Rayna tak pernah benar-benar memilih. Di antara dua hati yang mencintainya, hanya satu yang selalu diam-diam ia doakan.
Ketika waktu dan takdir mengguncang segalanya, sebuah tragedi membawa Rayna pada luka yang tak pernah ia bayangkan: kehilangan, penyesalan, dan janji-janji yang tak sempat diucapkan.
Lewat kenangan yang tertinggal dan sepucuk catatan terakhir, Rayna mencoba memahami-apa arti mencintai seseorang tanpa pernah tahu apakah ia akan kembali.
"Katanya, kalau cinta itu tulus... waktu takkan memisahkan. Hanya menguji."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iyikadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 - Mau Sampai Kapan?
"Ada langkah yang terlalu cepat sehingga tak sempat kujaga. Dan ada cahaya kecil yang kukirim, bukan untuk menerangi, hanya agar malam tahu aku masih di sana."
...***...
Matahari perlahan menguatkan cahayanya, membuat udara pagi yang semula sejuk berubah hangat dan menyenangkan.
“Jam berapa ini, ayo berangkat,” ujar Ben sambil menatap Rayna yang masih merapikan tasnya di depan rumah. Nada suaranya terdengar gemas, tapi bukan marah, lebih ke kebiasaan dia yang selalu ingin Rayna nggak telat.
Rayna buru-buru menghampirinya. “Iya, iya, sabar,” jawabnya sambil menarik napas kecil.
Ben memastikan helm Rayna terpasang, lalu mengangguk pelan. “Udah, ayo.”
Mereka melaju dengan motor, menembus udara pagi yang perlahan mulai hangat. Kota baru saja bangun, suara kendaraan masih belum terlalu ramai.
Sekitar pukul 07.43 mereka tiba di sekolah. Jarum merah jam besar di gerbang bergerak pelan, seakan memberi sedikit ruang sebelum bel pertama.
“Masih ada waktu sebelum jam delapan. Lo mau langsung ke kelas?” tanya Ben sambil melepas helm, rambutnya masih acak karena angin.
“Gue langsung aja. Lo?”
“Gue ke kantin dulu. David kayaknya udah nunggu,” jawab Ben sambil mengecek ponselnya.
"Emm oke,” jawab Rayna sambil berbalik hendak menuju kelas.
Tiba-tiba dari arah yang sedikit jauh terdengar suara langkah tergesa.
“Raynaaa! Tungguin gue!” teriak Eve sambil setengah berlari menghampiri.
“Eh, Eve… lo baru dateng juga?” Rayna menyambutnya, sedikit kaget.
“Hehe iya. Tadi gue naik ojek online.” Eve menatap Rayna sambil menaikkan alis nakal. “Lo bareng sama Ben lagi?”
“Iya hehe.”
“Tuh kaaan,” Eve mendorong bahunya pelan. “Kalian pacaran, ya?”
“Engga kok,” Rayna cepat menjawab sambil menggeleng. “Kita tadi ketemu di peresmian kantor mama gue. Dia dateng nganter mamanya juga. Jadinya pulang bareng.”
Padahal sebenarnya mereka sudah lebih dari sekedar pacaran.
“Ooh… gitu yaa,” sahut Eve sambil tersenyum kecil—senyum yang jelas menunjukkan ia nggak sepenuhnya percaya.
Rayna mengalihkan topik cepat-cepat. “Eh, gimana ujian kali ini? Gampang gak sih soalnya?”
Eve langsung mendelik. “Ciaelah gaya banget. Yang anak olimpiade mah pasti ngerasa gampang lah.”
“Ehhh nggak gitu loh,” Rayna protes sambil tertawa, pipinya memerah sedikit.
“Tapi iya sih, kemarin soalnya gak terlalu susah… Gak tau tuh hari ini,” kata Eve sambil menghela napas panjang.
Rayna ikut berjalan di sampingnya, merapatkan tali tasnya. “Iya, gue juga agak was-was. Katanya Bu Rani suka ngasih soal jebakan.”
“Ih iya! Makanya gue semalem sampai ngulang materi dua kali,” gerutu Eve, tapi ekspresinya lebih ke panik lucu daripada serius.
Rayna menahan tawa. “Lo ngulang materi dua kali? Kapan? Abis nonton drama jam sepuluh?”
Eve langsung melotot. “Ssst! Jangan keras-keras! Gue tetap belajar tau, cuma… ya… setelah episode pentingnya selesai.”
Rayna terkekeh. “Pantesan lo lari-lari tadi.”
“Ya namanya juga hidup, Na,” Eve menjawab dramatis.
“Harus seimbang antara pendidikan dan kebahagiaan.”
Rayna mengangguk pura-pura serius. “Iya, iya, calon motivator.”
Mereka berdua tertawa pelan sambil terus melangkah menuju kelas, suasana pagi yang tadinya biasa jadi terasa lebih ringan.
Sesampainya di kelas, Rayna dan Eve langsung duduk di tempat masing-masing, Rayna di baris kedua, Eve di sebelahnya. Tak lama, Bu Rani, guru matematika yang dikenal ketat, masuk dengan tumpukan kertas soal di tangan.
Ujian berjalan dengan cepat, meskipun ada beberapa soal yang bikin kepala pusing, Rayna akhirnya bisa menyelesaikannya semua. Setelah waktu habis dan soal dikumpulkan, hari sekolah pun melanjutkan sampai jam pulang.
Matahari sudah sedikit meredam sinarnya ketika bel pulang mulai melaung. Kelas langsung ramai. Ben langsung bangun dari tempatnya, menyapa David dan beberapa temen lain di baris belakang. Lalu keluar kelas lebih dulu menyisakan Rayna dan Eve.
Rayna dan Eve pun mulai menyusun tas, lalu berjalan keluar kelas bersama. Baru beberapa langkah, Eve menarik lengan Rayna.
“Rayna, bareng dong pulangnya!”
Rayna berbalik, tersenyum. “Ehh.. ayo deh.”
Eve mendekat dengan langkah cepat, malu-malu menggaruk lehernya. “Tapi temenin gue ke toilet dulu ya? Sudah nahan dari jam pelajaran terakhir, bikin pusing deh.”
Rayna mengangguk dengan lembut. “Oke lah. Ayo.”
Mereka berdua pergi ke toilet.
Saat menunggu Eve di luar toilet, Rayna berdiri sendirian, mata melirik ke sana ke mari. Tiba-tiba, langkah kaki yang dia kenal terlalu baik terdengar dari jauh.
Ben datang menghampiri, wajahnya terlihat lega tapi langsung berubah jadi ragu ketika melihat dia sendirian.
“Ternyata lo disini,” ujarnya dengan napas lega. “Gue cariin lo dari tadi."
Rayna terkejut, langsung mendekat dan menundukkan suaranya. “Ngapain lo kesini ih?”
“Ya nyariin lo lah, kan tadi gue bilang mau nunggu di gerbang,” jawab Ben, tatapannya menatap Rayna dengan serius.
“Ben.. ada Eve disini,” bisik Rayna cepat, mata melirik pintu toilet.
Ben mengerjap, sambil clingak-clinguk ke sekeliling. “Mana gak ada.”
“Ada ih, bentar lagi dia keluar toilet. Lo pulang duluan aja, gue nanti naik ojek online,” pinta Rayna dengan nada tergesa-gesa.
Ben mengangkat alis, tidak puas. “Dih, bareng gue aja kan lebih enak.”
“Engga engga, udah sana, keburu Eve datang!” rayu Rayna lagi, tangan dia sedikit menyentuh lengan Ben.
“Lagian emang kenapa sih kalau dia datang?” tanya Ben, suaranya sedikit naik, terdengar sedih dan kesal.
“Ben.. gue gamau dia tau..” kata Rayna pelan, mata dia tidak berani menatap Ben.
Ben terdiam sejenak, wajahnya berubah jadi kecewa. “Mau sampai kapan?”
“Udah udah, pokonya lo duluan aja. Lo ke rumah gue aja langsung, nanti kita bicarain disana ya,” pinta Rayna lagi, suara penuh permohonan.
Ben hanya bisa menghela napas, wajahnya terlihat kecewa dan sedikit marah. Tanpa berkata apa-apa, dia berbalik dan pergi meninggalkan Rayna, langkahnya terasa berat.
Tak lama setelah itu, pintu toilet terbuka dan Eve keluar, wajahnya terlihat lega. Dia melihat Rayna yang seolah terkejut, lalu menatap ke arah yang Ben lewati.
“Lo ngomong sama siapa tadi?” tanya Eve dengan ragu. “Keknya gue denger lo ngomong sama seseorang dari dalam.”
Rayna segera tersenyum pura-pura. “Oh engga, itu tadi petugas kebersihan nanyain kenapa gue belum pulang, hehe.”
Eve mengangguk, tidak terlalu curiga. “Oalah, ayolah kita balik.”
“Eh, lo bisa naik busway depan situ kan?” tanya Eve, menunjuk ke arah jalan raya yang terlihat dari pagar sekolah.
Rayna mengerjap, melihat ke arah yang Eve tunjukkan. “Emm, kayanya bisa deh. Cuma emang perlu jalan lagi ke dalemnya, agak jauh sih. Tapi gapapa, entar gue pesen ojek online disana.”
Eve melotot, terkejut. “Ehh, serius? Yaudah lo naik ojek online aja kalau gitu, capek juga jalan jauh.”
Rayna tersenyum, menggeleng pelan. “Gapapa, ayo. Gue pengen nyobain juga naik busway bareng lo hari ini.”
"Emm oke deh, ayo kedepan."
"Oke oke."
Mereka pun melangkah ke halte busway. Saat menunggu, tiba-tiba...
BRMMM… BRMMM…
Terdengar bunyi motor sangat kencang terdengar, Ben ngegas sepenuhnya. Mereka melihat dia melewati depan halte dengan kecepatan yang cepet, motornya berdentum karena gasnya terlalu keras.
Rayna menyadari langsung, Ben benar-benar emosi dan marah padanya. Bunyi motornya yang menggelegar seolah menggambarkan perasaannya yang kacau.
Dia menundukkan kepala, hati sedikit terasa menyakitkan.
Setelah naik dan duduk di bagian belakang busway yang masih sepi, Rayna mengeluarkan ponselnya.
Dia mengambil selfie dengan Eve yang sedang melihat keluar jendela, lalu mengirim fotonya ke Ben beserta pesan: "gue jadinya naik bus bareng eve"
Sepanjang perjalanan, mereka ngobrol membicarakan semua hal dengan seru, mulai dari drama yang baru tayang, cerita teman sekelas, sampai curhatan tentang ujian tadi, hingga tak terasa Rayna telah sampai di perhentian yang paling dekat dengan rumahnya, walau sebenarnya masih agak jauh.
Rayna pamit duluan ke Eve dan turun dari busway.
Kemudian ia menepi ke pinggir jalan dan hendak pesan ojek online. Tapi beberapa menit setelah mengirim pesanan, bunyi motor yang ia kenal terdengar.
Ben datang dan berhenti di depannya.
"Ayo naik," ujarnya singkat.
"Loh Ben..? Gue udah pesen ojol," kata Rayna terkejut.
"Batalin," katanya dengan nada ketus.
"Ih gue gak enak lah," lirih Rayna.
"BATALIN!?" Ben meningkatkan suaranya sedikit, mata dia menatap Rayna dengan tegas.
"Oke," jawab Rayna pelan, langsung membuka aplikasi dan membatalkan pesanannya. Setelah itu, dia naik ke belakang motor Ben.
Motor Ben melaju perlahan di jalan. Rayna terdiam, memikirkan nada ketus Ben, dan menggenggam jaketnya lebih erat, Ben langsung melambatkan kecepatan.
Cahaya rumah Rayna sudah terlihat dari kejauhan.
Bersambung...