Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:
Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.
Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.
Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.
Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.
Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.
Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.
Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam
Aira menjemput Aksa. Berbeda dari biasanya, Aksa berdiri seperti orang normal dan tidak bersikap dingin—justru Aira yang dingin.
"Hai, Aira," sapa Aksa.
Aira tidak menjawab. Aksa langsung menggenggam tangan Aira.
"Kita mau ke mana, Ai?" tanya Aksa pelan.
"Ikut aja."
Sampai di parkiran motor Aksa, Aksa tersenyum lalu mengambil helm.
"Gue pakein, ya," ucapnya sembari memasangkan helm ke kepala Aira.
Aira hanya diam, wajahnya datar.
‘Bayangan gue ada di tubuh Aira. Tapi raga gue… segininya peduli sama dia,’ batin Aksa yang kini berada dalam bayangan Aira.
"Gue yang bawa," ujar Aira pendek.
"Lo bisa bawa motor kopling?" Aksa ragu.
"Bisa."
Aira menaikkan standar motor dan langsung membawa motor milik Aksa. Walaupun tampak Aira yang mengendalikan, sebenarnya bayangan Aksa yang menggerakkan tubuh Aira.
Sebelum berangkat, bayangan Aksa melacak keberadaan Gina dan Rosa.
Dengan kecepatan tinggi, Aira melaju. Tak butuh waktu lama untuk sampai di sebuah kafe.
Di parkiran, terparkir mobil milik Gina. Aira dan Aksa turun.
"Lo ngebut banget, Ai. Jago juga lo," ujar Aksa terpana.
"Ayo masuk," balas Aira, malas berdebat.
Aira melihat Gina dan Rosa. Tanpa ragu ia menghampiri mereka.
"Berani juga lo nyamperin kita," sindir Gina.
Tatapan Aira tajam—berbeda jauh dari Aira yang dulu penakut. Kini wajahnya menunjukkan keberanian yang membuat suasana berubah.
"Gue tunggu di luar. Kalau lo nggak datang… berarti pengecut." Aira langsung pergi ke luar kafe.
Ia menghentakkan kakinya ke tanah. Beberapa detik kemudian, Galih muncul membawa sebuah kotak kardus.
"Pergi," perintah Aira dingin. Galih pun berlalu.
Aksa melihat tingkah Aira aneh. Ia tidak tahu bahwa bayangannya sedang berada di tubuh Aira.
"Sebenarnya dia mau ngapain sih?" bisik Rosa gelisah.
"Gue juga nggak tau. Tapi ditantang cewek cupu kayak dia? Siapa takut," jawab Gina dengan percaya diri berlebih.
Mereka berjalan keluar. Dari kejauhan, Aira duduk di atas jok motor di bawah pohon rindang. Ia memberi isyarat kepada raga Aksa agar bersembunyi, karena tanpa bayangan, Aksa tidak punya kekuatan.
Aira menyerahkan kotak kardus pada Gina.
"Dari Aksa. Buat kalian."
Gina langsung berseri-seri.
"OMG… gue nggak nyangka Aksa mulai perhatian sama gue!" katanya penuh ilusi.
"Air, lo tau ini isinya apa?" tanya Rosa.
Aira hanya menggeleng. "Itu spesial. Buka aja."
Tanpa sabar, Gina merobek kardus itu.
Begitu terbuka—dua ekor ular sedang melompat keluar.
Gina menjerit, kotak itu terlepas, kakinya tersandung, tubuhnya jatuh ke lantai. Salah satu ular jatuh tepat di wajahnya dan mematuk jidat Gina. Gina langsung pingsan.
Rosa mundur ketakutan.
"Lo keterlaluan, Aira!" pekiknya.
Aira memungut salah satu ular itu dan memegangnya santai, seperti memegang teman sendiri.
"Mau juga?" tanyanya dingin sambil mengangkat ular ke arah Rosa.
Rosa pucat dan akhirnya kabur, meninggalkan Gina yang tergeletak tak berdaya di lantai.
Aira melepaskan ular itu, dan ular tersebut segera melata menjauh ke semak-semak.
Tak lama kemudian, Aksa keluar dari persembunyiannya. Ia menatap Aira dengan wajah bingung—tingkah Aira barusan sangat tidak masuk akal untuk ukuran Aira yang ia kenal.
Bayangan Aksa yang tadi menguasai tubuh Aira tiba-tiba keluar dari tubuh Aira, lalu dengan cepat kembali masuk ke raga asli Aksa. Tubuh Aksa sedikit tersentak saat bayangan itu kembali.
Kini justru Aira yang kebingungan. Ia melihat Gina tergeletak pingsan dengan luka memerah di jidatnya.
"A-Aksa… ini Gina kenapa? Jidatnya kok sampai luka berdarah?" tanya Aira panik. Padahal semua kejadian barusan dilakukan oleh tubuhnya sendiri—hanya saja ia tak sadar karena bayangan Aksa yang mengendalikan.
Aksa menatap Gina sebentar lalu mengangkat bahu.
"Kena karma," jawabnya singkat.
"Karma gimana? Gue nggak ngerti," Aira semakin heran.
"Gina dipatok ular. Pas kardusnya kebuka."
"Hah? Kok bisa?" Aira benar-benar tidak paham apa yang terjadi.
Aksa menepuk bahu Aira pelan.
"Ayo pulang. Anggep aja itu balasan dari apa yang dia lakuin sama lo di rumah tua yang isinya ular itu."
Aira terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil.
"Bagus deh. Berarti hukum karma beneran ada," ujarnya sambil menatap Aksa.
Rosa akhirnya kembali setelah memastikan Aira dan Aksa benar-benar pergi. Nafasnya masih tersengal karena tadi kabur ketakutan. Begitu melihat Gina masih tergeletak tak sadar dengan darah yang mengalir tipis di jidat, Rosa langsung panik.
"Gina! Ya ampun… bangun, Gin!" Rosa mengguncang bahu Gina, namun Gina tetap tak bergerak.
Dengan gemetar, Rosa mengeluarkan ponsel dan meminta bantuan. Beberapa menit kemudian, seorang karyawan kafe dan satpam datang membantu mengangkat Gina.
"Dia dipatok ular, Mbak?" tanya salah satu dari mereka terkejut melihat bekas luka di jidat Gina.
"I-iya… tolong bawa dia ke rumah sakit. Cepat!" pinta Rosa.
Mereka mengangkat Gina ke dalam mobil karyawan kafe. Rosa ikut masuk, duduk sambil menggenggam tangan Gina yang dingin.
"Lo sabar ya, Gin… gue nggak ninggalin lo," ucap Rosa suara bergetar, rasa bersalah memenuhi dadanya karena tadi ia kabur duluan.
Mobil itu melaju menuju rumah sakit, meninggalkan kafe dan kejadian yang bakal mengubah segalanya di antara mereka bertiga.
Beberapa jam setelah dibawa ke rumah sakit, Gina akhirnya sadar. Kelopak matanya bergerak pelan, lalu terbuka. Pandangannya masih buram, tapi rasa perih di jidat langsung membawanya kembali pada trauma beberapa jam lalu.
Rosa yang duduk di sampingnya langsung berdiri.
"Gin? Gina! Lo sadar juga…"
Gina mengerutkan dahi, memegang jidatnya yang dibalut perban.
"A-aduuuh… ini kenapa…?"
Saat itu juga, potongan kejadian muncul di pikirannya—kardus… ular… Aira… tatapan dingin Aira… rasa sakit saat ular mematuk jidatnya.
Detik itu pula ekspresi Gina berubah total. Pandangannya yang awalnya lemah berubah menjadi gelap dan dipenuhi amarah.
"Semua… gara-gara Aira," desis Gina. Suaranya rendah tapi penuh kebencian.
Rosa menggigit bibir. "Gin, gue juga kaget… tapi—"
"Gue nggak mau denger!" bentak Gina. Ia memaksa duduk meski kepalanya masih berputar.
"Cewek itu… berani-beraninya ngejatohin harga diri gue! Dia kasih gue kardus isi ular? Dia pikir gue siapa, hah?"
"Gin, lo harus istirahat dulu—"
"Kagak!" Gina memukul tempat tidur, membuat Rosa terdiam.
"Gue bakal bales. Gue bakal bikin hidup Aira jauh lebih menderita daripada gue. Dia bakal nyesel seumur hidup bikin gue malu kayak gitu."
Rosa menelan ludah, merasakan hawa dingin dari aura kebencian Gina.
"Gin… lo yakin mau—"
"Aku akan pastikan," potong Gina dengan suara dingin, "Aira nggak bakal bisa hidup tenang mulai hari ini."
Tatapan Gina mengeras, penuh dendam.
Satu hal yang jelas:
Kejadian ini bukan akhir. Ini baru permulaan dari kebencian Gina yang semakin dalam.
Rosa menahan tangan Gina yang hendak bangkit dari tempat tidur.
"Gin… lo denger gue dulu. Lo harus istirahat total. Dokter bilang patokan ular itu bahaya. Lo masih beruntung bisa sadar secepat ini."
Gina menghela napas berat, tapi wajahnya masih dipenuhi amarah.
"Beruntung apaan? Liat jidat gue, Ros! Gue mau—"
Belum sempat Gina melanjutkan, pintu kamar terbuka. Seorang dokter masuk sambil memeriksa catatan di clipboard.
"Syukurlah kamu sudah sadar," ujar sang dokter sambil mendekat. "Tapi kamu perlu istirahat ekstra. Jangan banyak bergerak dulu."
Gina menatap dokter dengan bingung. "Memangnya kenapa, Dok?"
Dokter menyandarkan stetoskopnya.
"Efek racun ular belum sepenuhnya hilang dari tubuhmu. Kalau kamu memaksakan diri, tubuhmu bisa cepat lelah, dan dalam beberapa kasus… bisa berisiko fatal."
Gina dan Rosa sama-sama terdiam.
"Pasien yang terlambat ditangani biasanya bisa koma berminggu-minggu," lanjut dokter. "Kamu sadar cepat, itu sudah sangat baik. Jadi tolong… tenang dulu. Bersyukur. Jangan gegabah mengambil tindakan yang bisa membahayakan diri sendiri."
Rosa memegang tangan Gina lebih erat.
"Dengar, Gin? Lo harus tenang dulu. Bukan waktunya marah-marah."
Gina mengalihkan pandangannya. Napasnya naik turun, sisa amarah masih jelas terlihat. Namun kata-kata dokter terdengar menakutkan—fatal… koma berminggu-minggu… racun belum hilang…
Untuk pertama kalinya sejak ia bangun, Gina menelan ludah.
Ia tahu tubuhnya lemah.
Dan ia tidak mau mempertaruhkan nyawanya.
"…Oke," gumam Gina akhirnya, menunduk. "Gue ngerti. Gue diem dulu hari ini."
Rosa menghela napas lega.
Walau begitu, ia tahu satu hal:
Kemarahannya mereda untuk sementara.
Tapi dendam Gina…
justru makin mendidih.