NovelToon NovelToon
Kau Lah Cinta Terakhir Ku

Kau Lah Cinta Terakhir Ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Matabatin / Time Travel / Cinta Terlarang
Popularitas:764
Nilai: 5
Nama Author: Thalireya_virelune

Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.

Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.

Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.

Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.

Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.


Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?

Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pertanyaan yang tak pernah terjawab

Aku pun membalas dengan hati yang bergetar penuh luka, jemariku lemah menekan huruf demi huruf di layar.

“Lu diem dulu…”

Air mataku menetes, bukan hanya karena sakit hati, tapi juga karena aku merasa tak pernah benar-benar dipandang sebagai manusia oleh dia.

Namun, balasan dari Alfareza justru semakin menusuk, penuh ego dan tanpa perasaan.

“Bacot, ayok sekarang.”

Kata-katanya seperti cambuk yang mematahkan sisa-sisa kekuatanku, membuatku sadar bahwa cintaku hanya dianggap permainan semata.

Dengan emosi yang memuncak, jemariku menari di atas layar ponsel. Setiap huruf adalah luka, setiap kalimat adalah jeritan yang tak terdengar.

“Kalau aku bisa memilih, aku ingin berhenti mencintaimu. Tapi kenapa hatiku selalu melawan logika? Apa mungkin aku terlalu bodoh? Atau aku terlalu setia pada cinta yang mungkin tak pernah jadi milikku?”

Pesan terkirim, dan untuk beberapa detik aku menunggu dengan harapan tipis, berharap ada jawaban yang tulus, yang mampu sedikit meredakan sesak di dada.

Namun balasannya datang, singkat, dingin, seolah-olah ia bahkan tak membaca apapun yang aku tulis.

“Udh ayok.”

Hanya itu. Dua kata, seperti tamparan yang menyadarkanku bahwa perasaanku hanyalah angin lalu baginya.

Tak lama, layar ponselku bergetar. Dering itu memenuhi ruang sepi di kamarku—video call darinya. Namanya tertera jelas di layar, tapi rasanya aku hanya ingin memecahkan ponsel itu.

Aku menatap layar itu dengan muak, jantungku berdegup kencang bukan karena rindu, melainkan karena jijik. Aku sadar, aku sedang diambang titik paling rendah dalam hidupku.

Tapi hatiku tak bisa menolak kenyataan yang ada,jika hatiku masih saja tertambat padanya.

Seperti burung yang tahu sangkarnya berkarat, namun tetap kembali setiap senja.

Seperti laut yang tahu akan ditampar badai, namun tetap merindukan langit yang menjatuhkan hujan.

Seperti luka yang kutusuk sendiri, namun masih kuciumi bekas pedangnya.

Aku tidak bisa mengingkari meski logikaku berteriak, hatiku tetap menuliskan namanya di setiap helaan napas.

"Alfareza, engkau racun sekaligus candu.

Aku ingin pergi, tapi rinduku selalu menuntunku pulang kepadamu, meski rumahmu bukan untukku."kataku pada diriku sendiri.

Setelah deringan telepon itu berhenti, hening kembali menyelimuti kamar.

Namun tak lama kemudian, layar ponselku kembali menyala.

“Angkat.”

Pesan singkat darinya.

Belum sempat napasku teratur, dering itu datang lagi.

Satu kali… dua kali… beruntun, seperti teror di telinga dan di hati.

Aku hanya menatap layar, air mataku menetes tanpa bisa kucegah.

Aku menolak panggilannya, dan dengan sisa keberanian, aku mengetik balasan:

“Gak akan pernah gua angkat. Gua pengen lupain lo.”

Beberapa detik kemudian, balasannya masuk, dingin dan penuh paksaan.

“Ayok cepet sekarang. Gua maunya.”

Seakan-akan perasaanku tidak pernah ada, seakan-akan aku hanyalah tubuh tanpa jiwa baginya.

Aku menatap layar ponsel, jari-jariku beku sesaat sebelum mengetik. Dengan napas yang bergetar, kuketik satu kalimat tegas:

" Flis, jangan ganggu hidup gua lagi"

Layar bergetar lagi balasan darinya datang cepat, penuh hinaan seperti biasa:

"Lah kontol, ga sesuai omongan"

" goblok²"

Kata-kata itu menusuk, kasar seperti serpihan kaca yang menancap pada luka lama. Sejenak aku merasa seperti mainan yang disudutkan; bukan kekasih, bukan manusia, hanya benda yang boleh diolah dan dibuang kapan saja.

Napasku terengah, tapi ada sesuatu yang tak bisa kuhapus, perasaan yang terus mengalir meski dianiaya:

Aku pun mengetik dan memberikan pesan itu kepadanya:

"Gua sayang sama lo"

"Gua cinta sama lo."

Suaraku nyaris patah ketika aku mengetik, lalu kupencet kirim. Balasan yang datang membuat aku tertawa getir, tawa yang pahit:

"Tolol"balasnya.

aku pun tersenyum,namun Senyum itu bukan kebahagiaan. Itu cermin dari semua penghinaan yang kerap dia lemparkan kepadaku.

Aku tersenyum getir, pahit seolah menertawakan diriku sendiri karena masih berharap pada seseorang yang jelas-jelas tak pernah menghargai.

Di ruang hening kamar, aku menutup mata. Ada perih, ada malu, ada juga amarah yang mulai membara.

Untuk pertama kali sejak lama, bukan lagi tentang bagaimana membuatnya mencintaiku,melainkan tentang bagaimana aku harus berhenti membiarkan diriku diperlakukan seperti ini.

Aku pun membalasnya dengan hati yang masih diliputi luka:

“Tapi lo malah sama cewek itu. Lo pikir gue nggak sakit hati sama perlakuan lo selama ini?”

Balasan darinya muncul begitu cepat, dingin, dan menusuk seperti biasa:

“Klo emang lu sayang, pegang omongan.”

Kalimat itu terasa seperti belenggu. Ia menuntut kesetiaan dan janji, tapi dirinya sendiri merobek janji yang pernah ia buat sendiri.

Aku pun membalasnya dengan jari yang bergetar karena marah bercampur luka:

“Lo aja nggak nyadar sama kesalahan lo.”

Tak lama kemudian, layar ponselku berdering. Namanya muncul lagi. Telepon darinya.

Aku menatap layar itu dengan hati yang berkecamuk, lalu menolaknya tanpa ragu.

Beberapa detik kemudian, ia mengetik:

“Udh ayok cpt.”

Aku menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh, lalu membalas dengan sisa keteguhan hatiku:

“Gue bakalan pegang omongan kalau lo dari awal nggak jahat ke gue. Dari sikap lo yang toxic aja udah bikin gue kecewa berat.”

Aku menatap langit-langit kamar sampai gambar-gambarnya kabur retakan cat, bayangan tirai, lalu wajahku sendiri yang terpantul samar di jendela. Air mata masih mengalir, asin dan panas, tapi suaraku tak keluar. Aku bertanya pada atma-ku sendiri, pelan seperti berbisik ke rongga dada.

“Apa mungkin aku mencintai orang yang salah?”

Tiba-tiba suara getaran pesan dari dia muncul di layar ponselku.

“Gimana nggak toxic, lu-nya tolol. Pertanyaan yang udah dijawab ditanyain lagi, kontol.”

Aku tersenyum getir. Padahal aku hanya bertanya, tapi kenapa dia sampai segininya? Ataukah memang benar begitu sikap aslinya?

Dengan hati yang masih terluka, aku pun membalas:

“Aku sayang kamu. Tapi kenapa kamu jahat?”

Aku beranjak dari kasur, langkahku gontai seolah kaki ini enggan menapak bumi.

Dengan sisa tenaga, aku meraih tirai dan menariknya perlahan. Malam menelanjangiku dengan sunyi.

Di langit, bulan setengah menggantung pucat seperti hati yang tak lagi utuh. Ia seakan bersembunyi di balik kabut luka, enggan menampakkan sinarnya. Bulan itu seperti aku, separuh bersinar, separuh lagi hilang ditelan pedih.

Aku menatapnya lama, berharap ia paham betapa aku pun tengah berjuang mempertahankan sisa cahaya dalam hatiku yang nyaris padam.

“Wahai semesta, apakah aku terlalu bodoh, atau terlalu tak layak untuk dicintai?,Aku menaburkan kasih seperti benih, namun yang tumbuh hanya luka.Laki-laki yang kusebut my last love , yang kusebut rumah kini menjelma menjadi duri yang menoreh kulitku.Lantas mengapa perasaan ini tak mau sirna? Mengapa cintaku tetap menempel seperti getah, walau telah kau renggut, kau permainkan, kau hina?Bahkan saat ia menolak menghargai semua yang kuberikan, aku tetap terjerat terikat pada bayangannya yang tak pernah bisa hilang”aku bergulat dengan bati ku sendiri.

1
Maira_ThePuppetWolf
Ceritanya bikin aku merasakan banyak emosi, bagus bgt thor! 😭
Luna de queso🌙🧀
keren banget thor, aku suka karakter tokohnya!
PsychoJuno
Lanjutkan kisahnya segera ya, thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!