NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:238
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 24

Nama “Yunho” muncul di layar ponsel, diikuti emoji api dan tanda seru bertubi-tubi. Ia mengangkatnya setelah satu helaan napas panjang.

“Ya, Yunho.”

Suara bising lantas terdengar dari seberang, jelas sekali mereka sudah di rooftop.

“APA?!” jeritan Yunho benar-benar gak tahu malu. “Bossman gak dateng?! Serius?!”

“Udah, tenang,” Darren menenangkan, klarifikasi yang datang belakangan. “Aku ada urusan penting.”

“Urusan penting my ass!” tukas Yunho, diikuti suara Bima yang tertawa jaim. “Langit udah ngeluarin duit buat nyewa tempat, terus lo malah—”

“Pacaran,” timpal Arven dengan santainya dari belakang, suaranya jelas terdengar di speaker.

“HAH?! SERIUSAN?!” Sudah jelas Yunho semakin meledak-ledak. “Kan Viena juga bisa ikut nongkrong bareng di rooftop!”

“Alah… ,” Bima menimpali. “Maklumlah. Yang punya pacar pasti butuh malam minggu.”

Suara tawa meledak dari seberang sambungan. Darren mendengus sambil menekan batang hidungnya. “Kalian tuh… .”

“Udah, gak usah klarifikasi,” tambah Arven sebelum menutup panggilan. “Selamat malam mingguan ya, bro!”

Suara Yunho masih bergema di kepala Darren bahkan setelah sambungan ditutup. Pemuda itu menatap layar ponsel yang kini gelap, lalu mengembuskan napas pelan. Lagi.

Viena yang berdiri di dapur menatapnya dengan alis setengah diangkat. “Siapa?” Gadis itu telah siap dengan apron dan sarung tangan plastik.

“Anak-anak,” Darren menjawab datar sambil mengambil wajan. “Katanya malam mingguan tanpa kita bakalan gak seru.”

“Tuh kan, mereka cuma mau kita ikut nongkrong bareng. Katanya tadi udah kamu kabarin,” sahut Viena yang lanjut mencuci tomat. Suaranya sedikit meninggi, mungkin karena merasa bersalah juga. “Harusnya aku maksa kamu ke rooftop aja tadi.”

“Terus kabur lagi kayak pas kita di resto seafood?” Darren menimpali tenang, menyalakan kompor. Api biru menyala, terbias di matanya.

Sontak Viena melotot, memegangi tomat. Harap-harap dapat menghancurkan satu tomat itu sebagai wujud kekesalannya pada pemuda itu. “Aku gak bakal kabur!”

“Tadi katanya refleks.”

“Darren.”

Alarm nan mengancam yang keluar dari mulutnya itu malah bikin pemuda itu terkekeh. “Udah lah. Lagian mereka juga bakal lebih bebas kalau kita gak ada. Kamu tahu sendiri Yunho kalo udah ketemu Arven itu kayak petasan yang meledak dua kali.”

Viena memutar bola matanya, mengambil tisu untuk mengeringkan tangan. “Terus kita sekarang mau ngapain di sini?”

“Makan.”

“Masak maksudnya?” Geramnya gadis itu.

“Intinya makan. Barusan perutmu udah nangis minta makan.”

“Darren!”

Dapur nyatanya jadi lebih hidup malam itu. Aroma bawang putih tumis bercampur obrolan mereka yang terus mengalir. Adapun sejuk suara hujan menemani dari luar jendela, menandai betapa tenangnya lingkungan sekitar.

Darren sedang memegang sebungkus pasta kering ketika Viena menoleh.

“Eh, tunggu, kamu ngapain?”

“Masukin ke panci,” jawabnya enteng.

“Tapi itu panjang banget, gak bakal muat!”

“Ya dipatahkin dikit biar muat.”

Suara krek terdengar. Darren mematahkan dua ikat spaghetti sekaligus.

Viena langsung bersungut-sungut. “Ya Tuhan! Jangan dipatahkin gitu! Orang Italia bisa ngamuk kalau liat! Gaakan di-approve!”

“Approve? Orang Italia gak bakal tahu.”

“Aku tahu, dan aku sakit hati!” serunya sambil menepuk meja. “Gak boleh gitu caranya, nanti teksturnya beda!”

“Lah, kamu orang Italia?” Darren menaikkan alis. “Atau cuma fans berat pasta?”

“Aku orang Jawa, tapi punya prinsip. Teksturnya rusak Mas Darren… .”

“Prinsip soal mi panjang.”

“Pasta!” Viena mengoreksi cepat, lalu menatap tajam. “Kamu sengaja bikin aku kesal ya?”

Darren tersenyum sadis, menaruh pasta yang sudah patah ke air mendidih. “Soalnya ekspresi kamu lucu waktu marah.”

Wajah Viena langsung memanas. “Kamu tuh—”

Belum sempat ia lanjut, saus tomat di tangannya malah tumpah setengah sendok besar ke lantai. Tremor tangannya karena gak bisa fokus.

“Ya Tuhan,” gumam Darren menahan tawa. “Yang ini bukan salahku loh.”

“Diem! Aku udah kesel duluan!” Viena buru-buru mengambil tisu, menunduk, membersihkan lantai dengan wajah merah padam. “Gara-gara kamu, tanganku jadi gemetar.”

“Gemetar karena aku? Wah, berarti efekku lumayan juga. Kalau kamu suka aku tinggal bilang aja.”

Viena memandangnya tajam sambil berkacak pinggang. “Kalau kamu gak bantu, aku lempar wajan.”

Darren mengangkat tangan menyerah. “Alright, Alright... Aku bantu. Tapi cuma bagian yang mudah aja, aku takut kamu beneran lempar kalau aku salah.”

Beberapa menit berikutnya diisi dengan tumpukan piring, air mendidih yang nyaris meluber keluar, dan adu argumen tentang seberapa lama pasta harus direbus. Viena cerewet parah malam itu, sementara Darren tampak makin menikmati setiap detik kekacauan itu.

Setelah dua puluh menit, aroma pasta, saus tomat, krim keju dan bawang putih menguar ke seluruh ruangan. Viena mencicipi sausnya sedikit dengan sendok kayu.

“Hmm… gak buruk-buruk amat.”

Darren menatap penuh kemenangan. “Tuh kan. Kataku juga, aku punya potensi.”

“Potensi bikin dapur berantakan?”

“Potensi jadi chef kalau kamu yang mandorin.”

“Chef apaan, orang tadi aja sausnya hampir gosong.”

“Biar dramatis.” Darren mengambil dua piring, menaruh pasta di atasnya. “Masakan bagus tuh selalu lahir dari sedikit kekacauan.”

“Kayak hubungan orang, ya?”

Ucapan itu lolos begitu saja dari bibir Viena, dan baru setelahnya ia sadar. Napasnya mandek. Entah berapa kali dia terkilir lidah.

“Mungkin.” Darren berhenti. Sekilas ia menatapnya. “Tapi setidaknya sausnya masih selamat.”

Beruntung, ekspresi polos Darren barusan menandakan pemuda itu tidak mendengarkan dengan baik ucapan Viena barusan. Asal mangap aja.

Viena menghapus keringat di keningnya dengan punggung tangan. “Yah.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!