun yang lalu, saat teknologi belum berkembang pesat seperti sekarang, kan? Berarti kak Evan jago ngerakit robot sendiri?" Aku meresponnya dengan antusias.
"Itu dulu! Kalo sekarang, aku enggak yakin. Soalnya ... setelah kemenangan itu, hidup aku berubah drastis."
Berubah drastis? Apa ini ada kaitannya dengan dia yang tiba-tiba mendapat pengakuan dari ayahnya seperti yang pernah kudengar? Aku takut untuk menanyakan lebih banyak. Meski begitu, aku senang karena kak Evan mendadak menceritakan sepenggal masa kecilnya padaku. Walaupun, tetap saja terasa ada hal-hal yang ia sembunyikan, atau mungkin belum saatnya untuk kuketahui.
"Ita, ayo kita rayakan anniversary keempat di puncak dan bermalam di vila!" ucapnya tiba-tiba.
"Serius? Kak Evan punya waktu?" Aku sampai hampir lupa, hari jadi kami yang keempat sudah mendekat.
"Hum. Ayo rayakan sesuai tanggal jadian kita!" ajaknya kembali.
Aku semakin tergemap. Mataku melebar. Pasalnya, selama ini perayaan kami hampir selalu lewat dari tanggal yang sebenarnya. Namun, kini dia mengajakku merayakannya di hari yang sesuai. Aku sudah tak sabar menantikannya. Tanpa kutahu ....
.
.
.
Like dan komeng
enteng bener ngucapnya
banyak orang sekedar bikin konten buat dapetin income penghasilan gede
tp nilai kontennya ga mendidik dan justru malah bikin kesel "apa sih konten begini. anak kecil kok kontennya rumah tangga"
setelah pacaran cukup lama dengan komukasi yg baik dan intens
tetiba dia putusin tanpa ada tanda janggal sebelumnya
sampe aku samperin dia ke kotanya dianter temen
dan jreng.jreng
dia sudah ada yg baru tanpa mau menjelaskan apapun
teruntuk kamu mantanku yg pergi dengan memberi luka
haiii, terimakasih luka yg kau beri
berkatmu aku banyak belajar dan berkatmu aku menemukan dia yang kini bersamaku di setiap hari ku dan ada di setiap doa ku yang rela berjuang demi segala mau dan senyumku
baca ulang kisah gurita sambil nunggu mas nico update
setelah semalem namatin kisah aldrin yang sukses bikin mewek sampe sesek di akhir kisah nya
Kak Yu tuh selalu olweis dapet banget feel nya ...
Baca ASM ini ... tau gak .. bantal sampe basah gegara Neng Gemoy sampe sesenggukan ... ya pas POV Ita, POV Evan, ngebayangin sakit nya Arai Junjun, sakitnya Nadin, termasuk begitu tau kebesaran hati Arai Sensen...
Xhixhi ... apalagi itu juga krn ditambah Neng Gemoy dasarnya gampang mewek ... udah deh ... aslik obral airmata ... 🤭
Semangat terus bikin cerita yg keren2 ya Kak Yu yaaaa ... ✊️💪🏻😊😍
Cuma ya itulah ... Neng Gemoy mah masuk golongan marathon ... 🤭
Tapi beneraaan .... (apalagi othor nya spt kak Yu) gak pernah skap skip loncat2 bacanya ... rugi beud kalo sampe gagal paham.
Jadi ... jangan samakan akuh dgn yg laiiiiinnnn ... 😔
Ita pasrah aja ya say, di banting kanan, banting kiri .... Evan udah kek banteng ngamuk .... 🤣🤣🤣
hajar bleeehh .... 🐃
Baidewei Van ... jangan lupa ucapin selamat tinggal buat kakak Bioreina dan mbak Shinzuita ... ngkali aja kemaren2 mereka pernah "berjasa" ngilangin sesuatu yg bikin puyeng atas bawah ... 🤣🤣🤣🤣
izin skrinsut, kak Yu ....
mamaciiiii ...
Tapi sebetulnya yg salah banget mah kak Yu ... yg kata2nya itu lhoh ... bikin image kamu kek nya jahara gada tandingan...
*biar kak Yu yg diomelin Evan ... 🤣🤣🤣🤣