Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengintaian di mulai
Hutan kecil di pinggir jalan tampak sepi, tapi Fandi, Kei, Alfin, dan empat pasukan elit sudah menempati posisi masing-masing. Mereka tidak bergerak sembarangan. Semua dengan formasi.
Kei berjongkok, menatap tanah dengan senter kecil spektra biru.
Kei: “Bekas ban masih baru. Mereka balik lagi ke sini. Kemungkinan cari sisa jejak.”
Alfin melirik ke sekitar.
Alfin: “Atau cari tahu apakah Epi masih hidup.”
Kei mendongak.
Kei: “Mereka panik. Itu jelas.”
Fandi berdiri diam tanpa bicara, hanya menatap titik tempat Hans dulu tergeletak. Pasukan di belakangnya tak berani bersuara.
Pasukan 1: “Tuan… kami menemukan residu mesiu di semak barat. Tingginya sekitar 170-an. Penembak berdiri.”
Fandi akhirnya bicara, suara rendah, dingin.
Fandi: “Itu tinggi Mahawira.”
Kei bersiul pelan.
Kei: “Yah… cocok banget. Dia memang tipe yang nembak dari jarak dekat kayak psikopat.”
Fandi berlutut, menyentuh tanah.
Fandi: “Lihat ini.”
Alfin mendekat.
Alfin: “Bekas rem?”
Fandi: “Tidak. Bekas putar balik terburu-buru. Mereka keluar cepat setelah tahu ada saksi.”
Kei: “Dan saksi itu si gadis malang yang lagi ketakutan di kamar lo.”
Fandi tidak menanggapi, hanya berdiri dan menatap ke arah gelap jalan.
Fandi: “Tim dua, laporan.”
Suara dari earphone masuk cepat.
Tim 2: “Ada dua mobil hitam tanpa plat numpang parkir dekat bengkel tua. Mereka mengawasi dari jauh. Kami pastikan itu anak buah Vincent atau Mahawira, tuan.”
Kei langsung mendecak.
Kei: “Mereka beneran desperate.”
Fandi: “Kita ikuti. Tapi dari jauh. Jangan ganggu dulu.”
Dua mobil hitam musuh keluar dari lokasi itu.
Fandi dan timnya ikut, menjaga jarak aman. Mobil mereka nyaris tak terdengar.
Alfin (berbisik): “Mereka menuju barat. Itu arah ke markas Vincent.”
Kei: “Dan kemungkinan pasukannya yang mati semua udah bikin dia gila.”
Fandi: “Diam. Fokus.”
Mobil mereka masuk ke jalur kecil tak berlampu. Pasukan di mobil kedua memberikan laporan:
Pasukan 2: “Tuan… mobil target berhenti di gudang tua. Ada beberapa orang bersenjata jaga depan.”
Kei memandang ke kaca depan.
Kei: “Gudang itu… tempat Vincent biasa transaksi.”
Fandi: “Bagus. Kita tunggu mereka keluar. Rekam semua. Aku mau tahu siapa yang hadir.”
Mereka tidak masuk terlalu dekat, hanya memantau dari bukit kecil.
Empat pasukan Dirgantara membentangkan perangkat intai—kamera termal, periskop mikro, dan alat pendengar jarak jauh.
Pasukan 1: “Tuan… suara percakapan tertangkap.”
Alfin: “Naikin volume.”
Suara pecah-pecah terdengar… lalu semakin jelas.
Suara Vincent terdengar marah, membentak.
Vincent: “GUE BILANG CARI ITU ANAK CEWE! SAKSI SATU-SATUNYA! KALAU DIRGANTARA DULUAN, MATI SEMUA KITA!”
Suara Mahawira membalas, lebih kasar.
Mahawira: “Lo pikir gue nggak nyari?! Pasukan gue habis! Dirgantara itu iblis! Lo tau sendiri!”
Kei tertawa kecil sarkastik.
Kei: “Lihat tuh, bangga amat nyebut bosku iblis.”
Fandi tidak tersenyum.
Ia malah menatap layar dengan tatapan semakin dingin.
Fandi: “Teruskan.”
Suara dari dalam gudang semakin kacau.
Ada suara Santara, Rendra, Brahmana—semua saling menyalahkan.
Santara: “Kalau cewek itu ngomong ke Fandi… tamat kita!”
Rendra: “Gara-gara lo, Wira! Lo gagal nembak dia!”
Mahawira: “Dia ketabrak! Harusnya mati! Salah sendiri nggak cek lagi!”
Vincent: “Udah! Semua diem!! Kita harus habisin dia sebelum Fandi gerak. Kalau perlu culik dia dari rumah Dirgantara!”
Saat kata itu keluar, Fandi berdiri.
Kei: “Heh, wajah lo berubah. Lo marah?”
Fandi: “Ya.”
Alfin: “Bagus. Karena mereka makin ngawur.”
Fandi menatap ke bawah, ke arah markas musuh.
Dingin. Tenang. Tapi mematikan.
Fandi: “Tim empat, siagakan drone. Rekam wajah semua orang di dalam. Catat siapa membawa senjata, siapa yang paling vokal.”
Pasukan: “Baik, tuan.”
Fandi: “Kei, Alfin.”
Kei: “Hm?”
Fandi: “Setelah ini… kita buat daftar siapa yang mati duluan.”
Kei dan Alfin saling senyum tipis—senyum para pemburu.
Mobil musuh keluar satu per satu.
Alfin: “Lo mau kita ikuti lagi?”
Fandi: “Tidak. Kita sudah cukup.”
Kei melirik.
Kei: “Trus langkah berikutnya?”
Fandi berjalan menuju mobilnya.
Fandi: “Aku pulang dulu. Tanya Epi lagi. Ada yang masih dia sembunyikan.”
Kei: “Dan Vincent?”
Fandi: “Biar dia tenang dulu. Orang panik membuat kesalahan besar.”
Ia masuk mobil.
Fandi: “Kita akan manfaatkan itu.”
Mobil-mobil elit Dirgantara bergerak keluar dari lokasi, senyap… tapi membawa keputusan berbahaya:
Pemburuan resmi dimulai.