Kisah menakjubkan tentang perpindahan Jiwa seorang Ratu Mafia ke dalam Tubuh seorang Gadis Cupu yang diabaikan dan direndahkan oleh keluarganya.
Gadis Cupu itu terus-menerus dianggap tidak berarti oleh keluarganya.
Namun semua hinaan dan pandangan meremehkan itu tak pernah mampu mematahkan semangat nya.
Penuh Drama yang menegangkan, mari ikuti Perjalanan Hidup Mafia Queen X Gadis Cupu!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrinsesAna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Para mafios membawa Vania pergi dari hadapan Ara. Ara yang hendak mengejar ditahan oleh keluarganya.
"Nak, maafin Bunda, sayang. Bunda benar-benar bodoh selama ini. Bunda mohon maaf, Nak," ucap Elmira sambil berdiri di depan Ara, air matanya mengalir deras.
"Ayah juga minta maaf, Princess. Maaf atas semua kesalahan Ayah selama ini. Ayah benar-benar menyesal, sayang," kata Abraham dengan sorot mata penuh penyesalan.
"Dek, Abang minta maaf. Maaf selama ini Abang selalu kasar sama kamu. Maaf juga kalau Abang sering nyakitin kamu, Dek," ujar Arga dengan suara bergetar, air matanya pun jatuh. Berbeda dengan Arka, dia memilih diam. Bukan karena tak ingin meminta maaf, tetapi karena situasi sedang panas. Ia tak ingin membuat Ara semakin marah, jadi ia memutuskan untuk berbicara nanti.
Ara menatap mereka bertiga dengan dingin.
"Kenapa baru sekarang? Ke mana kalian selama ini? Saat aku selalu berharap mendapatkan kasih sayang dari kalian, kalian malah menghina dan memperlakukan aku dengan kasar. Apa kalian pikir aku tidak merasakan sakit? Aku sangat sakit. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan malah menjadi tempat yang paling menyakitkan bagiku. Kalian tak pernah menganggap aku ada, bahkan kalian berharap aku tidak ada. Dan sekarang, apa gunanya kalian berdiri di hadapanku? Aku sudah mengabulkan keinginan kalian. Lalu apa lagi? Sudah cukup rasa sakit yang aku terima dari kalian selama ini. Tolong, jangan ganggu hidupku lagi. Aku hanya ingin hidup tenang. Arabella Lovania Anderson, anak kalian, sudah mati saat dia disakiti oleh Putri yang selalu kalian banggakan. Yang sekarang ada di hadapan kalian bukan lagi anak kalian. Paham? Anak kalian sudah mati karena kelalaian kalian sendiri yang tak becus menjaganya. Berhenti ganggu aku, karena aku bukan anak kalian. PAHAM?"
Setelah mengucapkan itu, Ara segera pergi meninggalkan keluarganya yang terdiam membisu.
"Yah... hiks... anak kita, Yah. Ara benar-benar pergi. Ara nggak mau maafin kita, ya... hiks..." Elmira terisak, air matanya tak berhenti mengalir.
Abraham memeluk istrinya erat. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tahu selama ini mereka memang salah telah mengabaikan Ara. Penyesalan mendalam menyelimuti hatinya. Ia hanya ingin tahu bagaimana caranya agar putri kesayangannya bisa memaafkan mereka. Apa yang harus ia lakukan?
"Nak, kalian sahabatnya Ara, kan? Tolong bantu saya bertemu dengan Ara," pinta Elmira dengan nada memohon sambil melepas pelukan Abraham. Ia segera menghampiri teman-teman Ara. Abraham dan Arga pun mengikuti Elmira, sementara Inti Bruiser juga mendekati sahabat-sahabat Ara.
"Saya mohon, bantu saya bertemu dengan putri saya," ucap Elmira, memohon kepada sahabat Ara.
"Vania maksud Tante?" tanya Risa dengan wajah datar dan dingin.
Risa sungguh muak melihat mereka.
"Bukan, bukan Vania. Ara maksud Tante. Tante mohon, bantu Tante, Nak," ucap Elmira kembali memohon kepada Risa.
"Buat apa lagi? Dia bukan anak kalian. Benar kata Ara, anak kalian sudah mati," jawab Risa dengan suara dingin. "Lo kalau ngomong bisa dijaga, gak? Ha? Adik gue masih hidup, adik gue belum mati, ngerti lo!" ucap Arga, marah karena Risa mengatakan Ara sudah mati. "Waras lo! Ckck.
Sejak kapan Ara jadi adik lo? Bukannya adik lo jalang itu, ya? Jangan ngaku-ngaku Ara itu adik lo. Dulu aja gak nganggap, sekarang sok-sokan bilang adik lo. Ngaca dulu sana!" ucap Jessika, kesal dengan Arga. "Tapi dia jelas adik gue. Mau bagaimana pun, dia tetap adik gue," ucap Arga yang tak mau kalah.
"Gak ada tuh gue lihat seorang kakak yang mau menyakiti adik kandungnya demi orang asing. Lah, elo tiap hari nyakitin fisik dia, belum lagi mentalnya. Masih mau ngaku sebagai saudara? Kita aja yang bukan saudara dia gak pernah tuh nyakitin Ara," ucap Manda, menatap sinis Arga. "Abang si Ara tuh cuma Bang Darren sama Bang Kenzo, bukan elo," ucap Jessika.
"Tante mohon, Nak, temuin Tante sama Ara. Kalian pasti paham perasaan Tante. Kita sesama wanita. Tante mohon, Nak," ucap Elmira, membujuk sahabat Ara. "Tante bilang kita sesama wanita, tapi kenapa ya Tante, yang dibilang seorang ibu aja, gak bisa paham gimana keadaan anaknya sendiri, gimana perasaan anaknya?
Bukannya belain, malah nyakitin," ucap Risa, mengeluarkan kata pedasnya. "Kita memang sama-sama wanita, tapi kita beda, Tan. Tante seorang ibu yang memberi luka dan menyakiti putrinya. Kalau saya, orang yang tidak pernah menyakiti putri kalian," ucap Risa, lalu segera pergi keluar diikuti Jessika, Manda, dan Nabila.
"Gue udah pernah bilang sama lo. Lo pasti gak lupa, dan kalian semua juga. Tapi kalian tetap gak dengerin gue. Kalian sadar berapa banyak luka yang kalian beri kepada Ara, dan dengan gampangnya kalian minta maaf. Apa kalian pikir luka dia akan sembuh? Tentu tidak," ucap Lucas, angkat bicara.
"Udah, ah. Mending kita nyusulin mereka daripada habisin waktu buat mereka ini. Yuk," ucap El dengan wajah tanpa dosa. Mereka pun pergi menyusul Ara dan para sahabat Ara, meninggalkan Elmira yang sudah berderai air mata. Abraham terdiam seribu bahasa, begitu juga dengan Arga. Ya, yang dikatakan sahabat Ara benar: keluarga macam apa mereka. "Bun, kita pulang dulu. Ayah yakin, pasti Ara bakalan pulang ke rumah," ucap Abraham, mengajak Elmira pulang.
Di aula sekolah masih banyak orang. Ada sebagian yang sudah pulang, dan masih ada yang tetap di sana menyaksikan drama keluarga Anderson. "Yah, kita orang tua yang buruk, yah," ucap Elmira, menatap Abraham dengan deraian air mata. "Sekarang kita pulang dulu, Bun. Arga, kamu juga," ucap Abraham, menuntun Elmira keluar dari aula dan segera pulang.
Kembali kepada Ara yang sedang dalam perjalanan menuju markasnya. Tes, tes... "Kenapa sakit banget? Apa ini perasaan asli lo, Ra? Tapi sekarang lo harus tenang. Gue udah bales semuanya, Ra. Tapi gue gak bisa maafin keluarga lo secepat itu," ucap Ara dalam hati.
Sepertinya Ara merasakan perasaan Ara yang asli. Tak lama, Ara pun sampai di markas. Ara segera masuk ke dalam kamar pribadinya untuk mengganti pakaian. Tak lama, Risa dan yang lain pun sampai di markas. Lucas dan Gio pun ikut serta. Mereka berdua terkejut melihat tempat markas Ara.
"Queen ada di dalam?" tanya Jessika kepada penjaga gerbang markas. "Ada, Nona," jawab Mafios sambil mempersilakan mereka masuk.
Saat tiba di dalam, Lucas dan Gio terkejut melihat interior yang sangat mewah, berbeda jauh dengan tampilan luar. "Kalian duduk saja. Sebentar lagi Ara juga datang," ucap Jessika sambil mempersilakan Gio dan Lucas duduk.
Tap tap tap. Ara turun dari tangga, sudah berganti pakaian. Ia sedikit terkejut melihat keberadaan Gio dan Lucas. "Hehe, maaf, Ra. Mereka yang minta ikut. Sudah aku larang, tapi tetap tidak mau," ucap Jessika, memahami tatapan Ara kepada Gio dan Lucas. "Gak apa-apa, biar saja mereka tahu. Bang Darren sama Bang Zo mana?" tanya Ara yang tidak melihat kedua abangnya. "Mereka ada urusan, katanya," jawab Nabila. "Hmmm." Ara hanya menggumam pelan.
"Gue penasaran banget. Ini tempat apa sebenarnya? Kenapa semua orang hormat sama Ara dan manggil Ara Queen? Bingung gue, gak ada yang niat jelasin," ucap Lucas, mewakili rasa penasaran Gio. Gio pun menatap Ara, seolah meminta penjelasan. "Kasih tahu aja, Ra. Lagian mereka kelihatannya bisa dipercaya. Kalau mereka macam-macam, tinggal lo lempar aja ke kandang piaraan lo," ucap Jessika dengan wajah tanpa dosa. Ara mengangguk pelan.
"Ini markas mafia Black Rose. Kalian pasti tahu, kan? Gue pemimpin mafia Black Rose," ucap Ara kepada Gio dan Lucas tanpa memedulikan wajah terkejut mereka. Siapa yang tidak tahu keganasan dan kekejaman mafia Black Rose?
Lucas yang syok langsung pingsan. Semua terkejut melihatnya, sementara Varo yang berada di samping Lucas tertawa geli melihat sahabat barunya pingsan. Gio, meski tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tetap menatap Ara, mencari kebohongan di mata Ara. Namun, ia tidak menemukannya. Ara berkata jujur.
"Gue memang pemimpinnya, dan mereka semua adalah mafia. Terserah kalian percaya atau tidak, tapi inilah gue yang sebenarnya," ucap Ara, menatap mata Gio dengan tegas.
"A-aku cuma kaget dan gak nyangka aja. Aku gak masalah kamu siapa, aku bakalan tetap ada di samping kamu," ucap Gio sambil menatap tulus ke mata Ara.
"Eugh, aduh, pusing banget gue. Tadi mimpi apaan sih gue? Masak mimpi Ara jadi pemimpin mafia Black Rose," ujar Lucas sambil bangun dari pingsannya. Mereka semua tertawa geli melihat tingkah Lucas.
Lucas, yang sudah sepenuhnya sadar, mulai melihat sekeliling. Lalu pandangannya tertuju pada Ara. Ia memastikan bahwa ini bukan mimpi.
"Aduh, gue kira mimpi. Jadi ini beneran, ya?" tanya Lucas dengan wajah meringis.
Mereka semua mengangguk. Lucas menatap Ara dengan raut takut.
"Gue gak jahat kok, Ra. Jangan tembak gue, ya," ucap Lucas memelas karena baru tahu Ara adalah pemimpin mafia. Tawa mereka semakin keras melihat ekspresi ketakutan Lucas.
"Ara gak bakalan nembak lo kalau lo gak macem-macem," ujar Azka sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.
"Iya, gue gak bakalan macem-macem, deh," jawab Lucas pasrah.
"Bagus. Jangan sampai kalian berdua bocorin identitas gue," tegas Ara kepada Gio dan Lucas. Keduanya mengangguk mantap.
"Jadi, si Vania di sini juga, ya?" tanya Jessika di sela-sela tawanya.
"Hmm," jawab Ara singkat dengan deheman.
"Kapan lo kasih dia pelajaran, Ra? Gue udah gedek banget sama dia," ucap Manda dengan nada kesal.
"Nanti aja. Gue lagi capek banget. Mending gue istirahat dulu. Dan kalian berdua, kalau masih mau di sini, nanti ditunjukin kamar sama Varo, Azka, atau El. Gue mau tidur dulu," ucap Ara sambil beranjak menuju kamarnya.
Mereka semua pun memutuskan untuk beristirahat sejenak. Gio dan Lucas diantar oleh Varo ke kamar yang sudah disiapkan untuk mereka.