Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Kesaksian Bidan yang Terbuang
Itu adalah bidan yang dibuang oleh keluarga kita, Aris, dia datang untuk menagih kesaksian yang tertunda. Aris Mardian merasakan air sumur yang mendadak meluap itu menyentuh ujung sepatunya dengan suhu yang sangat dingin, hampir seperti es yang mencair. Di atas permukaan air yang hitam pekat, sosok wanita dengan seragam bidan tahun delapan puluhan itu berdiri tanpa riak, wajahnya tertutup oleh tudung kain kasa yang basah.
"Siapa sebenarnya wanita ini, Sekar? Mengapa dia menatapmu seolah ingin menguliti seluruh rahasiamu?" tanya Aris sambil menarik Sekar menjauh dari bibir sumur.
"Dia adalah Nyi Sari, bidan yang menolong kelahiran kita berdua, namun dia difitnah telah menumbalkan puluhan bayi di desa ini," bisik Sekar dengan bibir yang membiru.
Nyi Sari perlahan-lahan mengangkat tangannya, jemarinya yang pucat dan berkeriput memegang sebuah botol kaca berisi cairan keruh yang berdenyut. Di dalam botol itu, tampak potongan tali pusat yang masih segar, melilit sebuah jarum perak kecil yang terus bergerak mencari arah.
Aris menyadari bahwa botol itu adalah sebuah kompas nyawa, sebuah benda terkutuk yang digunakan untuk melacak sisa keturunan yang belum terjahit.
"Kebenaran tidak bisa terkubur selamanya di dasar sumur yang pengap ini, cucu para penguasa tanah!" suara Nyi Sari menggema, berat dan parau.
"Kami tidak tahu apa-apa tentang fitnah masa lalu itu, lepaskan kami dari ruang bawah tanah ini!" teriak Aris sambil mengangkat linggisnya dengan waspada.
Bidan itu tidak bergeming, justru air sumur di bawah kakinya mulai membentuk pusaran yang menarik sisa-sisa tengkorak dari dinding ruangan. Aris melihat struktur ruangan itu mulai goyah, retakan-retakan muncul pada langit-langit kayu yang menjadi fondasi rumah di atas mereka.
Sebagai seorang perancang bangunan, Aris tahu bahwa jika tekanan air ini terus meningkat, seluruh bangunan akan runtuh dan mengubur mereka hidup-hidup.
"Sekar, gunakan aroma melati yang kamu bawa! Bukankah itu bisa menenangkan arwah yang sedang menuntut balas?" perintah Aris di tengah gemuruh air.
"Aroma melati itu hanya untuk arwah penasaran biasa, Aris, bukan untuk bidan yang sudah meminum sumpah darah!" sahut Sekar sambil merogoh tasnya dengan panik.
Sekar mengeluarkan sebuah botol keramik kecil, menyiramkan isinya ke arah pusaran air yang mulai mendekati kaki mereka. Cairan itu seketika berubah menjadi asap putih yang harum, namun saat menyentuh Nyi Sari, arwah itu justru menjerit kesakitan dan wajahnya mulai mengelupas.
Di balik tudung kain kasa itu, Aris melihat wajah yang tidak lagi utuh, melainkan dipenuhi oleh bekas jahitan kasar yang menyatukan kulit manusia dengan kulit binatang.
"Kalian pikir harum melati bisa menghapus bau busuk dari dosa yang dilakukan orang tua kalian di meja persalinan?" raung Nyi Sari sambil menerjang maju.
"Sekar, tundukkan kepalamu! Dia mengincar lehermu dengan jarum perak itu!" jerit Aris sambil mendorong tubuh Sekar ke samping.
Aris menghantamkan linggisnya ke arah bayangan Nyi Sari, namun logam itu hanya menembus udara kosong dan menghantam dinding batu hingga memercikkan api. Nyi Sari menghilang dan muncul kembali tepat di belakang Aris, jemarinya yang dingin mulai merayap di tengkuk Aris, mencari celah di balik jahitan denah desa.
Aris merasakan seluruh tubuhnya mendadak kaku, otot-ototnya terkunci oleh hawa murni dari alam gaib yang disalurkan melalui sentuhan bidan tersebut.
"Lihatlah kesaksian ini melalui mataku, agar kamu tahu betapa perihnya setiap tusukan yang aku terima!" bisik Nyi Sari tepat di telinga Aris.
Seketika, pandangan Aris berubah menjadi sebuah kilas balik yang sangat nyata, ia berada di sebuah kamar persalinan yang gelap dan lembap. Ia melihat ayah Aris dan kakek Sekar sedang berdiri di pojok ruangan, memegang sebuah gulungan kain mori hitam yang berdenyut liar.
Nyi Sari yang masih muda sedang menangis di atas lantai, sementara kedua pria itu menjahit paksa mulut sang bidan menggunakan benang rambut agar ia tidak bisa membocorkan rahasia tumbal agung.
"Cukup! Hentikan semua ini! Aku tidak mau melihatnya lagi!" teriak Aris sambil meronta-ronta di dalam cengkeraman arwah tersebut.
"Kenapa? Apakah kebenaran ini terlalu tajam untuk telingamu yang suci itu, perancang muda?" ejek Nyi Sari dengan tawa yang menyayat hati.
Sekar Wangi bangkit berdiri, ia melihat Aris sedang berada dalam kondisi kritis, matanya memutih dan tubuhnya bergetar hebat karena penglihatan tersebut. Ia menyadari bahwa ia harus memberikan sesuatu yang setimpal dengan kesaksian yang diberikan oleh sang bidan untuk mengakhiri kemarahan ini.
Sekar mengambil sebilah pisau bedah, lalu mengiris telapak tangannya sendiri, membiarkan darah sucinya menetes ke dalam air sumur yang meluap.
"Aku berjanji akan mengembalikan nama baikmu, Nyi Sari! Ambillah darahku sebagai saksi atas sumpah ini!" teriak Sekar dengan penuh keyakinan.
Tetesan darah Sekar bereaksi dengan air sumur, menciptakan cahaya merah redup yang perlahan-lahan meredakan gejolak pusaran air tersebut. Cengkeraman Nyi Sari pada leher Aris mengendur, dan arwah itu menatap Sekar dengan pandangan yang sangat dalam, seolah sedang menakar ketulusan janji tersebut.
Nyi Sari perlahan-lahan kembali ke dalam sumur, namun sebelum menghilang sepenuhnya, ia memberikan botol berisi tali pusat itu kepada Sekar.
"Gunakan ini untuk menemukan sumur tua yang sebenarnya, karena sumur ini hanyalah gerbang bayangan yang menipu kalian," ucap Nyi Sari sebelum lenyap ditelan kegelapan air.
Aris jatuh tersungkur, napasnya tersengal-sengal saat kesadarannya kembali sepenuhnya ke dalam tubuhnya yang terasa sangat remuk. Ia melihat Sekar sedang membalut luka di tangannya menggunakan sobekan kain, wajahnya tampak jauh lebih dewasa dan penuh tekad daripada sebelumnya.
Aris menyadari bahwa musuh mereka bukan hanya arwah-arwah penasaran, melainkan sejarah kelam yang sengaja disembunyikan oleh leluhur mereka sendiri.
"Kamu baik-baik saja, Aris? Maafkan aku karena harus melakukan cara yang sangat nekat tadi," tanya Sekar sambil membantu Aris duduk tegak.
"Aku baik, tapi rahasia yang aku lihat tadi... orang tua kita benar-benar telah melakukan hal yang sangat keji terhadap bidan itu," jawab Aris dengan suara yang sangat berat.
Aris berdiri, ia melihat denah di lengannya kini berubah warna menjadi biru laut, mengikuti aroma melati yang masih tersisa di udara ruangan. Ia menyadari bahwa langkah mereka selanjutnya akan membawa mereka ke tempat yang paling dihindari oleh seluruh warga Desa Sukomati.
Di kejauhan, melalui lubang sumur, terdengar suara melati penangkis sihir yang mulai dinyanyikan oleh warga desa yang sedang berpatroli mencari keberadaan mereka.
"Kita harus segera keluar dari sini, Sekar, aroma melati itu adalah tanda bahwa mereka akan membakar tempat ini untuk membasmi kita," ucap Aris sambil melihat ke atas.
"Tapi ke mana kita harus pergi? Hutan ini sudah dikepung oleh orang-orang suruhan pak kades!" tanya Sekar dengan penuh kekhawatiran.
Aris menatap botol pemberian Nyi Sari, ia melihat jarum di dalamnya berputar liar lalu berhenti menunjuk ke arah sebuah lubang pembuangan di dasar sumur. Ia menyadari bahwa jalan keluar satu-satunya adalah masuk lebih dalam ke jantung desa melalui saluran air yang dipenuhi oleh ribuan melati beracun.
Namun, saat ia melangkah menuju lubang itu, sebuah tangan besar dengan bau melati yang sangat tajam mendadak membekap mulut Aris dari belakang.