NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Bab 28

“Hai..hai.. Tersenyumlah.”

Suara Aryo terdengar ringan, tapi di baliknya terselip nada menggoda yang sulit diabaikan. Ia lebih dulu menyeringai lebar, seperti hendak menantang Meliana yang duduk di depannya.

Tatapan mata Meliana menajam, nyaris seperti tatapan kucing siap menerkam. Namun, alih-alih marah, ia hanya mengembuskan napas pelan dan menatap balik pria itu dengan sinis.

Dengan gerakan elegan, ia memutar mata sebelum akhirnya mengukir senyum tipis yang menawan. Senyum itu begitu memesona hingga membuat ruangan seolah berhenti bernafas. Mata Aryo terpaku, hatinya seketika meleleh seperti lilin di bawah sinar matahari.

“Baiklah, Bu CEO,” ucap Aryo lembut namun terdengar nakal. “Aku akan dengan senang hati menjadi pacar pura-puramu.”

Meliana menatapnya lekat, sementara Aryo menambahkan sambil tersenyum lebar,

“Senyum yang indah sekali.”

Hatinya berbunga-bunga, seperti bocah yang baru saja menerima hadiah. Selama di ruangan itu, ia tak bisa berhenti tersenyum. Bukan karena posisinya sebagai pengawal, tapi karena perempuan di hadapannya—seorang pemimpin dingin yang kini mulai menunjukkan sisi hangatnya.

Bahkan kali ini, Aryo tidak lagi curi-curi pandang ke arah kaki atau rok Meliana seperti dulu. Ia hanya fokus menatap wajahnya, menikmati setiap detik kebersamaan yang jarang terjadi.

Meliana menyipit curiga. “Kenapa kamu cengar-cengir terus dari tadi?”

Aryo menjawab tanpa malu, “Senyummu, Bu. Bisa bikin siapa pun lupa napas.”

Meliana memilih diam, kembali menunduk pada laptopnya dan mengetik tanpa menanggapi lebih jauh. Tapi pipinya sedikit bersemu, entah karena lampu ruangan atau sesuatu yang lain.

Saat sore tiba dan pekerjaan selesai, Meliana menutup laptopnya.

“Sebelum pulang, ke restoran dulu,” katanya singkat.

“Siap, Bu CEO,” jawab Aryo cepat, masih dengan senyum yang sama.

“Mulai sekarang kita harus mulai akting sebagai pasangan,” lanjut Meliana sambil berpindah tempat duduk ke kursi depan mobil. “Kita harus terlihat meyakinkan.”

Aryo menahan diri untuk tidak terlalu bersemangat. Dalam hati ia berpikir, siapa tahu dari pura-pura bisa jadi sungguhan.

Mereka pergi ke restoran yang sama—tempat pertama kali pertemuan pertunangan mereka yang berakhir kacau. Begitu melangkah masuk, kenangan pahit itu kembali ke benak Aryo. Ia masih ingat betapa malunya ia waktu itu, ketika Meliana melabraknya di depan umum. Tapi kini, suasana berbeda. Ia duduk di sisi Meliana, bukan sebagai musuh, melainkan pasangan pura-pura yang mungkin sedikit terlalu nyata.

Namun, takdir rupanya belum mau memberi ketenangan.

Di restoran itu, Thomas Maraja muncul tiba-tiba, seolah waktu memang sedang mempermainkan mereka. Tanpa rasa malu, Thomas menghampiri meja mereka, mengabaikan keberadaan Aryo sepenuhnya.

“Yuk, makan malam bareng aku,” katanya santai, menatap Meliana sambil mengulurkan tangan.

Meliana menatap tajam lalu memberi kode halus pada Aryo.

“Tidak bisa,” potong Aryo cepat. “Meliana sedang bersamaku.”

Thomas mendengus, menatapnya jijik. “Kau tunggu di luar saja, Satpam. Meliana akan makan bersamaku.”

“Justru kami ke sini untuk makan malam bersama,” balas Aryo datar tapi tegas. “Kami sedang merayakan hari jadi kami.”

Thomas tertawa sinis. “Berani sekali kau bicara begitu ke aku. Siapa kau sebenarnya?”

“Aku pacarnya Meliana,” jawab Aryo tanpa ragu, langkahnya sedikit maju hingga jarak mereka tinggal beberapa jengkal.

“Beraninya ngaku-ngaku,” Thomas mendesis sambil menuding wajah Aryo.

Meliana tak tahan lagi. “Dia memang pacarku!” katanya lantang hingga beberapa pengunjung menoleh. “Kami sudah lama bersama. Jadi berhenti menyangka aku masih jomlo dan butuh kamu!”

Thomas terkejut. “Kamu pacaran sama... bodyguard?”

Aryo menepis tangan Thomas yang hampir menyentuh Meliana. “Jaga tanganmu,” ujarnya dingin.

Meliana menatap Thomas tanpa gentar. “Terserah kamu mau percaya atau tidak. Aryo jauh lebih baik darimu, meski dia cuma pengawal. Setidaknya dia punya hati, bukan cuma uang dan ego. Lagian, kamu bahkan gak tahu siapa dia sebenarnya.”

Aryo menegang. Apakah Meliana sudah tahu identitasku yang sebenarnya? pikirnya.

Thomas mendengus, “Siapa dia? Paling juga kacung biasa.”

“Sudahlah, Thomas. Hentikan ini,” ucap Meliana tajam. “Hatiku sudah dimiliki Aryo. Mau kamu pakai cara apa pun, gak akan berubah. Jadi jangan bikin keributan di sini. Kalau kamu memang sekelas CEO, tunjukkan martabatmu sedikit. Jangan memaksa perempuan yang sudah menolakmu.”

Beberapa pengunjung yang mendengar itu bertepuk pelan, mendukung ucapan Meliana. Wajah Thomas memerah menahan malu dan amarah. Ia akhirnya mundur dengan tatapan dendam, tapi jelas dalam pikirannya: perang belum selesai.

Thomas tetap diam di sudut restoran, memperhatikan mereka makan malam dari jauh.

Aryo menarikkan kursi untuk Meliana, lalu duduk dengan sopan. Ia mengikuti pilihan makanan Meliana saja. Saat hidangan datang, ia memandangi wajahnya yang lembut diterpa cahaya lampu gantung restoran. Pipinya tirus, matanya tajam tapi hangat—kombinasi yang membuatnya sulit berpaling.

Di tengah makan, Meliana berkata, “Aku ke toilet sebentar.”

Aryo mengangguk, sibuk memotong bistiknya.

Tiba-tiba seseorang menyenggol bahunya.

“Oh, maaf banget!” suara perempuan terdengar familiar.

Aryo menoleh, lalu terkejut. “Sania?”

Wajah perempuan itu berubah kikuk. “Aryo? Wah, gak nyangka ketemu kamu di sini.” Ia langsung duduk di kursi Meliana tanpa izin. “Kamu sama siapa?”

“Dengan Bu Meliana,” jawab Aryo singkat.

“Oh, iya, kamu kan bodyguard-nya. Aku mau minta maaf soal gosip waktu itu,” katanya cepat-cepat. “Aku khilaf, Aryo. Aku sudah bilang ke semua orang di kantor bahwa itu cuma omongan kosong. Aku cuma kecewa waktu kamu nolak aku.”

Aryo belum sempat menjawab, suara khas Meliana terdengar dari belakang. “Ehem.”

Sania langsung berdiri canggung. “Oh—Bu Meliana! Maaf, saya pamit dulu.”

Ia tersenyum kikuk dan segera pergi.

“Ngapain dia tadi?” tanya Meliana dingin.

“Minta maaf soal gosip murahan yang dulu,” jawab Aryo santai.

Meliana mengangguk kecil. “Lumayan berani juga dia mengakui kesalahan.”

Setelah itu, mereka kembali menikmati makan malam dalam diam. Hanya bunyi garpu dan pisau terdengar. Aryo tak henti-hentinya terpana melihat cara Meliana menyuap makanan dengan anggun.

Saat membayar di kasir, ponsel Aryo bergetar. Gaston menelepon.

“Gaston, kenapa kau susah dihubungi?” Aryo terdengar tegang.

“Maaf, Bang,” jawab Gaston lirih. “Aku lagi jalankan misi rahasia. Operasi senyap.”

“Jangan bohong. Kau yang bunuh Roxil?” suara Aryo turun satu oktaf.

“Bukan, Bang. Aku gak terlibat.”

“Yakin?”

Aryo menahan napas. Jika Gaston berbohong, semuanya bisa berantakan.

“Aku tahu Roxil mati, Bang, tapi bukan aku yang melakukannya. Sumpah.”

“Bisa buktikan?” tekan Aryo.

Hening beberapa detik, lalu Gaston berkata, “Bang, kau lagi di luar?”

“Kenapa memangnya?”

“Hati-hati, Bang. Mereka belum selesai sama kau. Ada pembunuh baru dikirim buat nangkapmu.”

Aryo langsung menutup telepon ketika melihat Meliana berjalan kembali.

“Siapa tadi?” tanya Meliana curiga.

“Teman lama,” jawab Aryo cepat. Ia menatap spion mobil saat mereka melaju pulang — instingnya menjerit waspada.

Di tengah perjalanan, Aryo memperhatikan ada truk sampah yang terus mengikuti mereka dari jauh. Ia mencoba berbelok ke arah berbeda.

“Loh, kenapa lewat sini?” tanya Meliana heran.

Aryo memberi kode dengan jari di bibir. “Kita diikuti.”

Meliana langsung menunduk, tubuhnya menegang. Kenangan serangan di terowongan dulu langsung muncul di benaknya.

Aryo membelok tajam ke jalan sempit di antara dua gedung, lalu berhenti. “Tunggu di sini,” katanya cepat, lalu keluar dari mobil.

Dari dalam mobil, Meliana menatap khawatir. Truk itu berhenti di ujung gang. Supirnya turun diam-diam, menodongkan pistol berperedam.

Aryo cepat bereaksi — ia menunduk, mengambil batu, lalu melemparkannya tepat ke tangan si pembunuh. Senjata itu jatuh. Dengan kilat, Aryo menerjang, memiting tangan lawannya hingga terdengar bunyi tulang patah. Orang itu menjerit kesakitan.

“Siapa yang menyuruhmu?” Aryo mencengkeram lehernya.

Tak ada jawaban. Si pembunuh mencoba melawan, tapi kalah telak. Aryo menghajarnya sampai pingsan, lalu meninggalkannya di tempat.

Meliana keluar. “Kamu gak membunuhnya, kan?”

“Tidak,” jawab Aryo datar.

“Aku mau lihat.”

Aryo mengangguk dan mengajaknya ke truk itu. Ia menunjukkan bahwa si penyerang masih bernapas.

“Lihat? Aku bukan pembunuh. Setidaknya kali ini tiDak,” katanya setengah bercanda.

Meliana menarik napas lega. “Kamu gak apa-apa?”

Aryo tersenyum miring. “Aku baik-baik saja. Dia yang enggak.”

Keesokan paginya, mobil Aryo Pamungkas tiba-tiba dicegat polisi di tengah jalan. Beberapa petugas langsung memborgolnya.

“Pak, Aryo gak bersalah!” teriak Meliana marah.

“Tenang, Meliana,” ujar Aryo pelan sebelum dibawa pergi.

Meliana segera menelepon ayahnya, Pak Kamal, yang datang bersama Pak Sabra, walikota Kota J.

“Aryo dituduh membunuh sopir truk sampah,” jelas Meliana dengan wajah tegang.

Pak Sabra langsung menelepon Pak Cakra, kepala divisi penyelidikan.

Pak Kamal menatap putrinya lembut. “Meliana, kamu yakin dia gak bersalah?”

Meliana mengangguk mantap. “Aku lihat sendiri. Sopir itu yang menguntit kami. Aryo cuma melindungi kami. Aku saksinya—dia cuma pingsan waktu kami tinggalkan!”

Namun, laporan polisi mengatakan hal berbeda. Supir itu ditemukan tewas dengan bekas cekikan di leher, dan pistol peredamnya lenyap dari lokasi.

Tetapi karena kesaksian Meliana, Aryo akhirnya dilepaskan sementara, menunggu surat pernyataan resmi.

Di koridor kantor, Meliana berpapasan dengan Gladys, yang baru kembali dari perjalanan tugas.

“Bu Meliana,” sapa Gladys ramah.

“Bu Polisi Gladys,” balas Meliana datar.

Tatapan mereka bertemu — dingin, tajam, dan penuh ketegangan.

Seolah tanpa kata pun, keduanya tahu bahwa sejak saat itu, mereka adalah musuh diam-diam dalam perebutan Satpam Tampan leboi. Hahahaha...

— Bersambung —

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!