NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:230
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28: KEKACAUAN DATA SENTIMENTAL

*KLANG.*

Pintu kontainer ditutup. Suara itu final, mematikan.

Napas Santi Ibrahim tercekat di tenggorokannya. Kegelapan di dalam trailer itu absolut, lebih pekat daripada malam di luar. Udara di dalamnya pengap, berbau apak, diesel, dan sesuatu yang lain—keringat dingin yang berbau ketakutan.

"Ke... kenapa gelap sekali?" bisik Santi, suaranya tegang. Dia masih memegang kameranya di dadanya seperti perisai.

"Cahaya menarik perhatian yang tidak diinginkan," sebuah suara datar menjawab dari kegelapan. Suara Rania.

Santi mendengar suara *klik* mekanis, lalu *BZZT-FLIK!*

Sebuah lampu neon tunggal di langit-langit berkedip-kedip hidup dengan enggan. Lampu itu memandikan interior yang berkarat itu dengan cahaya hijau pucat yang sakit-sakitan.

Pemandangan di depannya membuat Santi menelan ludah.

Tempat itu adalah bencana. Sebuah kantor lapangan yang hancur. Di depan sebuah monitor CRT kuno, duduklah wanita muda yang membukakan pintu. Rania. Dia kotor, mengenakan pakaian yang kebesaran, dan di tangannya, dia dengan santai memegang pipa rebar berkarat, ujungnya bertumpu di lantai. Dia tidak terlihat mengancam; dia terlihat *lelah*.

Di sudut, di atas tumpukan terpal, meringkuk sosok kedua. Seorang pria muda (Reza), sama kotornya, yang menatap Santi dengan mata terbelalak ngeri, seolah-olah *Santi* adalah monsternya.

Ini bukan narasumber. Ini adalah... sel teroris? Korban selamat?

"Duduk," kata RANIA. Dia menunjuk ke kursi kantor sobek di seberang meja dengan pipa rebar-nya.

Santi tidak bergerak. "Saya... saya lebih baik berdiri."

"Duduk," Rania mengulangi. Itu bukan permintaan. Itu adalah pernyataan fakta. "Anda membuat Reza gugup. Dan Anda menghalangi pintu keluar."

Santi, jantungnya berdebar kencang di tulang rusuknya, perlahan-lahan bergerak dan duduk di kursi yang berderit itu. Dia meletakkan kameranya di atas meja di antara mereka.

"Oke," kata RIA. "Anda di dalam. Sekarang giliran Anda."

"Giliran saya? Saya yang—"

"Data," potong RANIA, nadanya dingin dan tidak sabar. "Berikan pada saya. Semuanya. Apa yang dunia *normal* ketahui?"

Santi adalah seorang reporter investigasi. Dia tahu cara mengendalikan interogasi. Tapi ini... ini salah. Dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh robot yang sinis.

Dia mengambil napas, mencoba menemukan pijakan profesionalnya. "Oke. Oke. Dunia... dunia tahu ada 'ledakan gas'. Itu narasi resminya. Blok M, Jalan Merdeka, radius sepuluh blok, kini menjadi Zona Karantina Militer. Tidak ada yang boleh masuk, tidak ada yang boleh keluar. Pihak berwenang menyalahkan... 'kebocoran gas eksperimental' dari proyek konstruksi ilegal."

"Bagus," kata RANIA. "Itu *cover story* yang efisien. Apa lagi?"

"Kekacauan," kata Santi, nadanya kini lebih kuat saat dia masuk ke mode reporternya. "Sinyal seluler dan internet *down* di sebagian besar Jakarta Selatan. Mereka menyalahkan 'kerusakan infrastruktur' akibat ledakan. Tapi... itu tidak benar, kan? Saya sudah mengecek. Tidak ada kerusakan infrastruktur. Sinyal itu tidak *rusak*. Sinyal itu... *hilang*. Dihapus."

"Data yang bagus," kata Rania, hampir pada dirinya sendiri. "Kabut Perang."

"Dan... ada... *puzzle* lainnya," Santi mencondongkan tubuh, lupa sejenak dia sedang ketakutan. "Laporan-laporan aneh. Lonjakan besar-besaran panggilan 'gangguan kejiwaan' tepat sebelum ledakan. Semua orang mendengar 'suara' itu."

Di sudut, Reza tersentak mendengarnya.

"Dan patroli 302," lanjut Santi. "Dua petugas polisi pertama yang merespons. Mereka... lenyap. Hilang dari radio. Hilang dari GPS. Seolah-V..."

"Melaju keluar dari eksistensi," Rania dan Santi mengucapkannya bersamaan.

Keheningan.

Santi menatap Rania. "Bagaimana...?"

"Kami melihatnya terjadi," kata RANIA datar. "Kami berada di titik nol."

"Ya Tuhan..." Santi menatap kedua orang di depannya dengan kengerian baru. "Kalian... kalian selamat dari 'ledakan' itu?"

Reza tertawa. Suara yang mengerikan dan patah, yang membuat Santi melompat. "Kami tidak selamat," kata Reza dari sudut. "Kami hanya... tidak terhapus. Belum."

"Tutup mulut, Za," kata RANIA, tidak menoleh. Dia kembali fokus pada Santi. "Email."

"Apa?"

"Email yang Anda terima. Yang membawa Anda ke sini. Tunjukkan."

"Ah... ya." Santi merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya. Tangannya gemetar begitu hebat hingga dia hampir menjatuhkannya. Dia membuka aplikasi email-nya, layarnya menerangi wajahnya yang tegang.

"Ini," katanya, meletakkannya di atas meja.

Rania menarik ponsel itu mendekat dengan ujung pipa rebar-nya, tidak mau menyentuhnya.

*Dari: [ALAMAT TERENKRIPSI ACAK]*

*Subjek: (Tidak ada)*

*Isi:*

*1. [File: AUDIO_RESONANCE_OMEGA.wav]*

*2. 40.7128° N, 74.0060° W* (Contoh koordinat—kita akan gunakan koordinat Jakarta yang fiktif)

*6.2146° S, 106.8451° E*

"Itu," kata Rania, menunjuk ke file audio. "Putar."

"Sudah kubilang, isinya hanya—"

"Putar."

Santi menekan tombol *play*.

*SKRRRRREEEEEEEEEEEEECH...*

Suara statis bernada tinggi yang memekakkan telinga memenuhi trailer yang sempit itu. Reza langsung menjerit dan menutup telinganya. Santi meringis kesakitan.

Tapi Rania... Rania hanya menatap ponsel itu. Amulet di dadanya bergetar hebat. Dia merasakan sisa-sisa *data* dari suara itu. Gema yang rusak.

"Hentikan," perintahnya.

Santi buru-buru mematikannya. Keheningan kembali, terasa lebih berat.

"Itu... itu suara 'Koreksi' yang direkam," bisik Reza, gemetar.

"Itu peringatan," kata RANIA. "Itu adalah suar tembak. Dion."

"Dion?" tanya Santi.

"Pria yang menarik wanita itu ke dalam mobil di fotomu," Rania menunjuk ke kamera Santi. "Dia masih hidup. Dan dia mencoba... menghubungi seseorang. Dia mengirim *flare* ke koordinat ini."

Rania menatap Santi dengan tajam. "Dia tidak mengirimnya *padamu*, kan? Dia mengirimnya ke daftar kontak Ordo... atau mungkin... dia membocorkannya ke *pers* secara acak, berharap seseorang akan cukup bodoh untuk mengikutinya."

"Saya bukan bodoh!" bentak Santi, sisi jurnalisnya tersinggung. "Saya seorang reporter!"

"Anda seorang reporter yang baru saja melukis target raksasa di punggung Anda," kata RANIA dingin. "Anda adalah 'benang kusut' yang tidak mereka duga. Anda datang ke sini... Anda pasti diikuti."

Kepala Santi menoleh cepat ke pintu kontainer yang tertutup. "Apa? Tidak! Saya yakin saya tidak diikuti! Saya—"

"Tentu saja Anda yakin," kata RANIA. "Anda mencari *manusia*. Anda tidak mencari 'Pengamat'. Anda tidak mencari 'Pembersih'."

Santi menatap Rania, lalu ke Reza, lalu ke pipa rebar, lalu ke *hard drive* Rania yang tergeletak di samping monitor.

"Kalian," bisik Santi, akhirnya menyatukan semuanya. "Kalian... ada hubungannya dengan 'ledakan' itu, kan? Kalian bukan korban. Kalian... *penyebabnya*."

Rania bersandar di kursinya. Dia mengabaikan tuduhan itu.

"Apa yang Anda lihat di foto-foto itu, Santi?" tanyanya pelan. "Foto yang *glitch*. Bangunan yang 'meleleh'. Aspal yang 'terhapus'. Menurut Anda, apa itu?"

"Saya... saya tidak tahu," kata Santi. "Bom... EMP... senjata kimia..."

"Itu adalah desain ulang arsitektur," kata RANIA, suaranya kini nyaris berbisik, seolah-olah dia sedang menjelaskan kepada seorang anak kecil. "Itu adalah 'Denah' murni—dunia yang terbuat dari logika sempurna, tatanan murni, dan geometri—yang 'meluruskan' apa yang dianggapnya sebagai 'kesalahan desain'. Dan kesalahan desain itu... adalah kita."

Santi hanya menatapnya. Dia tidak mengerti kata-katanya, tapi dia merasakan kebenaran yang menakutkan di baliknya.

"Dunia ini," Rania melanjutkan, "adalah kompromi yang rapuh antara kekacauan manusiawi kita dan tatanan Gema yang dingin. Dan seseorang baru saja meledakkan bendungannya. Pria-pria yang Anda sebut 'teroris' itu... mereka adalah Faksi Pembersih. Puritan. Mereka ingin menghapus kita... menghapus *kekacauan* kita... dan mengembalikan dunia ke kondisi aslinya yang kosong dan sempurna."

"Dan kalian?" bisik Santi. "Kalian siapa?"

Rania menatap Reza, lalu kembali ke Santi.

"Kami," kata Rania, "adalah kekacauan itu."

Keheningan total. Hanya suara generator yang berirama.

Santi menelan ludah. Ini adalah cerita terbesar dalam hidupnya. Ini adalah akhir dari dunia. Ini adalah kegilaan.

"Saya... saya harus melaporkan ini," katanya, lebih karena insting daripada keyakinan.

"Melaporkan ke mana?" Rania tertawa. Itu adalah suara yang dingin dan tanpa humor. "Ke redakturmu, yang diperintahkan militer untuk menyebutnya 'ledakan gas'? Ke polisi, yang 'menghilang' begitu mereka terlalu dekat?"

Rania mencondongkan tubuhnya ke depan. Cahaya hijau monitor menerangi separuh wajahnya, membuatnya terlihat seperti hantu.

"Anda bukan wartawan lagi, Santi Ibrahim. Saat Anda menerima email itu dan datang ke sini, Anda menjadi *peserta*. Anda adalah kepingan *puzzle* di papan yang sama dengan kami."

Dia mengambil *hard drive* perak itu dari meja. "Bima—pria yang *sebenarnya* harus Anda takuti—sedang membangun sesuatu yang akan membuat 'Koreksi' di Blok M terlihat seperti percikan api. Dan dia membutuhkan ini." Dia mengangkat *hard drive* itu. "Ini adalah penelitian saya. Sebuah manual tentang cara *mengendalikan* Gema. Dan saya baru saja mengambilnya kembali dari sarang Gema-Mimic yang ingin 'meluruskan' saya."

Santi tidak bisa bernapas. Gema-Mimic? Bima?

"Anda ingin cerita?" RANIA menawarinya. "Inilah ceritanya. Anda sekarang memiliki pilihan."

Rania meletakkan pipa rebar di atas meja di antara mereka.

"Pilihan satu: Anda berjalan keluar dari pintu itu. Anda mengambil kamera Anda, file audio Anda yang menakutkan, dan foto-foto *glitch* Anda. Anda mencoba melupakan kami. Anda mencoba kembali ke kehidupan 'normal' Anda. Anda menulis cerita 'ledakan gas' Anda. Dan Anda berdoa agar Bima atau Pembersih tidak menyadari bahwa Anda adalah benang kusut yang tahu terlalu banyak. Bahwa Dion telah menandai Anda."

Mata Santi tertuju pada pintu.

"Atau..." RANIA menepuk monitor CRT di sampingnya. "Pilihan dua. Anda tetap di sini. Di dalam kuburan beton ini. Anda menjadi... aset. Anda bukan lagi wartawan. Anda adalah *mata* kami. Anda adalah koneksi kami ke dunia 'normal' yang Anda kenal. Polisi, militer, internet. Anda mencari data untuk kami di luar sana. Anda memberi tahu kami apa yang *mereka* katakan. Sebagai imbalannya..."

"Sebagai imbalannya... apa?" bisik Santi.

"Kami membuat Anda tetap hidup," kata Rania. "Dan Anda mendapatkan cerita terbesar dalam sejarah umat manusia. Dengan satu syarat."

"Apa syaratnya?"

"Anda tidak akan pernah bisa *menulisnya*."

Santi Ibrahim menatap wanita muda yang dingin dan logis di depannya. Dia menatap pria yang gemetar di sudut. Dia memikirkan foto-foto *glitch* itu. Dia memikirkan patroli 302 yang lenyap.

Dia melihat ke pintu, jalan keluarnya menuju kewarasan.

Lalu dia melihat kembali ke Rania.

"Oke," kata Santi, suaranya gemetar tapi mantap. "Saya... saya ikut. Apa... apa yang Anda ingin saya lakukan... Ra?"

Rania mengangguk sekali. "Bagus. Aset baru."

Dia berbalik ke monitor. "Reza. Beri dia biskuit."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!