"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Keresahan
Dari kegelapan yang temaram, muncul sosok Keynan.
“Kian.”
Langkah Kian terhenti. Ia mendongak.
Keynan menatapnya tenang, tapi tajam.
“Papa ingin bicara sebentar,” ucapnya datar. “Kita ke ruang kerja.”
Kian sempat terdiam, lalu mengangguk pelan. Tanpa sepatah kata pun, ia mengikuti ayahnya—langkah-langkah mereka menggema di lorong yang mulai sepi.
"Papa pasti akan menanyakan soal perusahaan," pikir Kian, mengingat kekacauan yang terjadi tadi pagi. Tapi entah mengapa, dadanya terasa berat.
"Kenapa aku merasa... bukan hanya itu yang akan dibahas Papa?"
Langkah mereka berhenti di depan pintu ruang kerja. Keynan membuka pintu, lalu menoleh sekilas. “Masuklah.”
Dan di saat itulah, firasat Kian menguat—akan ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar urusan bisnis yang akan dibicarakan malam ini.
Dalam ruang kerja, cahaya temaram dari lampu meja kerja menyinari sebagian wajah Keynan yang duduk tenang di balik meja kayu jatinya. Aroma kayu tua dan buku-buku tua di sekeliling ruangan menguar samar.
Kian duduk di seberangnya, menyandarkan punggung pada sandaran kursi dengan wajah lelah namun tetap tegak.
“Soal kontrak yang dibatalkan Broto,” buka Keynan, suaranya datar namun tegas. “Langkah apa yang kau ambil untuk mengatasi ini?”
Kian menarik napas panjang. Ini sesuai dugaannya.
“Kita akan coba ajukan renegosiasi ke investor lama. Yang sempat kita tolak karena tawaran Broto lebih menggiurkan.” Ia menatap ayahnya. “Atau… kita bisa lepas beberapa saham minoritas. Ada konsorsium baru yang aku temui bulan lalu. Mereka tertarik, tinggal pembicaraan lanjutan.”
Keynan mengangguk perlahan. “Itu langkah bijak. Asal jangan gegabah.”
Diam sejenak mengambang di antara mereka, hingga akhirnya Keynan menautkan jari-jarinya di atas meja dan menatap putranya lekat-lekat.
“Kian…” katanya pelan, namun dengan tekanan yang tak bisa diabaikan, “Papa ingin bicara soal Kanya.”
Kian mengangguk pelan. Dalam hati bergumam, "Aku merasa bagian ini adalah firasat buruk." Ia menatap ayahnya, tapi tak berkata apa-apa.
“Kami berharap,” lanjut Keynan, “kamu bisa membina rumah tangga yang bahagia dengannya. Kamu adalah suami sekaligus imam bagi keluarga kecilmu. Artinya, kamu harus bisa jadi pemimpin yang bijak. Kanya masih sangat muda. Dia butuh bimbingan. Dan kamu… harus mampu menjalankan peran itu dengan baik.”
Keynan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.
“Jujur saja,” ucapnya tenang, namun sarat makna. “Dibanding Friska, Papa dan Mama lebih menyukai Kanya. Meski kami baru mengenalnya, bahkan belum pernah melihat wajahnya... tapi kami bisa merasakannya.”
Tatapan Keynan menajam. “Dia gadis yang baik. Kami percaya, dia bisa menjadi istri yang menyejukkan—bagi laki-laki yang mau bersabar dan melihat lebih dalam.”
Kian membeku. Kata-kata itu seperti membentur dinding dalam dirinya yang telah lama retak.
"Ada satu hal lagi," lanjut Keynan, nadanya kini lebih tegas dan berat.
“Kau sudah menikah dengan Kanya. Jauh sebelum rencana pernikahanmu dengan Friska.”
Ia menarik napas. Kali ini, jedanya terasa seperti beban yang ditimbang hati-hati.
“Papa tahu, hatimu belum pulih. Kau masih mencintai Friska… dan belum bisa mencintai istrimu sendiri. Tapi Papa berharap… kau mau belajar melepaskan. Belajar membuka hati. Belajar menerima Kanya.”
Sorot mata Keynan tak tergoyahkan. Wajahnya tidak sedang marah, tapi ketegasannya tak menyisakan ruang untuk perlawanan.
“Satu pesan Papa…” suaranya lebih pelan, namun menggetarkan.
“Jangan pernah coba-coba bertemu dengan Friska lagi. Kau pria yang sudah beristri. Jaga kehormatanmu… di depan istrimu, dan di hadapan Allah.”
Diam. Senyap. Tapi berat.
“Lupakan mantan. Dan jangan harap kembali.”
Kian masih diam. Tak ada satu pun kata keluar dari mulutnya. Tapi di dalam hati, ia tahu—itu bukan sekadar nasihat. Itu peringatan.
Keynan melirik jam di dinding. Jarum panjang sudah lewat angka dua belas.
“Sudah larut,” ujarnya sambil bersandar. “Istirahatlah.”
Kian berdiri pelan. “Iya, Pa…”
Ia melangkah keluar dari ruang kerja itu. Langkahnya tenang. Tapi gejolak di dadanya jauh dari tenang.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, suara batinnya mulai berteriak. Keras. Namun hanya untuk dirinya sendiri.
“Baik menurut Papa dan Mama... belum tentu baik bagiku.
Aku yang akan menjalani rumah tangga ini. Dan aku tidak mencintai Kanya. Aku mencintai Friska.
Sejak awal, tak pernah ada rasa. Hanya luka. Luka karena keterpaksaan. Keterpaksaan karena tanggung jawab. Luka karena harga diriku dijatuhkan berkali-kali—oleh Kanya, dan ayahnya.
Dengan pondasi seperti ini… bagaimana mungkin rumah tangga bisa dibina?”
Langkahnya menyusuri lorong yang sunyi.
Tapi di dalam dadanya, badai baru saja dimulai.
Namun di balik pintu yang telah tertutup, Keynan masih terpaku di kursinya. Pria itu menghela napas panjang.
"Kau masih terlalu muda, Nak. Belum bisa melihat dunia dengan kedalaman hati. Jangan sampai kau baru sadar betapa berharga apa yang kau miliki setelah kau kehilangannya."
Ia menatap pintu yang baru saja dilewati putranya, mata menyiratkan keresahan. Ia mengenal Kian luar dalam—ego yang tinggi, ambisi yang terlalu besar, dan emosi yang mudah tersulut.
"Ego seperti itu bisa menjatuhkan. Bahkan menyesatkan. Dan Papa tak ingin itu terjadi padamu."
***
Setelah masuk ke dalam kamarnya, Kian menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Helaan napas kasar terhembus dari dadanya, tapi tak cukup meredakan gelombang pikiran yang berisik di kepalanya.
"Apa yang sebenarnya dia lakukan… sampai Papa dan Mama, yang bahkan baru mengenalnya pun, langsung membelanya?" gumamnya lirih, menatap kosong ke langit-langit kamar. “Menyebalkan.”
Namun saat kepalanya sedikit menoleh ke samping, ingatannya seperti memutar adegan pelan—bayangan Kanya yang semalam tidur di sisi ranjang itu. Wajah teduh, tubuh tertutup rapat, napas teratur… terasa terlalu nyata untuk dilupakan.
“Dulu dia pendiam. Bahkan cenderung menghindar. Sikapnya dingin, nyaris tak menyentuh. Tapi sekarang… dia mulai bicara lebih banyak. Lebih hangat.”
Kening Kian berkerut.
“Apa itu karena dia mulai dewasa… atau karena dia tahu bagaimana caranya mengambil hati orang tuaku?”
Rasa curiga itu masih bersarang—menancap dalam seperti duri.
Ego yang pernah terluka karena dipermalukan di hadapan publik belum juga sembuh.
Dan luka itu… menjadi penghalang terbesar untuk menerima Kanya kembali dalam hidupnya.
Ia memejamkan mata, tapi tetap terjaga.
Gadis itu mungkin telah kembali padanya...
Tapi tidak—bukan ke dalam hatinya.
Karena yang ia tahu, pernikahan ini bukan karena cinta.
Ia menikahi Kanya demi tanggung jawab—dan ambisi. Bukan karena hati.
Kian mengusap wajahnya kasar.
"Baru saja berniat menemui Friska… tapi Papa—huh..."
Sejak mengambil keputusan menikahi gadis itu, Kian merasa seperti terjebak dalam jebakan yang ia buat sendiri.
Malam berlalu dalam sunyi.
Namun dalam diam, hati Kian masih riuh… dipenuhi tanya yang tak kunjung usai.
***
Halaman depan pondok pesantren.
Mobil hitam berhenti tepat di bawah pohon mangga yang rindang, menaungi pelataran pondok yang sejuk. Suara mesin yang dimatikan menarik perhatian Kanya, Umi, dan Kyai Zubair yang baru saja turun dari mobil sederhana mereka.
Seorang pemuda tampan berpakaian rapi turun lebih dulu. Ia mengenakan kemeja koko putih bersih, celana kain, dan peci hitam yang terlihat serasi. Menyusul di belakangnya, seorang pria paruh baya dan wanita berhijab anggun ikut turun, keduanya menyiratkan keteduhan dan wibawa.
Ketiganya menyapa Kanya dan rombongan dengan senyum ramah.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” sapa si pemuda sambil menundukkan kepala sopan. Ayah dan ibunya menyusul mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Umi lembut, disusul Kanya dan Kyai.
Kanya dan Umi membalas dengan merekatkan kedua telapak tangan di depan dada, sedikit membungkuk penuh takzim.
Tak ada jabatan tangan. Hanya saling menghormati dengan cara yang menjaga adab.
Pemuda itu dan ayahnya menyalami Kyai dengan senyum ramah.
Sang ibu mendekat, matanya memandangi Kanya dengan kekaguman yang tidak disembunyikan.
“Subhanallah… anggun dan bersahaja sekali. Ananda pasti Kanya, ya?” tanyanya hangat.
Kanya mengangguk pelan. “Iya, Umi. Saya Kanya.”
Sang ibu tersenyum lebar. “Saya uminya Fadlan. Kami ke sini ingin silaturahmi... sekaligus menyampaikan niat baik. Dan kebetulan, niat itu berkaitan dengan Ananda Kanya.”
Kanya dan Umi saling bertukar pandang. Tatapan Umi tetap tenang, meski tersirat sedikit tanya.
Kyai Zubair melangkah satu langkah ke depan, senyumannya hangat menyambut. “Silakan, mari kita duduk di pendopo,” ujarnya lembut, penuh wibawa.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Waktu menolong Friska - Kian masih mengaku kekasihnya - w a d u h.
Kian - baru sadar - kenapa pergi menjemput Friska. Baru ingat kata-kata papa Keynan. Dinding yang tak tahu apa-apa kau tinju - kasihan.
Ee...eehh menyalahkan Kanya - gara-gara Kanya - orang kamu juga salah.
Kian - jangan mempermainkan ikatan suci yang namanya - perkawinan. Belajarlah kembali mencoba menerima kehidupan yang bukan pilihanmu - dan nyatanya saat dihadapan ayah Hasan - kau telah memilih jalanmu. Perlakukan Kanya dengan layak sebagai seorang istri - kalau Kanya sudah nyaman - wajahnya pasti dipersebahkan untukmu - Kian...wkwkwk.
Tinggal kamunya saja yang masih besarin EGO - gimana.
Makanan kampung sangat cocok dimulut bodel Kayden.
Dibedakin mukanya juga tidak protes sampai bikin ngakak ayah Xander - juga readers pastinya - donat...donat bertoping gula lembut /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.