Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Ciuman di Ruang Kosong
Sergio tidak memberikan kesempatan bagi Shannara untuk memprotes. Cengkeramannya di pergelangan tangan Shannara tegas, dan bukannya berbalik menuju pintu keluar, ia menarik Shannara menyusuri koridor yang lain, menuju lorong yang lebih tersembunyi.
Mereka berhenti di depan sebuah ruangan rawat pasien. Sergio mengeluarkan kartu akses dan membuka pintu. Ruangan itu terlihat lebih besar dan sunyi, tetapi jelas kosong. Sergio mendorong Shannara masuk dengan lembut, lalu menutup pintu di belakangnya dengan bunyi 'klik' pelan.
"Kamu ngapain di sini?" Shannara bertanya, setengah berbisik, napasnya tersengal.
Sergio tidak menjawab. Ia maju, mendesak Shannara mundur hingga punggungnya menempel ke dinding dingin ruangan. Sergio menatapnya, matanya gelap dan intens, aura dominasinya memenuhi ruangan yang terasa kecil itu.
"Sudah lama aku nggak lihat kamu sedekat ini, Nara," bisik Sergio, suaranya serak dan dalam, menyapu jarak di antara mereka.
Shannara reflek mendorong dada Sergio, melepaskan diri dari kungkungan fisik dan emosionalnya. Ia melangkah menjauh, berjalan ke arah ranjang rumah sakit yang ada di ruangan itu. Matanya menyapu lingkungan asing itu, mencari alasan logis.
"Kenapa kamu membawaku ke sini? Kita boleh ada di sini?" Shannara bertanya, rasa paniknya mulai diwarnai kejengkelan yang dingin.
Sergio bersandar santai di pintu, memasukkan tangan ke saku hoodie-nya. "Tentu saja. Ruangan ini kosong, dan aku sudah dapat izin khusus untuk menggunakannya."
Shannara terdiam, kejutan itu cepat berganti menjadi pemahaman pahit. Oh, ya. Keluarga Sergio bahkan menjadi salah satu donatur terbesar di rumah sakit ini, bukan? Apa yang tidak bisa dilakukan pria ini? Ia begitu sempurna dari segala sisi, ya kecuali sisi moral.
"Jadi ... kenapa kamu benar-benar datang ke rumah sakit, Sergio?" Shannara bertanya, kembali ke pokok permasalahan.
Sergio tersenyum tipis. "Bukankah tadi sudah kuberitahu? Aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja."
Shannara menatapnya, rasa tak percaya menggelayut di matanya. "Hanya itu? Aku baik-baik saja."
"Benarkah?" Sergio menyipitkan mata, nadanya berubah mengolok. "Atau kamu baik-baik saja karena Dilan ada di sampingmu sepanjang malam?"
Shannara terkejut. "Kenapa jadi Dilan?"
Ia buru-buru mengalihkan pembicaraan, menghindari perangkap emosi yang Sergio pasang. "Makasih. Aku mau bilang makasih karena kamu sudah membantu mengurus masalah adikku sampai memanggil pengacara. Aku tahu pak Rendra sangat terkenal. Pasti beliau sangat sibuk, dan mungkin kalau bisa menolak, dia akan menolak perintah mengurus kasus 'ecek-ecek' seperti kasus adikku."
Sergio maju dua langkah, mereduksi jarak. "Terima kasih? Hanya itu balasan yang kuterima, Nara?"
Shannara kaget. Sergio meminta balasan? Apa yang bisa ia berikan? "Tentu saja! Aku akan ganti semua biayanya. Aku minta rincian tagihan pengacara. Berikan bill yang harus kubayar."
Sergio terus mendekat. Shannara reflek mundur, langkahnya terhenti karena punggungnya mentok ke ranjang rumah sakit.
"Sergio, kenapa kamu dekat-dekat terus sih? bicara saja dari sana." Shannara bertanya gugup, menunjuk sudut ruangan yang jauh.
Sergio tersenyum mematikan. "Kenapa kamu menghindari terus sih, Nara? Sikapmu saat bersama Dilan tidak seperti ini."
Shannara tertawa pahit, mencoba menutupi kegugupannya dengan sarkasme. "Lho, kamu kan suami orang? Lagipula, Dilan tidak pernah mendesakku ke ranjang rumah sakit seperti ini."
Sergio mengabaikan sindirannya. Tatapannya tegas. "Aku tidak menginginkan uangmu, Shannara."
"Lalu apa?" Shannara bertanya, menahan napas.
Sergio tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengangkat tangannya dan menyentuh bibirnya sendiri, ibu jarinya mengusap pelan bibir bawahnya, sebuah isyarat yang begitu vulgar dan jelas. Imbalannya adalah ciuman.
Shannara cengo. "Hah?"
"Sini," goda Sergio, suaranya pelan dan mengancam. "Cium aku. Sebagai bayaran."
"Wah, gila! Apa-apaan ini?!" Shannara langsung mengomel, wajahnya memerah. "Aku mau pergi! Ini pelecehan!" Ia berusaha membalikkan badan, tetapi Sergio dengan kuat menahan lengannya.
Tarikan itu terlalu kuat. Shannara kehilangan keseimbangan, ia jatuh ke kasur. Sergio ikut oleng dan mendarat di atas tubuh Shannara.
Kedua mata mereka bertemu dalam jarak yang sangat dekat. Nafas Sergio menerpa wajah Shannara. Sepersekian detik, kenangan lama dan gairah terlarang memenuhi udara.
Shannara memalingkan wajahnya, kegugupan mencengkeramnya. "Tolong, jangan kayak gini!" suaranya bergetar. "Minggir, aku mau bangun!"
Sergio tidak bergerak. Ia menopang tubuhnya dengan kedua lengan, mengunci pandangan Shannara. "Aku belum mendapat imbalan yang kumau, Nara. Padahal aku sudah melakukan banyak hal malam ini."
Shannara mendengus kesal. Ia merasa dipermainkan dan direndahkan.
Tiba-tiba, Sergio menggerakkan tangannya ke perut Shannara, merabanya pelan di balik bajunya.
Shannara kaget setengah mati, sekaligus geli. "Astaga! Kamu lagi ngapain, hah?! Ini pelecehan! Jangan sentuh sembarangan!"
Sergio tertawa kecil, melihat reaksi panik Shannara. Ia mencondongkan kepalanya sedikit. "Aku hanya memastikan," godanya, sambil melanjutkan sentuhan ringannya di perut Shannara. "Apa di sini sudah tumbuh ... anakku?"
Mata Shannara melotot. Wajahnya yang sudah merah kini memucat karena amarah dan kejutan.
"Nggak ada! Aku nggak hamil!" Shannara mendorong bahu Sergio. "Itu nggak berhasil membuahi! Aku nggak hamil! Kamu dengar?! Aku nggak hamil!" Ia menegaskan dengan keras, emosinya meledak.
Sergio sengaja mempermainkannya. "Kok kamu panik banget, Nara? Jangan-jangan memang sudah isi."
Shannara mendorong tubuh Sergio dari atas badannya dengan sekuat tenaga. "MINGGIR!" Ia bangkit duduk, membelakangi Sergio, napasnya tersengal.
"Aku nggak hamil! Kamu bisa tenang! Aku nggak akan hamil anakmu!" Shannara berbalik cepat, matanya menantang Sergio. "Mending kamu buat istrimu hamil aja sana! Itu yang harus kamu lakukan!"
Sergio hanya tertawa kecil, menikmati tontonan itu. "Kenapa nada bicaramu seperti orang cemburu, Nara?"
"Cemburu?! Mana mungkin!" Shannara membantah keras. Ia kembali membelakangi Sergio, berdiri di sisi kasur. "Dengan cara kamu begini, kamu tuh selingkuh!" Ia mulai mengomel tak terkontrol, melampiaskan semua kekesalannya. "Cowok selingkuh itu menjijikan! Kamu mempermainkan istrimu dan aku! Cowok brengsek!"
Shannara terdiam ketika merasakan kehangatan di punggungnya. Ia belum sadar, Sergio sudah berdiri tepat di belakangnya.
Shannara terus mengoceh, "Aku nggak sudi jadi selingkuhan! Kamu—"
Sergio tidak memberinya kesempatan lagi. Ia memutar tubuh Shannara dengan cepat, tangan kirinya menangkup pipinya, dan bibirnya segera mencium wanita itu dengan kuat. Sergio tidak tahan melihat perpaduan emosi dan keimutan Shannara yang marah-marah; itu terlalu memancing. Ciuman itu dalam, menuntut, dan penuh dominasi, sebuah penegasan nyata atas kepemilikannya.