NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:624
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 14

Semua teman-teman Revan dan Devan kini sudah masuk ke dalam rumah. Raka dan Ardli juga ikut dengan mereka. Revan mengernyitkan dahinya saat Devan tetap berdiam diri. Karena khawatir, Revan langsung menghampiri sang adik.

Revan bernafas lega kala melihat sang adik sedang mempersiapkan minuman untuk para tamu. Ada kegembiraan yang terpancar dari wajahnya.

"Dev, padahal lo istirahat aja loh." Revan sedikit khawatir.

Devan menggeleng. "Gapapa kok, lagian gue udah mendingan."

"Beneran ya gapapa?" Tanya Revan lagi.

Devan menghembuskan nafasnya kemudian tertawa. "Iya Rev. Ini gue udah bugar. Lagian repot juga kalau sendiri yang suguhin tamu rombongan ini."

"Bener juga. Gempor gue entar." Angguk Revan.

"Maklum sih ya, faktor umur kan kalau lo mah Rev." Ucap Devan enteng.

Revan tidak terima. "Maksud lo gue tua Dev?"

"Bukan gue yang ngomong ya." Ejek Devan.

"Yak! Adek durkamvret kalau gue tua, lo juga tua dong!" Ucap Revan tak terima.

Devan tersenyum jahil. "Maaf-maaf aja ya Rev, pikiran gue dan sifat gue gak sekolot lo."

"Belum pernah di lem tembak ya tuh mulut lo Dev." Ancam Revan.

Devan hanya acuh. "Kabur ah. Sebelum macan sumatra ngamuk."

Revan hanya menggelengkan kepalanya, tetapi sesaat kemudian pemuda itu tersenyum.

Revan dan Devan kini sudah berkumpul bersama dengan yang lainnya. Beberapa teman baru mereka sedikit terlihat agak canggung satu sama lain. Maklum saja ini baru pertama kali bagi mereka bertemu seperti ini.

Mereka satu per satu meminum minuman yang telah disediakan oleh Revan dan Devan. Mereka mulai sadar jika dilihat dari seksama, kedua pemuda itu memanglah mirip. Namun ada aura berbeda dari masing-masing.

Melihat suasana yang terus saja canggung, Raka tidak berdiam diri. Pemuda itu mencoba mencairkan suasana.

"Lah kok diem-dieman terus kita, kayak ketemuan ma gebetan aja." Raka menyeletuk.

Ardli menambahkan. "Iya nih, ngobrol dong kan punya mulut.".

"Oh, emang lo punya Dli?" Tanya Devan sakartis.

Ardli menahan kesalnya. "Nih anak ya lagi sakit juga masih aja punya beribu cara buat ngusik gue."

"Boleh ikutan gak Dli? Gue juga lagi pengen ngusik lo." Raka tertawa.

Ardli memutar bola matanya malas. "Ngadu pisau yuk?!"

Lily hanya menghela nafasnya melihat kelakuan para teman-teman cowoknya itu. "Jadi gini Dev, karena kita denger lo sakit kita mutusin buat jenguk lo."

"Iya bener, ini kita juga ada bawa makanan sama buah-buahan." Tambah Sasha.

Fitra kini bertanya. "Lo udah mendingan Dev?"

"Udah lumayan kok, besok juga mungkin gue udah masuk kuliah." Jawab Devan.

Alfi juga ikut bicara. "Kalau masih belum sembuh mending jangan maksain Dev."

"Tuh denger kata temen-temen lo Dev." Revan serasa didukung.

Devan mendengus. "Kan gue bilang udah gapapa Rev. Jangan terlalu khawatir."

"Uwu.... Bisa gak sih jangan romantis depan gue Rev, Dev." Melankolis Raka.

Revan tersenyum sangat sadis. 'BUK' "Bacot. Raka."

"Demi nasi uduk pake toping ulet! Aw, sakit Rev." Aduh Raka.

"Cari perkara sih lo Ka sama malaikat maut." Tawa Ardli.

Seketika Revan menoleh pada Ardli. "Mau gue cabut sekarang?"

"Gue masih mau hidup Rev. Ampun dah." Ardli segera mengklarifikasi.

Devan menepuk dahinya. "Maklum ya sama mereka bertiga, otaknya pada geser dari dulu."

"Gapapa Dev, sumpah gapapa. Langka banget gue liat momen Revan kayak gini." Sasha malah fangirling.

Revan melirik pada jam di tangannya. Sekarang sudah waktunya untuk berangkat kerja. Pemuda dingin itu berdiri dan pamit pada mereka.

Beberapa dari rekan-rekannya sedikit bingung saat Revan pamit. Padahal seharusnya dia juga masih ikut berkumpul.

"Revan mau kemana emang? Buru-buru gitu?" Kristan yang sedari tadi diam, kini bertanya.

Devan menjawab singkat. "Kerja."

"Dinana emang? Masih muda udah ngebangun karir dong. Revano emang idaman deh." Kagum Sasha.

Alfi mendecih. "Halu aja terus lo."

"Emangnya orang tua kalian kemana Dev?" Jesslyn bertanya sekarang.

Seketika suasana disana berubah menjadi sunyi. Raka melirik Jesslyn dengan tatapan tajam.

Nayla yang sadar dengan kesensitifan ini segera menginisiasi. "Sorry Dev, pertanyaannya sensitif ya. Kita bahas yang lain aja gimana, guys?"

Devan menggeleng. "Gapapa kok. Cuma sedikit kaget aja. Mama sama Papa gue sama Revan udah meninggal  karena kecelakaan dari gue sama Revan kelas 2 SMA."

"Ma.. Maaf Dev, gue gak maksud."  Sasha ingin sekali membenamkan dirinya ke dalam tanah.

Devan tersenyum. "Gapapa kok Sa, tenang aja."

"Terus sekarang kalian gimana?" Tanya Nayla.

Devan kembali tersenyum. "Semenjak itu kita berusaha mandiri. Ada tante Andrea yang sedikit banyak bantuin kita. Tapi yang bikin gue paling beruntung, karena gue punya Revan. Semenjak orang tua kita meninggal, Revan semua yang meranin sosok Papa, sosok Mama, dan kakak sekaligus buat gue. Karena itu, gue gakan terlalu sedih selama Revan ada di sisi gue. Bagi gue Revan adalah orang yang paling bertanggung jawab dan kukuh sama pendiriannya juga orang yang penyayang. Mungkin bagi yang nggak tahu Revan itu dingin tapi dibalik itu semua Revan itu bener-bener sosok yang penyayang dan hangat."

"Ketika lo udah kenal jauh sama Revan, semakin kuat  keinginan lo buat ngelindungin kehangatan yang ada di dia." Raka mengingat momen-momen persahabatannya dengan Revan semenjak kecil.

Ardli menepuk pundak sang sahabat. "Apa yang lo ucapin tadi Dev, gue yakin berlaku juga buat Revan ke lo."

"Revan ya, gue dari pertama ketemu emang yakin ada banyak hal dibalik sifat dinginnya itu." Nayla tersenyum.

Raka cemberut. "Waduh Nay, jangan oleng dari gue ke Revan dong."

"Apaan sih Ka. Gue bilang gitu karena ke temen aja. Dan gue juga belum mau sama lo. Mau sama Jackson Wang aja." Jelas Nayla.

Jesslyn meledek. "Makanya jangan ngadi-ngadi lo Ka."

Mereka semua terus masuk ke dalam hangatnya obrolan.  Sampai hari sudah menjadi gelap. Akhirnya mereka berpamitan.

Sekarang tinggal Devan sendiri di dalam rumah. Untung saja teman-temannya sangat mengerti, mereka membersihkan bekas makanannya masing-masing sebelum benar-benar pulang.

Keadaan menjadi sepi kembali. Devan hanya ditemani ponselnya saat ini. Dulu saat Mama dan Papanya masih ada, Devan akan berkumpul dengan mereka dan menunggu sang kakak yang pulang dari les atau pun rapat siswa. Maklum saja Revan itu memang jenius sekolah dan murid idaman sejak dahulu.

Ponselnya mulai low-bat, kini Devan berdiri dengan tujuan untuk men-charge. Tanpa sengaja, dia melihat bingkai foto dimana disana ada dirinya, Revan dan kedua orang tuanya yang tersenyum bahagia. Diangkatnya bingkai foto tersebut.

"Ma, Pa, apa kabar? Kalian udah seneng kan disana? Jujur Devan kangen Ma, Pa. Maaf ya waktu itu Devan gak nangis, Devan cuma gak pengen Mama sama Papa punya beban karena tangisan Devan. Lihat sendiri kan segimana cengengnya Revano waktu itu? Masa Devan mau tambahin lagi?"

Devan masih bermonolog dengan bingkai foto tersebut.

"Tapi Ma, Pa Revano udah jadi cowok yang kuat loh. Gak terlalu cengeng lagi, walau kadang manjanya masih aja ngelebihin Devan. Revano emang masih jadi idaman sekolah, sekarang juga di kuliahan padahal Devan sama Revan baru masuk kan, tapi siapa yang gak akan kenal sama Revano Ardian Pratama. Haha. Tapi tetep aja Revano itu jual mahal dan cuek. Ma, Pa mau bantuin Devan kan buat jagain Revano? Bantuin Devan biar kuat ngadepin kondisi Devan. Bantuin supaya Devan tetep bisa ngejaga senyuman Revano. Devan sayang sama kakak kembar Devan satu-satunya itu Ma, Pa. Meski nyebelin dan absurd juga sih."

"Iya, gue juga sayang banget sama adek kembar gue satu-satunya ini kok. Yang terimut sedunia." Tiba-tiba saja Revan datang tanpa diundang.

Devan segera menyimpan bingkai foto itu. "Baru pulang dah cari gara-gara aja lo Rev. Mana mirip jelangkung aja lo datang gak diundang pulang gak dijemput."

"Masa ganteng gini disamain ma jelangkung sih." Ucap Revan tak terima.

Devan mengangguk. "Oh iya harusnya gue samain sama iblis ya."

"Iblis baik hati kalau gue mah." Bangga Revan.

(Gaada hatinya lo mah Rev) Pikir Devan dalam hati karena masih sayang nyawa. "Iya lah serah lo aja."

"Loh kok belum tidur? Nungguin gue? Padahal mah tidur aja Dev, gapapa atau lo kangen sama kembaran lo ini?" Goda Revan.

Devan memasang pose muntah. "Huweek najis. Jangan geer, ini gue emang mau tidur kok."

Revan tersenyum. "Dasar."

.

.

.

.

.

.

Tidak terasa waktu ospek sudah berakhir. Hari ini adalah hari pertama bagi Revan memulai kuliah setelah masa orientasi. Sungguh beruntung karena Revan menempati kelas yang sama dengan teman-temannya semasa orientasi.

Waktu mata kuliah pertama belum dimulai, Revan seperti biasa membaca bukunya seperti kebiasaannya saat SMA dahulu. Dan dibalik itu banyak mahasiswi yang terhibur dan kagum melihat aura Revan yang belajar sepenuh hati.

"Jadi gimana, entar kalian mau masuk UKM apa nih?" Jesslyn yang paling aktif bertanya.

Kristan mengedikkan bahunya. "Gue sih masih bingung, pengennya sih gak masuk kemana-mana."

"Ya, mana bisa gituh orang satu mahasiswa/mahasiswi wajib ikut satu UKM pan." Argu Jesslyn.

Nayla juga bicara. "Kalau gue sih tertarik sama UKM penelitian."

"Udah gue duga, si pinter Nayla pasti milih ini." Bangga Raka.

Kristan bertanya. "Lo sendiri Ka, milih apa? Dulu kan lo pernah jadi ketua OSIS gak niat masuk BEM?"

"Nggak. Sama sekali nggak." Jawab Raka cepat. Untuk kali ini dia tidak mau berkecimpung di dunia itu.

Jesslyn melirik Revan yang masih sibuk dengan bukunya. "Kalau lo Rev, gimana?"

Revan menutup bukunya sebentar. "Belum tahu."

"Haaah. Bahkan Revan aja belum tahu mau masuk UKM apa." Keluh Jesslyn.

"Revano, gimana kalau lo ikut masuk kompetisi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden BEM."

Kristan, Raka, Nayla dan Jesslyn terkejut saat tiba-tiba saja Nathan datang menghampiri mereka dan memberikan selembaran pada Revan.                    Orang yang dipanggil menutup bukunya dan menatap Nathan lurus.

"Kenapa gue?" Tanya Revan singkat.

Nathan mengedikan bahunya. "Lo itu udah jadi ketua angkatan tahun sekarang bukan? Terus banyak dari dosen juga yang ngerekomendasiin lo. Lo bakal dipasangin sama Erik, kating lo yang sekarang tingkat 2. Gimana?"

"Gue nolak." Jawab Revan cepat.

Nathan menghembuskan nafasnya. "Ayolah Rev, gue sama Arjun udah mau pensi. Mana bisa gue atau Arjun nyalonin diri lagi? Kalau gituh kurang fair dan Haris sama Dikta menang mutlak nanti."

'DEG'

Baik Revan maupun Raka langsung tercengang setelah nama itu disebutkan oleh Nathan.

"Gue ikut." Ucapannya langsung berubah.

Nathan sedikit bingung. "Tiba-tiba berubah pikiran?"

"Gue lagi suka tantangan aja." Jawab Revan mengelak.

Nathan hanya mengangguk. "Oke, kalau gituh pemilihannya satu minggu lagi. Siapin aja materi lo sama Erik. Nanti siang dateng aja ke ruang BEM, lo disana bisa ketemu Erik."

Setelah mengatakan itu, Nathan berlalu. Raka memandang mata Revan dalam. Dia tahu mengapa Revan sampai mau ikut menjadi bakal calon, namun Raka berharap tidak akan terjadi sesuatu dengan sahabatnya itu.

Mata kuliah pertama akhirnya di mulai juga. Semua mahasiswa dan mahasiswi begitu serius memperhatikan ya walaupun tidak semuanya. Revan mencatat setiap detil pelajaran ke dalam catatannya.

Waktu berlanjut sampai kelas ke dua. Dia beranjak menuju kelas selanjutnya. Revan juga tidak mengendorkan keseriusannya di kelas yang ke dua. Siang sudah datang, karena memang baru hari pertama mata kuliah tidak terlalu banyak yang diberikan.

Sesuai dengan yang dikatakan Nathan tadi, Revan pergi menuju ruangan BEM untuk bertemu Erik kakak tingkat yang akan menjadi pasangannya nanti.

"Permisi." Sapa Revan dengan sopan.

Namun orang yang sedang membalikan punggungnya itu masih meminum sesuatu, tidak menyadari dengan kehadiran Revan.

"Permisi." Nada suara Revan sedikit lebih menaik namun masih di batas wajar.

Berhasil, pemuda itu menoleh. "Oh iya, silakan masuk. Maaf ya tadi gue minum pil gue dulu."

"Pil?" Tanya Revan bingung.

Pemuda itu tertawa. "Iya bisa jadi gue kalau pil gue nggak diminum tar heboh sekampus. Oh ngomong-ngomong kamu Revan? Yang tadi Nathan ceritain."

"Iya Kak, saya Revano panggil aja Revan. Ini Kak Erik?" Tanya Revan sopan.

Erik tersenyum. "Gak usah formal gitu kok Rev. Senyaman lo aja. Iyah gue Erik. Semester 3 sekarang."

"Oh iya Kak. Boleh duduk?" Revan kembali pada inti.

Erik terkekeh. "Boleh lah. Ayo duduk."

"Kak Erik, kenapa Kakak nyalonin diri disaat sebenarnya Kakak mungkin gakan mampu?" Revan menatap Erik lurus dengan ekspresi datarnya.

Erik sedikit tersinggung. "Maksud lo apa adek tingkat?"

"Pil itu, gue tahu buat apa." Revan memalingkan wajahnya.

Erik menghela nafasnya. "Haaaah. Susah ya dipasangin sama calon yang serba tahu. Gini Rev, kenapa gue nyalonin diri? Karena gue yakin gue mampu meski keadaan gue gakan ngedukung. Dan satu motivasi lagi buat gue yaitu gue bakal matahin perkiraan lo yang bilang gue gakan mampu."

"Maaf, gue gak maksud Kak." Sesal Revan.

Erik tersenyum. "Udahlah gapapa mending kita bahas visi misi kita nanti."

"Oke." Jawab Revan singkat.

Erik bicara pelan. "Satu lagi, tolong Rev hal ini cuma lo yang tahu ya."

"Oke. Tapi Kakak juga harus janji kalau emang lagi gabisa bilang gabisa." Kata Revan dengan serius.

Erik sedikit terkejut, Ucapan Nathan dan Arjun benar. Revan itu adalah anak yang hangat. "Oke!"

.

.

.

.

.

.

Revan menutup pintu ruangan BEM. Sudah ada beberapa poin dari hasil rapat berduanya dengan Erik tadi. Sekarang Revan pamit untuk makan siang di kantin bersama teman-temannya dan tentu saja Devan.

Ketika dia berjalan tanpa sengaja Revan bertabrakan dengan seseorang.  Mata mereka berdua bertemu. Dari sana Revan bisa langsung tahu siapa orang ini.

"Kita ketemu lagi Rev." Ucap orang itu dengan sinis.

Revan hanya diam dengan ekspresi datarnya.

"Oh, lo mau ikut juga. Ternyata terbukti bukan gue yang ikut campur ke lo Rev, tapi lo yang selalu dateng ke gue." Sinisnya kembali.

Revan masih tidak membalas.

"Atau lo ngelakuin ini demi adek kembar lo yang juga kuliah disini?" Tanyanya dengan sengaja.

Revan berbalik dan segera menarik kerah baju orang tersebut. "Berengsek!"

"Rev, lepasin woy!" Raka yang baru kembali dari toilet dan melihat itu langsung menenangkan Revan.

"Reuni yang gak diharapkan, bener kan Raka?" Orang itu membenarkan kerah bajunya dan beranjak pergi.

Revan mengepalkan tangannya sangat kuat.

"Sabar Rev, lo harus tenang." Raka masih mencoba menenangkan sang sahabat.

Revan menghembuskan nafasnya. "Gue tenang kok Ka. Balik ke kantin aja cepet."

Raka mengangguk.

Kini Raka dan Revan sudah berkumpul dengan yang lain di kantin kampus. Disana juga ada Ardli, Devan dan teman-temannya.

Devan sedikit terheran kala melihat ekspresi tidak biasa dari Revan. Ada gurat kemarahan yang nampak di wajah Revan. Meski Revan bisa menyembunyikannya namun Devan tidak akan pernah tidak menyadarinya.

"Ada masalah Ka?" Tanya Devan curiga.

Raka yang mengetahui kekhawatiran Devan mencoba menutupi. "Gak kok. Gak ada."

"Terus kenapa ekspresi lo Rev kaya orang yang pengen bunuh orang?" Devan sedikit menambahkan candaan walau sebenarnya dia khawatir.

Revan menggeleng. "Capek aja tadi ada cewek minta foto terus."

"Kalau lo capek Rev, entar gue aja yang gantiin." Ucap Alfi.

Revan tertawa garing. "Haha boleh dicoba."

Arjun dan Nathan mulai datang dari arah lain dan ikut bergabung bersama mereka.

Arjun berkata. "Masih ada ruang kosong kan? Boleh gabung?"

"Oh, boleh kok Kak boleh." Sasha mempersilakan.

Nathan berterima kasih. "Thanks. Bosen kita sama temen-temen aneh kita."

"Tiba-tiba aja gue kenyang." Raka bicara.

Jesslyn bingung. "Kok bisa? Belum dimakan loh?"

"Nafsu makan gue ilang, baru inget masih ada tugas." Jelas Raka menghindari.

Arjuna bertanya. "Tugas apa? Mending makan dulu, entar di rumah gue bantuin aja?"

"Gue pengennya ngerjain sekarang Bang." Raka kembali menghindari.

Nathan mencoba membujuk. "Ngerjain tugas perut kosong, entar lo sakit Ka."

"Makasih Kak Nathan perhatiannya, tapi gue lagi gak mau diperhatiin." Raka segera pergi.

Arjuna berdiri dan mencoba mengejar. "Tunggu dulu Raka!"

Revan mencegat lengan Arjuna. "Biarin aja dulu Bang, Raka masih butuh waktu."

"Raka....." Devan menatap sedih pada punggung Raka yang menjauh, bagaimanapun Raka adalah teman sejak kecilnya juga.

Arjuna menghela nafasnya dan kembali duduk.

"Jadi gimana Rev? Apa lo udah cocok sama Erik buat pemilihan nanti?" Nathan mengubah topik pembicaraan.

Revan menjawab singkat. "Sama sekali nggak. Ibaratnya gue air dia api."

"Udah kebayang sih." Ardli sampai ngeri memikirkannya.

Devan yang tidak tahu apa-apa bertanya. "Eh? Apa? Pemilihan apa?"

"Oh lo belum tahu Dev? Revan bakal jadi calon wakil presiden BEM bareng Kak Erik." Jelas Kristan.

Revan tersenyum canggung. "Haha. Surprise."

Semua langsung terdiam bagai ditelan  bumi setelah melihat ekspresi Revan yang tidak biasanya. Ardli sudah tidak kuat untuk menahan tawanya, pemuda penyuka fotografi itu tertawa terbahak-bahak.

Arjuna, Alfi, fitra, dan Kristan menahan senyum. Berbanding terbalik dengan Nathan yang hanya diam tanpa ekspresi.  Sementara para wanita hanya memalingkan wajah dan tersenyum sebentar.

"Tumben banget lo mau masuk organisasi Rev?" Devan setelah tertawa sedikit bertanya.

Revan menjawab percaya diri. Meski agak kesal dengan teman-temannya. "Pengalaman baru mungkin?"

"Gakan ada badai hujan gitu lo ikut?" Canda Devan.

Ardli yang menjawab. "Bukan hujan badai lagi Dev, tapi tsunami petir muncul."

"Oh, lo pengen gue kasih tsunami Dli?" Aura mengerikan keluar dari tubuh Revan.

Ardli segera bersembunyi dibalik Arjuna. "Bang Arjun, tolong."

"Tapi kalau Revan jadi wakil presiden BEM, saingan gue entar makin banyak dong." Keluh Shasa.

Alfi mengangguk. "Tanpa saingan aja Revan belum mau sama lo apalagi banyak saingan, sabar ya Sa."

"Berisik lo fans cap kampak." Balas Shasa.

Lily memgembalikan pertanyaan semula. "Jadi Kak Erik gimana? Kalian  gak cocok kah atau gimana?"

"Kalau urusan sifat sama sekali gak cocok. Tapi untuk pandangan dan visi misi yang mau kita kembangin cocok kok. Malah kita saling ngasih saran satu sama lain." Jelas Revan.

Shasa bersemangat. "Tenang aja karena gue fans lo Rev, gue pasti bakal pilih lo sama Kak Erik."

"Nggak. Siapapun yang milih gue dan Kak Erik karena embel-embel fans dan kekaguman ke gue, gue bakal diskualifikasi sendiri suara buat gue sama Kak Erik. Gue cuma pengen orang-orang yang milih gue dan Kak Erik nanti adalah dengan cara objektif bukan subjektif." Revan berbicara sangat serius.

Devan tersenyum. "Sekali Revano tetep aja Revano."

"Makin kagum aja gue sama lo Rev." Puji Jesslyn.

Disaat yang lain sibuk membicarakan Revan, Nathan memandang lurus kepada Devan.

"Kenapa Kak Nathan?" Devan sadar sedang diperhatikan.

Nathan langsung memalingkan wajahnya. "Nggak. Ar, gue balik dulu ke kelas ya."

"Oh. Boleh Nat." Sahut Arjuna.

Revan memandang Nathan yang sudah menjauh, dia merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan kakak tingkatnya itu.

.

.

.

.

.

Raka sudah berada di rumahnya sekarang. Kejadian tadi membuat mood-nya turun seketika. Tidak, Raka sama sekali tidak membenci kakaknya Arjuna. Hanya saja semuanya terasa seperti ilusi.

Raka terlalu takut bahwa yang dilakukan Arjuna padanya hanya karena kejadian waktu itu. Bukan murni dari apa yang ingin Arjuna lakukan. Lebih baik keadaan seperti dulu jika Arjuna hanya berpura-pura seperti ini.

Raka setelah menyiapkan makanan mulai duduk di kursi makan sampai suara bel terdengar berbunyi. Mantam Ketua OSIS SMA itu beranjak dan membukakan pintu. Disana ada Arjuna yang sudah pulang dari kuliah sepertinya.

Setelah mencuci tangan dan berganti pakaian Arjuna ikut duduk bersama Raka. "Ini lo yang masak Ka? Kayaknya enak nih, gue makan ya."

"Boleh Bang, udah beres kuliahnya?" Tanya Raka datar.

Arjuna mengangguk. "Iya, makanya gue pulang. Kenapa Ka?"

"Biasanya lo sibuk kan Bang, tumben." Ada sedikit nada sinis keluar dari Raka.

Arjuna tersenyum. "Gue sengaja, lagian kehidupan gue bukan cuma di kampus sama rumah sakit doang kan Ka."

Raka menundukkan kepalanya. "Bukannya dulu, kedua hal itu keutamaan lo ya Bang."

"Sekarang tugasnya lagi sedikit kok, tenang aja." Arjuna mencoba menghibur.

Raka beranjak. "Gue udah kenyang, mau balik kamar."

"Tapi ini belum abis Ka, tadi siang juga lo belum makan apa-apa. Nanti kalau sakit gimana?" Arjuna khawatir.

Raka tersenyum sendu. "Waktu gue sakit juga, dari dulu gue bisa sendiri kok Bang. Gausah khawatir."

"Tetep abisin dulu makanannya." Kali ini nada bicara Arjuna mengintimidasi.

Jujur Raka sedikit takut, tapi dia mencoba mengabaikannya. "Nanti kalau laper, gue ke bawah lagi Bang."

Arjuna hanya diam. Menatapnya dengan pandangan dingin. Sampai saat Raka benar-benar beranjak suara Arjuna terdengar sangat tinggi, cukup untuk mengejutkannya.

"CUKUP RAKA!" Ini pertama kalinya bagi Arjuna membentak sang adik.

Raka bergetar, sudah sangat lama Arjuna tidak memarahinya.

"APA YANG SEBENERNYA LO MAU KA? ASAL LO TAHU BUKAN CUMA LO YANG STRES SETELAH KEJADIAN KELULUSAN LO, GUE JUGA KA! GUE COBA BUAT BERUBAH SEBAIK MUNGKIN KE LO, TAPI RESPON LO KAYAK GINI? JELASIN APA YANG LO MAU KA! JELASIN KE ABANG SEKARANG!" Arjuna yang jarang bicara, mudah tersenyum dan ramah pada setiap orang kini meluapkan semua emosinya.

Raka mengepalkan tangannya kuat, tubuhnya masih bergetar dan ada linangan air mata yang ingin segera mengalir.

"Gue cuma pengen lo gak usah sok perhatian ke gua Bang! Kalau emang lo gak mau! Jadi bener lo berubah cuma gara-gara kejadian itu Bang?! Kalau gaada kejadian itu lo gak akan berubah Bang?! Kalau gituh gue pengen lo balik lagi aja kayak dulu! Gak pernah ada saat gue dalam keadaan apapun! Gue udah biasa sendiri!" Arjuna terkejut dengan ucapan Raka, bahkan adik satu-satunya yang dititipkan oleh kedua orang tuanya menumpahkan air mata yang begitu banyak. Adiknya yang selalu tertawa dan terlihat bahagia kini terisak begitu dalam karena dirinya.

'BLAM' Raka membanting pintu kamarnya dengan keras. Sementara Arjuna dia hanya bisa mengusap wajahnya kasar.

Sementara itu Revan dan Devan yang sudah tiba di rumah juga tengah memperbincangkan sesuatu. Sebenarnya bukan sesuatu yang cukup serius, kedua anak kembar itu tengah membahas mengenai UKM yang akan dimasuki.

Atau lebih tepatnya saat ini Devan tengah merayu Revan agar membiarkannya masuk ke dalam salah satu UKM di kampus.

"UKM yang mana dulu?" Tanya Revan serius.

Devan menjawab pelan. "Pe...pecinta alam."

"Lo mau bunuh diri?" Nada bicara Revan menjadi dingin.

Devan masih mencoba bernegosiasi. "Tapi UKM nya gakan main jauh-jauh kok Rev, masih sekitaran Bandung."

"Lo gak inget apa pas kejadian waktu SMA?" Revan itu keras sangat keras, untuk merubah keputusannya.

"Inget Rev." Devan langsung menunduk.

Revan memijat pelipisnya. Mencoba bersabar untuk sang adik. "Gue bukannya kenapa Dev, gue ngelakuin ini semua karena gue sayang sama lo Dev. Lo ngerti kan?"

"Ngerti. Ta...tapi Rev ka...kalau gue ikut cuma buat pertemuan aja besok, boleh kan?" Devan bertanya dengan masih menunduk.

Revan menghela nafasnya. "Pertemuan gimana? Lokasinya?"

"Di kampus aja, cuma perkenalan doang. Abis itu gue langsung pulang ke rumah Rev." Devan menjelaskan.

Revan mengernyit. "Kenapa lo gak pulang bareng gue aja kalau emang acaranya di kampus?"

"Besok kan lo ada rapat di BEM sama Kak Erik dan pendukung yang lain. Takut hujan juga Rev." Devan mencoba menjelaskan.

Revan mengungkapkan kecurigaannya. "Lo ngelakuin ini bukan karena tahu gue bakal pulang telat kan Dev?"

"Enggak Rev." Jawab Devan tegas, dia tidak mau jujur.

"Lo tahu kan Dev, gue paling gak suka kalau lo gak jujur sama gue." Mata Revan menatapnya kosong.

Devan menatap mata sang kakak. "Gue janji Rev."

"Oke, gue izinin untuk kali ini ya Dev. Jangan terlalu maksain diri." Revan mengacak lembut surai Devan.

Devan mengangguk. "Oke kapten!"

Sementara Revan tengah menyiapkan makanan, jujur saja Devan sedikit merasa bersalah. Sebenarnya dia tadi berbohong bahwa acara UKM pecinta alam besok hanya di kampus melainkan ada di hutan juga. Namun untung saja lokasinya tidak terlalu jauh, jadi besok dia bisa tiba di rumah sebelum Revan pulang.

.

.

.

.

.

Hari esok telah tiba, Devan yang sudah tiba di kampus segera menuju lokasi pertemuan UKM yang diikutinya.  Cukup banyak mahasiswa tingkat pertama yang ikut dalam UKM ini.

"Hai, lo kembarannya Revano kan? Kenalin gue Handi." Seseorang yang berada di sebelahnya memperkenalkan diri.

Devan mengangguk. "Oh, nama gue Devano panggil gue Devan aja."

"Gue, Sansan bagian dari kepengurusan UKM pecinta alam." Seseorang lagi memperkenalkan diri.

Devan tersenyum. "Halo Kak Sansan."

"Alah panggil gue Sansan aja santai, lagian umur kita samaan cuma gue masuk kampus duluan. Moga betah ya di UKM ini." Jelas Sansan.

Handi menjawab semangat. "Betah kok. Orang ini hiburan buat kita kan."

"Iya Kak, betul banget." Devan ikut bersemangat.

Di sisi lain Revan merasakan kegelisahan entah mengapa di dalam hati. Sepanjang rapatnya dengan tim Erik tidak sekali pun Revan bisa fokus.

Hal itu juga ternotis oleh Erik sendiri. Dengan ramah, Erik membiarkan Revan untuk undur diri terlebih dahulu. Sesaat Revan keluar dari ruangan BEM dia tidak melihat kegiatan mahasiswa UKM pecinta alam, mencoba berpikir positif mungkin saja Devan sudah pulang duluan.

Sayangnya selama dua jam Revan tiba di rumah, adiknya itu sama sekali belum menunjukkan diri. Segala emosi sudah tercampur di dalam dirinya, yang lebih banyak adalah rasa khawatir. Akhirnya Revan memutuskan untuk menelepon sang adik.

"Dimana lo Dev?" Revan menyembunyikan amarahnya.

"Ini gue udah di rumah kok Rev, lo masih lama?" Devan bicara dengan natural.

"Mungkin gue bakal pulang agak malem, karena langsung kerja." Jawab Revan, bohong.

"Oh gituh Rev. Hati-hati ya. Entar gue masakin sup deh." Tawa Devan. Dia tahu bahwa beberapa hari ini Revan sangat menyukai sup buatannya.

"Gak usah." Revan menutup teleponnya sepihak.

Devan sedikit bingung dengan nada bicara Revan yang diakhir telepon berubah menjadi sangat rendah dan dingin. Namun untung saja sepertinya dia datang sebelum Revan pulang.

Oh iya Devan tidak sendirian, Handi dan Sansan juga ikut bersamanya. Mereka bilang ingin berkunjung sebentar ke rumah Devan sebelum pulang ke rumah masing-masing.

"Seru banget ya tadi. Hutannya juga sejuk kan?" Tanya Sansan dengan semangat.

Handi mengangguk. "Betul banget, rasanya semua penat hilang gituh aja."

"Tapi pegel juga sih seudah perjalanan." Devan menambahkan.

Tiba-tiba saja Revan datang menghampiri. "Setahu gue acaranya bukannya di kampus doang kan?"

"Loh Rev, bukannya lo masih rapat sama BEM?" Devan bertanya ragu.

Revan menatap Devan tajam. "Lo bohong lagi sama gue Dev? Udah keberapa kali sekarang, sebutin!"

"Gue gak.... bohong." Devan langsung menunduk takut.

Sansan yang mengerti situasi mencoba menjelaskan. "Eh Revano, sebenernya acaranya emang di kampus tapi kita emang ada kegiatan juga di luar tapi cuma sebentar kok itu juga."

"Iya, emang pemberitahuannya baru kemarin kan." Tambah Handi.

Revan menghembuskan nafasnya kasar. "Oh pemberitahuannya dari kemarin, tapi lo cuma bilang di kampus aja kan Dev? Kenapa bohong? Bisa jawab kan!"

Devan tidak berani menatap Revan.

"Gue bilang jawab Devano! Punya mulut kan!" Revan membentak.

Sansan mencoba menenangkan emosi Revan. "Revano, mungkin ini salah paham. Biar gue jelasin lagi aja."

Revan mendelik, tidak suka urusannya dicampuri.

"PERGI LO SEMUA! INI URUSAN GUE SAMA ADEK GUE!"

Sansan dan Handi masih terdiam.

"GUE BILANG PERGI! INI URUSAN GUE SAMA SI PEMBOHONG INI!"

Karena tidak ingin menambah masalah Sansan dan Handi langsung pulang.

"JAWAB DEVAN! KENAPA LO BOHONG? UDAH KEBERAPA KALI SEKARANG?!"

Devan memejamkan matanya takut. Kemarahan Revan yang begini akan sangat lama untuk redam.

.

.

.

.

.

To Be Continue.........

Eh balik lagi ke si kembar, makasih yah buat kalian yang udah mau baca, vote, comment dan masukin Revan and Devan ke reading list kalian. Sekarang juga jangan lupa vomment ya hehe.

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!