Bagi orang lain, aku adalah Prayasti Mandagiri Bhirawa.
Tapi bagimu, aku tetaplah Karmala Bening Kalbu.
Aku akan selalu menjadi karma dari perbuatanmu di masa lalu.
Darah yang mengalir di nadi ini, tidak akan mencemari bening kalbuku untuk selalu berpihak pada kebenaran.
Kesalahan tetaplah kesalahan ... bagaimanapun kau memohon padaku, bersiaplah hadapi hukumanmu!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ➖ D H❗V ➖, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. GRADUATION
Proses balas dendam pada Beno terus berlangsung. Demikian juga Shakira yang semakin hari semakin membuat Harold jatuh cinta. Harold merasa hidupnya kembali berwarna setelah mengenal Shakira. Tapi satu hal yang Harold sadari, kali ini dia akan memperjuangkan cintanya dengan benar. Bukan karena obsesi untuk memiliki, tapi untuk kebahagiaan wanita yang dia cintai. Harold berusaha memantaskan diri dan berharap suatu saat bisa berjodoh dengan Shakira.
Tentu saja hal itu tidak lepas dari pengamatan Mr. Anthony. Tapi Mr. Anthony pun tidak keberatan bila di antara ke duanya pada akhirnya saling jatuh cinta. Bagi Mr. Anthony, yang penting Shakira bahagia dan bisa jadi hal itu akan menghapus dendam Harold padanya.
Akankah cinta tumbuh di antara ke Harold dan Shakira? Ataukah cinta Harold hanya bertepuk sebelah tangan?
Kita tinggalkan kisah Beno dan Harold sejenak.
*
Dua puluh satu tahun kemudian ...
Seorang gadis cantik berjalan tergesa keluar dari gedung megah di salah satu universitas ternama di kota itu.
"Berhati-hatilah Pray, ingat ... kau sedang memakai high heels sekarang!" seorang wanita yang berjalan di belakang gadis itu mengingatkan. Sementara pria yang berada di sebelah kiri wanita itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Biarkan saja, sayang. Dia sangat antusias dan ingin segera bertemu dengan uncle."
Pray ingin memamerkan status barunya pada grandpa yang sangat disayanginya.
"Grandpaaaaa ..." gadis itu berlari dan memeluk Mr. Anthony yang baru saja memasuki teras gedung itu.
"Congratulation Pray ... Jadi grandpa harus memanggilmu dengan gelar apa sekarang?" Mr. Anthony memeluk cucunya.
Pray mengangkat tangan kanannya yang memegang map berisi ijazah kelulusan program studi hukumnya.
"Aku sudah Juris Doctor (sarjana hukum) sekarang. Apakah grandpa bangga padaku?" Pray melepas pelukannya dan menatap Mr. Anthony.
"Tentu saja, grandpa sangat bangga padamu. Kau akan jadi andalan grandpa untuk menangani urusan hukum di klan Garcia nantinya." Mr. Anthony mengecup kening Pray.
"Suatu kehormatan untukku, Grandpa. Aku akan belajar lebih dalam dengan kasus-kasus real, sampai aku memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaanmu," Pray mengangguk mantap.
"Kau pasti bisa cucuku."
"Jangan panggil aku Prayasti Mandagiri Bhirawa, bila aku tidak bisa membuatmu terus bangga padaku, Grandpa," Pray kembali memeluk Mr. Anthony.
"Wah ... wah ... Kalau sudah ketemu Pray, kami jadi keponakan yang terlupakan," Benjamin meledek Mr. Anthony.
"Kalian berdua keponakan paling kurang ajar, kemarilah!" Mr. Anthony memeluk Benjamin dan Sylvana istrinya.
"Apa kabar Uncle? Masih suka berkuda dan menembak?" Sylvana menyapa Mr. Anthony.
"Seperti yang kau lihat, rambutku yang sudah beruban tidak akan menyurutkan hobbyku."
"Aku sudah lama tidak balap kuda dengan Grandpa. Jangan kaget bila nanti Grandpa kalah denganku," Pray menyahut sambil bergelayut manja di lengan kanan Mr. Anthony.
"Pray, jaga sikapmu. Kau bukan anak kecil lagi," Sylvana menegur anak gadisnya.
"Sylvana ... Kau terlalu meremehkanku. Membanting suamimu sekarang pun aku masih sanggup. Kau mau melihatnya?" Mr. Anthony menoleh ke arah Sylvana. Sementara Benjamin hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Grandpa, kalau begitu aku mau berlatih denganmu saja. Aku sudah bosan dengan pelatih berwajah datar itu."
"Prayyyyy!!!" lagi-lagi Sylvana menegur Pray, karena rasa sungkannya pada Mr. Anthony.
"Sudahlah sayang, jangan terlalu serius. Uncle tidak akan menyalahkanmu karena sikap Pray," Benjamin mengelus bahu istrinya.
"Kita harus bergegas, papa dan yang lain sudah dalam perjalanan." Benjamin memasukkan ponsel ke saku jasnya setelah membaca pesan dari dokter Brian.
Mereka berempat meninggalkan gedung tempat acara wisuda itu berlangsung dan menuju area parkir.
"Aku ikut mobil grandpa saja. Mom ... Dad, kalian berdua selamat bersenang-senang," Pray mengedipkan mata kirinya menggoda Sylvana dan Benjamin.
"Awas kau anak nakal," akhirnya Benjamin terpancing juga.
"Ck ... dia benar-benar pantas jadi anakmu," Sylvana menggelengkan kepala.
*
Mereka berempat menuju ke sebuah mansion yang besar dan megah, bernuansa putih. Mansion dengan gaya arsitektur minimalis, terlihat simple but elegant. Landscape yang tertata indah dan rapi.
Memasuki pintu utama mansion, Mr Anthony menggeleng heran. "Brian ... Brian, apakah kau tidak bosan? Ini mansion atau rumah sakit? Jangan katakan mansion pun harus higienis," gerutunya.
"Setidaknya Sylvana merasa lebih tenang menikmati makan siang di mansionku. Dia tidak akan bisa menelan makanannya bila melihat senjata di setiap sudut mensionmu," dokter Brian meledek balik kakaknya.
Benjamin adalah anak lelaki satu-satunya dokter Brian.
"Grandpa, kau tidak memberiku ucapan selamat?" Faith berdiri menyambut Mr. Anthony.
"Selamat Faith, Grandpa bangga padamu." Mr. Anthony memeluk Faith, "Maaf, Grandpa harus bertukar peran dengan grand dadmu."
"Tidak masalah bagiku, meskipun aku kesal, grandpaku dikuasai olehnya," Faith melirik Pray. "Tapi aku rela mengalah, daripada anak manja dan cengeng itu menangis di hari wisudanya." Faith yang usil mulai menggoda Pray.
"Apa sih?" Pray cemberut sambil melotot ke arah Faith.
"Sudah ... sudah, berhentilah usil Faith, jangan kau goda Pray terus. Kita berkumpul di sini untuk merayakan hari kelulusan kalian berdua." Mr. Anthony berusaha menjadi penengah.
Mr. Anthony sudah berjanji akan hadir di kampus, saat acara wisuda Pray. Tanpa tahu bahwa acara wisuda kelulusan Faith diadakan di hari yang sama. Sehingga dokter Brianlah yang menemani Prada mendampingi Faith di acara wisudanya.
"Granpa?" Faith menadahkan tangan, menagih hadiah dari kakeknya.
Mr. Anthony meraih sesuatu dari saku dalam jasnya, lalu memberikannya pada Faith.
"Thank you grandpa," Faith tersenyum puas. sebuah kunci mobil sport limited edition keluaran terbaru sudah ada di tangannya.
"Awas kau membongkarnya lagi!!!"
Meskipun mengambil bidang study ekonomi, tapi sesungguhnya hobby Faith adalah di bidang otomotif. Faith sangat hobby membongkar pasang mobilnya. Bukan karena ingin jadi montir, tapi karena ingin mengetahui perkembangan teknologi otomotif. Setelah membongkarnya, Faith akan tahu kelebihan dan kekurangan teknologi yang diadopsi oleh pabrik mobil itu. Lalu Faith akan memodifikasinya, sehingga menjadi lebih canggih daripada keluaran asli pabrikan mobil itu. Faith bercita-cita memiliki sebuah perusahaan otomotif dengan teknologi ciptaannya sendiri.
Itulah kenapa Faith menjadi sangat akrab dengan Philbert, yang dianggapnya sebagai website serba ada. Karena apapun pertanyaan dan rasa penasaran Faith tentang teknologi, Philbert selalu bisa menjawab dan menjelaskannya. Bila mereka sudah bertemu, sudah pasti mereka jadi lupa waktu dan orang lain di sekitar mereka. Meski hanya berdiskusi tentang satu benda yang terlihat biasa bagi orang awam, tetapi sangat menarik bagi mereka berdua.
"Mana Prada?" Mr. Anthony bertanya ketika melihat Debora dan Maureen datang dari arah ruang makan.
"Di dapur, sedang membuat cemilan kesukaanmu. Anak itu selalu memanjakan papanya," Maureen meledek suaminya.
"Like mother like daughter," Mr. Anthony mengedipkan mata kanannya lalu mencium kening istrinya. Mr. Anthony berjalan ke arah dapur untuk menemui Prada.
"Hallo everybody ... I'm coming," seorang gadis memasuki mansion sambil menenteng dua buah paperbag.
"Datang-datang sudah berisik saja, kau bawa hadiah apa untukku?" Faith melirik paperbag yang ada di tangan kiri Love.
"Faith, sopanlah pada kakakmu!" dokter Brian menyusul ke depan ketika mendengar suara Love, cucu kesayangannya. Cucu yang akan meneruskan karirnya nanti.
"Hiiii ... Grand dad, aku merindukanmu," Love mendekat dan memeluk dokter Brian.
"Bagaimana, apakah kau sudah siap menggantikanku?"
"Jangan tanyakan itu lagi Grand Dad, tidak untuk sekarang. Aku mau mencari pengalaman dulu di luar sana."
"Baiklah, tapi ingat ... Grand dad mu ini makin menua," dokter Brian mengingatkan. Sebenarnya dokter Brian sudah sangat ingin pensiun dan menikmati hari tuanya bersama istrinya.
Faith dan Pray yang umurnya sebaya, sejak kecil sering bermain bersama dan menempuh pendidikan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan Love yang enam tahun di atas mereka saat ini sedang bekerja di sebuah rumah sakit swasta ternama di kota itu. Love merasa belum mampu menggantikan posiai dokter Brian untuk mengelola rumah sakit miliknya.