Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Dokter Adit mengatur napasnya yang tersengal-sengal karena berlari dari rumah keponakannya. Dia yang berniat ingin bicara empat mata dengan Sangkara menjadi batal. Pertama karena pintu rumah Sangkara masih tertutup rapat. Dan kedua, dia mendengar samar-samar pembicaraan dari dalam rumah. Ketika menguping, dokter Adit di buat terkejut dan sekaligus shock akan isi pembicaraan orang yang ada di dalam rumah Sangkara.
Kepala dokter Adit menggeleng cepat, “tidak, tidak mungkin!” gumannya gelisah. “Aku harus balik, sepertinya itu semua masih tersimpan di laptop aku!” sambungnya.
Dokter Adit bergerak cepat membereskan rumah serta menyiapkan apa saja yang akan dia bawa kembali pulang ke rumah yang ada di kota. Selain itu, dia juga harus menuliskan surat ijin atau surat cuti kepada kepala puskesmas. Karena tidak bisa masuk untuk beberapa hari kedepannya.
Namun, setibanya dia di puskesmas, rencana awalnya sedikit tidak berjalan. Kepala puskesmas memang memberinya ijin. Akan tetapi, dokter Adit baru di perbolehkan pergi setelah jam operasional puskesmas berakhir. Dan itu berarti sekitar pukul 3-4 sore.
‘Tidak apa-apa, tidak apa-apa,’ gumam dokter Adit dalam hatinya. Dia meyakini hatinya jika tidak ada sesuatu yang terjadi. Di tambah apa yang dia lakukan tidak satupun orang lain tahu.
Waktu bergulir begitu cepat. Dan sekitar jam 3 sore, dokter Adit mulai keluar dari puskesmas. Dia tidak lagi mampir pulang ke rumah dinas, melainkan langsung berjalan menuju pangkalan ojek yang ada di desa itu.
“Om, mau kemana? Kok naik ojek?” sapa Sangkara membuka kaca jendela mobil Ello.
“Ma-mau, ada yang di beli Kara,” sahut Dokter Adit dengan gelagapan. “Kamu sendiri mau kemana?”
“Mau mencari kitab suci dan cari informasi penting!” sela Ello. “Sorry, kita gak bisa kasih tumpangan sama lo! Mobil gue anti sama orang yang abu-abu!”
“Bang!”
“Lah benar Kara. Kita belum tahu loh, oom lo ini ikutan terlibat atau gak? Tapi, gue yakin secara tidak langsung pasti terlibat!”
Wajah dokter Adit tampak berubah, dia menatap tajam kearah Ello yang sekarang sudah berada di luar mobil. Bersandar santai di pintu mobilnya yang mewah.
“Maaf, maksud anda apa ya? Sepertinya anda ingin ikut campur masalah keluarga saya. Saya sarankan mendingan anda diam di rumah. Dan jangan terlalu ikut campur masalah orang lain! Tidak baik!”
“Keluarga? Hei, bro! Kasus keluarga Sangkara bukan kasus keluarga yang harus di selesaikan hanya oleh keluarga. Kasus keluarga Sangkara sudah masuk media nasional. Itu berarti semua orang berhak ikut campur dan membantu mengukap pelakunya!” balas Ello. “Lo seharusnya senang kalau gue ikut campur dan bantu. Bukannya malah marah dan tidak terima. Tapi, yaaa kalau lo pelakunya atau ikut terlibat sih, wajar kalau marah. Kan takut ketahuan dan terungkap!”
“Om???”
Tatapan dokter Adit beralih menatap Sangkara. “Kamu lebih percaya orang asing itu dari pada oom, Kara?”
“Orang asing? Bang Ello bukan orang asing bagi aku, om! Selama beberapa tahun belakangan ini aku selalu di rawat sama dia. Aku dididik, diajarkan segala macam oleh dia, om! Bahkan kami telah melewati masa suka dan duka. Jadi, bagi aku bang Ello bukan orang asing. Tapi oom yang orang asing! Kita kenal masih hitungan hari, dan tahu ada hubungan darah pun hitungan hari. Itu pun tidak serta merta langsung membuat kita akrab, om!”
“SANGKARA…”
“Kami pamit, om! Semoga apa yang oom ingin beli, ada semua,” pamit Sangkara. Dia meminta Ello segera kembali melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda.
“Sangat mencurigakan!” gumam Ello pelan.
“Apa yang mencurigakan, bang?”
“Oom lo itu! Gue yakin dia secara tidak langsung terlibat! Lihat dari wajahnya aja dia kelihatan panik banget!”
Dahi Sangkara mengernyit, “yakin dari mana lo, bang? Kok sekarang lo lebih tahu dari gue sih? Di sini kan gue yang pemeran utamanya, kenapa lo yang ambil alih dengan sikap lo itu?”
Ello melirik Sangkara sekilas, lalu kembali fokus menatap jalanan yang ada di depan. “Karena gue sayang sama lo, Kara! Kalau dalam keadaan kayak gini, lo di paksakan berpikir terus. Yang ada kepala lo oleng-oleng dan akhirnya drop! Lo mau kembali koma dan berakhir pelaku serta dalang pembunuhan keluarganya tertawa senang???”
Kepala Sangkara menggeleng pelan.
“Ya udah, makanya nurut sama gue! Dan biasanya apa yang duga, pasti benar. Lihat aja nanti!”
“Terserah lo aja, bang! Yang jelas, gue mau main-main dulu sama dua orang yang tidak tahu diri itu! Sudah di sayang, malah tidak tahu di sayang!”
“Atur-atur sama lo, Kara! Yang jelas, periksa dulu kesehatan lo! Gue gak mau lo kenapa-kenapa! Bisa-bisa gue di habisi sama daddy!”
“Ya, kagak lah bang!”
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Bis yang di tumpangi dokter Adit menuju kota sempat pecah ban di jalan tol. Hati yang sudah gelisah, semakin bertambah gelisah. Dia takut kalau Sangkara menemukan bukti yang mengarahkan kepada dirinya. Padahal dia sama sekali tidak bermaksud menyebarkan dan memberi tahu orang lain, dia hanya ingin tahu kebenaran mengenai keberadaan kakaknya itu.
“Aish, semoga takdir masih berpihak sama aku!” gumam dokter Adit.
Hampir satu jam perjalanannya tertunda, bis tersebut sudah kembali melaju menuju ibu kota. Dokter Adit pun bisa menarik napas lega. Mendekati tengah malam, adek dari Naya alias Lilis tiba di rumahnya. Kedatangannya di sambut dengan rasa bingung dan heran dari kedua orangtuanya. Mereka malah menyangka kepulangan dokter Adit itu membawa Sangkara untuk tinggal bersama mereka.
“Cucu mama mana, Dit?”
“Cucu? Maksud mama Sangkara?”
“Lah iya. Kan hanya kamu yang tinggal dekat dengan Sangkara. Dia gak ikut kamu?”
“Gak, ma. Dia tadi pergi sama temannya.”
“Teman yang mana? Yang naik mobil mewah kemaren? Kok bisa Sangkara kenal dengan pak Ello?” timpal sang papa.
Dokter Adit langsung menoleh kearah papanya, “papa kenal dengan dia?”
“Kenal lah! Papa yakin, Saputra juga kenal dengan dia! Dia itu punya banyak perusahaan, tapi yaa itu tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Standar lah, tapi keuntungan dari perusahaan-perusahaannya itu bisa membuatnya kaya raya!”
Dokter Adit terkejut. Hati yang sudah tenang, kembali merasa gelisah. Tanpa membalas perkataan papanya, dokter Adit berpamitan untuk langsung istirahat.
Namun, ketika di kamar. Bukannya istirahat, dia malah sibuk dengan laptop lamanya yang jarang di pakai. Laptop itu dia otak-atik, file demi file dia buka untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa membuatnya terlibat secara tidak langsung.
“Mana? Dimana aku nyimpannya dulu!” desis dokter Adit.
Cukup lama dia mengotak-atik, akhirnya apa yang dia cari telah di temukan. Sebuah bukti transfer, foto dan screenshoot percakapannya dengan Intan ada di depan matanya.
“Lebih baik gue hapus, dari pada nantinya mendapatkan masalah!”
Semangat untuk authornya... 💪💪