NovelToon NovelToon
Pesona Kakak Posesif

Pesona Kakak Posesif

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:499
Nilai: 5
Nama Author: Dwi Asti A

Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pulang Bersama Awan

Di sepanjang perjalanan, Hanin diam tanpa berbicara sepatah kata pun. Dia sedang kesal memikirkan mengapa Pak Joko tidak bisa menjemputnya. Seharusnya dia memberitahu dirinya jika ada masalah. Gara-gara jemputan tak datang, Hanin terpaksa ikut dengan Awan. Jika Satya mengetahui dirinya pergi dengan Awan, Satya pasti marah besar.

“Kenapa diam saja, Hanin?” tanya Awan.

“Tidak apa-apa!” sahut Hanin dengan suara sedikit dikeraskan.

“Kalau begitu pegangan yang kuat!”

Dengan perasaan ragu Hanin berpegangan pada jaket yang dikenakan Awan, hanya supaya dirinya tidak jatuh. Ini pertama kalinya dia membonceng motor selain dengan Satya.

Terlalu banyak melamun membuat Hanin tidak sadar dengan perjalanan mereka. Dia tidak tahu Awan membawa motor ke arah yang berbeda dan bukan ke arah rumah. Hanin baru menyadarinya setelah motor masuk halaman sebuah rumah besar.

“Kita sudah sampai,” ucap Awan begitu motor berhenti.

Hanin membuka helmnya, menatap rumah asing di hadapannya, dan dia akhirnya menyadari bahwa Awan tidak mengantarnya ke rumah. ’Tapi, ini rumah siapa?’ batin Hanin.

“Kenapa kita ada di sini, dan ini rumah siapa, Kak?” tanya Hanin kebingungan.

“Ini rumahku, maaf aku tak memberitahumu sebelumnya. Aku hanya ingin mengambil sesuatu sebentar baru setelah itu mengantarmu pulang,” jelas Awan, saat melihat raut wajah Hanin tampaknya tak suka.

“Kenapa tidak bilang. Kalau mamah tahu aku pergi tanpa ijinnya mamah pasti marah.”

“Nanti biar aku yang jelaskan.”

“Sebaiknya antar aku pulang, Kak, sekarang.”

“Oke, sebentar saja, kita masuk dulu baru aku antar kau pulang.”

“Kak, aku tidak bisa.” Hanin sudah memutar tubuhnya meninggalkan halaman rumah, Awan segera saja mengejarnya.

“Hanin, percayalah, aku enggak akan ngapa-ngapain, aku cuma ingin mengambil sesuatu di rumah dan kita langsung pulang.” Awan berusaha meyakinkan Hanin yang tampaknya sudah ketakutan. “Aku tahu aku ini terlalu agresif mendekatimu, tapi aku juga bukan laki-laki nakal. Di rumah ada asisten rumah bukan kita sendirian.”

Selain takut orang rumah marah dan dia tak begitu mengenal Awan, Hanin juga takut kalau Satya sampai tahu dirinya pergi dengan anak laki-laki. Selama ini dirinya tak pernah pergi dengan siapa pun selain dengan Satya dan keluarganya. Saat pergi dengan teman sekolah pun Satya selalu ikut bersamanya menemani.

“Ayo,” ajak Awan.

Melihat sikap Awan, tampaknya apa yang dikatakannya tidaklah bohong. Selama ini Awan hanya agresif dan tak pernah melakukan apa pun padanya, bahkan Awan pernah membantunya saat dia ditinggal Satya, dan ketika diganggu Geng Rubah. Rasanya tidak ada alasan dirinya berprasangka buruk dengan Awan.

Akhirnya Hanin mengikuti Awan masuk rumah besar itu. Rumah yang lebih mewah daripada rumah milik kedua orang tuanya. Meskipun rumahnya tidak sebesar itu, tapi selalu ada kehangatan di dalamnya. Berbeda dengan rumah milik Awan yang terlihat lengang seakan tak ada penghuninya, bahkan terasa sepi.

Begitu tiba di pintu utama mereka langsung disambut beberapa pegawai rumah. Awan meminta Hanin untuk menunggunya dan duduk di sofa, meminta asisten rumah membuatkan minuman, tapi Hanin menolaknya.

Awan kemudian berlari menaiki tangga mewah yang berada di kanan kiri ruangan besar itu. Yang mengelilingi ruang tamu super luas. Rumah yang begitu mewah. Itulah yang terpikirkan Hanin saat duduk di kursi tamu.

‘Pantas saja ke sekolah saja membawa asisten, ternyata dia memang orang kaya,' batin Hanin.

Sekitar sepuluh menit akhirnya Awan muncul, dia telah mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian santai. Tetap tak melepas jaket dari tubuhnya. Melihat jaket, Hanin teringat untuk mengembalikan jaket milik Awan. Ia membuka tasnya dan mengambil jaket yang tersimpan di sana.

“Ini jaket milik Kakak, sudah aku cuci,” kata Hanin sembari menyodorkan bungkusan rapi kepada Awan.

“Kenapa dikembalikan, kau pakai saja kalau kau mau,” balas Awan.

“Tidak, Kak, aku sudah punya banyak jaket di rumah, jarang juga menggunakannya.”

Awan menerima jaket itu, lalu memberikannya pada asisten untuk menyimpannya dengan baik.

“Jadi, sekarang kita langsung pulang atau ...,”

“Pulang, Kak. Aku khawatir mamah mencemaskanku,” jawab Hanin cepat.

Usai mengatakan itu Hanin memutar tubuhnya mendahului melangkah keluar, Awan mengikut di belakangnya.

Sebenarnya Awan ingin membuat Hanin tinggal untuk beberapa saat, tapi Hanin justru pergi dengan begitu terburu-buru.

Setelah motor Awan meninggalkan rumah, sebuah mobil mewah masuk berhenti di halaman. Seorang pria keluar dari dalam mobil dan memandang ke arah Awan barusan pergi. Dengan langkah tergesa dia masuk ke dalam rumah, lalu bertanya pada pegawainya, “Siapa perempuan yang barusan pergi bersama dengan Awan?” tanya pria itu.

“Dilihat dari seragamnya sepertinya teman sekolah Den Awan,” jawab kepala pelayan.

“Gadis yang berbeda lagi?”

“Benar, Tuan, tapi sepertinya kali ini agak lain.”

“Lain bagaimana?”

“Gadis itu pendiam dan tak banyak tingkah.”

“Maksudmu terlihat gadis baik-baik?”

“Benar, Tuan.”

“Lain kali jika dia datang lagi beritahu aku, aku ingin tahu siapa dia.”

“Perlu saya minta orang untuk menyelidikinya?”

“Tidak perlu.”

“Baik, Tuan.”

••

Untuk mengulur waktu agar bisa lebih lama di jalan bersama dengan Hanin, Awan berhenti di sebuah pengisian bensin. Awan meminta Hanin turun dan menunggu di depan sebuah mini market.

Beberapa menit setelah mengisi bensin, Awan mengajak Hanin masuk mini market tersebut.

“Kak Awan aku mau pulang, Kak,” pinta Hanin sampai menarik-narik jaket Hanin ketika mereka sudah sampai di depan pintu. Raut wajah Hanin benar-benar memelas ada kekhawatiran di sana.

“Aku haus mau beli minuman sebentar.”

Terpaksa Hanin ikut masuk mini market tersebut. Awan membelikannya minuman dan camilan, tapi Hanin menolak semua itu.

“Ayolah, Hanin, ambil sesuatu baru setelah itu aku mau antar kau pulang. Kalau tidak kita di sini saja sampai malam.” Awan pun setengah memaksa.

Hanin merasa Awan sengaja melakukan itu untuk memaksa dirinya menerima tawarannya. Daripada Awan menolak mengantarnya pulang, Hanin mengambil satu minuman dingin untuk dirinya. Setelah menyerahkan minuman itu di kasir, Hanin berjalan keluar tak ingin berlama-lama di sana.

‘Awan memang sungguh keterlaluan, dia sengaja menunda-nunda mengantarku pulang. Cukup sekali ini saja aku menerima kebaikannya,' gerutu Hanin kesal.

Pukul empat sore akhirnya mereka tiba di depan rumah. Hanin langsung turun dan melepas helmnya, lalu memberikannya kepada Awan. Dia melihat mobil yang selalu dibawa Pak Joko sudah berada di rumah. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengapa Pak Joko tidak datang menjemputnya semenjak mobil ada di rumah.

“Terima kasih, Kak, sudah mengantarku pulang,” ucap Hanin.

“Kau tidak memintaku untuk mampir?” tanya Awan basa-basi.

“Tidak, Kak, maaf. Bay ...!” Hanin melambaikan tangan, setengah berlari masuk ke dalam rumah.

“Benar-benar gadis yang masih lugu dan murni. Berbeda dari semua gadis yang aku kenal selama ini, yang dengan mudah memberikan bibir mereka untukku. Tampaknya Satya berhasil menjaganya dengan baik,” batin Awan.

Awan memutar motornya meninggalkan rumah itu. Dia tak menyadari dua pasang mata remaja mengawasinya dari balik pohon. Rio dan Reza akhirnya mengetahui bahwa Hanin memang pulang dengan Awan, bukan dengan sopir.

“Sekarang bagaimana? Kita harus memberitahu Satya soal ini?” tanya Rio.

“Tapi Satya tidak akan tinggal diam. Bisa-bisa dia menggerebek Awan saat dia pulang nanti.”

“Kau pilih saja, Awan ribut dengan Satya atau kita yang habis dihajar Satya?”

“Tidak mau dua-duanya,” jawab Rio.

••

Hanin mengendap-endap masuk rumah setelah melepas sepatunya di teras. Melihat ke sekitar berharap tidak bertemu dengan Miranda saat itu, karena dia bingung bagaimana harus menjelaskan kepulangannya yang diantar Awan.

Setelah melangkah dengan hati-hati, akhirnya Hanin tiba di ujung tangga, tiba-tiba ...,

“Dari mana saja kamu baru pulang?” tanya Miranda yang kini berdiri di hadapannya di ujung tangga, menghentikan langkah Hanin yang terkejut.

“Kenapa, Mama tanya Hani, seharusnya tanya Pak Joko kenapa tidak datang menjemput Hani,” jawab Hanin.

“Jawab dulu dari mana dan dengan siapa kamu pulang?” tanya Miranda lagi.

“Diantar teman, Mah.” Hanin langsung ngeloyor pergi melewati Miranda pergi ke kamarnya. Miranda mengikutinya sampai masuk kamar.

“Teman siapa? Kau bisa jelaskan dengan mama supaya mama tahu dia teman baik atau tidak.”

“Kalau dia mengantar Hani sampai rumah dalam keadaan utuh apa masih dipertanyakan kebaikannya. Dalam hal ini siapa yang salah, tapi seakan mama menyalahkan Hani. Kalau bukan Awan yang mengantar ke rumah siapa lagi. Di mana Pak Joko?”

Hanin terlihat kesal, merasa disalahkan dari yang bukan kesalahannya. Dia duduk di sisi ranjang dengan wajah ditekuk. Miranda menghampiri duduk di sampingnya.

“Tadi Pak Joko sudah berangkat, tapi mobil mogok dan dia lupa bawa Hp. Dia menghubungi mama sudah agak siang. Lalu mama telepon ke sekolah satpam bilang kau sudah pulang bersama teman. Tadinya mama mau minta tolong Rio dan Zaki untuk mengantarmu, mereka bilang kau kabur dari mereka. Lain kali jangan bersikap seperti itu, pulang sekolah langsung ke rumah, jadi mama tidak khawatir.”

“Maaf, Mah. Hani juga bingung tadi. Selama ini Hani cuma pergi dengan Kak Satya. Hani jadi serba salah, Mah.”

“Bingung kenapa?”

“Saat nanti sudah tidak bersama Kak Satya, apa Hani bisa mandiri dan menyesuaikan diri dengan orang lain. Hanya Kak Satya yang paham dengan siapa Hani harus bergaul. Hani takut berteman dengan orang yang salah, Mah.”

“Selama masih ada Kak Satya kau tidak perlu memikirkan hal itu.”

“Ya, selagi dia masih di sini. Kalau dia kuliah atau nanti bekerja apa akan terus bersama dengan Hani, enggak kan?”

“Itu dipikirkan nanti saja ya, karena mama dan papa juga berencana meskipun kuliah kalian tetap bersama.” Miranda beranjak. “Sekarang ganti baju, kalau mau makan siang sudah mama siapkan di meja.”

Hanin mengangguk pelan. Miranda berjalan pergi meninggalkan ruangan.

Miranda sebenarnya sudah melihat anak muda yang mengantar Hanin pulang dari balkon rumah. Anak muda yang terlihat gagah dan baik. Sayangnya Miranda tidak menyukai pemuda itu dekat dengan Hanin. Saat Miranda bertanya siapa pemuda itu, Miranda hanya ingin tahu seberapa jujur Hanin mengenai pemuda itu dan seberapa jauh Hanin mengenalnya.

1
D Asti
Semoga suka, baca kelanjutannya akan semakin seru loh
María Paula
Gak nyangka endingnya bakal begini keren!! 👍
Majin Boo
Sudut pandang baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!