Suatu kondisi yang mengharuskan Zidan menikahi Khansa, teman masa kecilnya yang tinggal di desa, atas permintaan terakhir neneknya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Disisi lain, Zidan memiliki kekasih setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Pernikahan itu terjadi karena satu syarat yang diberikan Khansa, mau tidak mau Zidan menerima syaratnya agar pernikahan mereka bisa berlangsung.
Bagaimana kehidupan pernikahan Zidan dan Khansa?
Lalu bagaimana hubungan Zidan dengan kekasihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lentera Sunyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Murung
Zidan tersenyum lega melihat Khansa yang mulai memakan makanannya. Setelah sekian kalinya bujukan yang ia lakukan, akhirnya Khansa luluh dan mau makan.
“Aku mohon jangan seperti itu lagi,” ujar Zidan yang membuat Khansa mendongak menatapnya.
“Maaf, Zi. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir. Jujur aja aku tidak merasa lapar sama sekali,” ungkapnya.
Zidan hanya tersenyum, memperlihatkan jika dirinya tidak mempermasalahkannya. “Aku tau, tapi tetap aja kamu harus tetap makan. Ingat, apapun hasilnya itulah yang terbaik. Masih banyak cara, jika kamu memang masih mengharapkan beasiswa. Aku bisa bantu kamu dengan meminta informasi dari teman-teman aku yang menjadi keanggotaan. Aku yakin dia pasti memiliki banyak informasi mengenai beasiswa.”
“Sungguh?!” tanya Khansa yang sedikit memiliki harapan. Ia juga tau, sangat tidak mungkin akan bergantung pada beasiswa ini.
Saingannya sangat banyak, jadi sangat wajar jika kali ini Khansa tidak lolos.
“Tentu saja, jadi jangan berkecil hati jika hari ini belum lolos. Ah iya, jika tidak salah sekitar dua minggu lagi perkuliahan akan dimulai, jika memang kamu tidak lolos, kamu harus segera mendaftar. Atau kamu tidak akan bisa berkuliah di tahun ini.”
Ada sedikit rasa kekecewaan mendengar apa yang dikatakan oleh Zidan. Tentunya Zidan menyadarinya.
“Kamu percayakan sama aku?” Zidan menatap mata Khansa.
Khansa mendongak menatap balik ke arah Zidan. Sejujurnya ada perasaan ragu, tapi tidak ada salahnya jika Khansa mencoba percaya pada Zidan. Khansa mengangguk, “Aku percaya. Jadi, apa yang harus aku lakukan nantinya?”
“Kita tunggu hasilnya, kalau tidak sesuai dengan harapan kamu. Biarkan aku yang akan mendaftarkanmu di universitas yang kamu inginkan, dan tentunya juga sesuai dengan prodi yang kamu inginkan.”
Khansa menatap lekat wajah Zidan, ia berpikir kenapa semakin hari Zidan selalu memberikan perhatian padanya. Bahkan saat teman-temannya mengajaknya untuk nongkrong, Zidan dengan tegas menolaknya. Ia lebih memilih menghabiskan waktu bersama dengannya, meski hanya menonton dan duduk manis di taman.
“Baiklah, aku akan mengikuti apa yang kamu putuskan. Kamu juga pasti tau mana yang terbaik dan mana yang tidak.” Zidan tersenyum, saat Khansa mempercayai dirinya.
Dalam hatinya ia berkata, Apa mungkin ini permulaan yang baik? Aku harap memang seperti itu. Aku tidak akan merusak kepercayaan yang kamu berikan padaku.
“Baiklah, kita tunggu malam ini. So? Apa kamu sudah selesai makannya?” Khansa mengangguk pelan. Ia memang sudah selesai karena tidak menghabiskan semua makanannya, masih ada beberapa suap nasi, tapi Khansa memilih untuk tidak menghabiskannya.
“Tapi makanan kamu masih ada, Sa. Kamu habiskan ya?” bujuk Zidan yang mendapat gelengan dari Khansa.
Hanya helaan nafas Zidan yang terdengar, ia juga tidak mungkin memaksa Khansa. Situasi saat ini membuat Khansa tidak memiliki selera makan yang baik. Zidan sangat paham akan hal itu, setidaknya Khansa masih mau memakan makanannya atau nantinya akan jatuh sakit.
“Baiklah tidak apa. Sekarang apa yang ingin kamu lakukan?” Khansa diam termenung, memikirkan apa yang harus dilakukannya. Saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan.
“Aku tidak tau, mungkin aku akan istirahat untuk hari ini. Aku harus mengumpulkan tenaga dan menguatkan mental untuk malam nanti.” Setelah mengatakan itu, Khansa menundukan kepalanya.
Zidan ikut merasa sedih melihat Khansa yang terus terusan murung. Tidak ada senyuman yang terpancarkan di wajahnya. Senyum hangat yang setiap harinya Zidan lihat, hari ini tidak ada sama sekali. Yang ada hanyalah senyuman sendu.
“Sa,” panggilnya. Saat ini Zidan sudah bersimpuh di depan Khansa.
Khansa membelalakan matanya melihat Zidan yang duduk di lantai. “Zi!” Khansa beranjak dari kursinya, membantu Zidan untuk berdiri.
Namun, Zidan menarik Khansa dan terjatuh ke pangkuannya. “Dengar, aku tau jika kamu sedang khawatir, dan mungkin aja kamu sedang sedih. Tapi jangan terus berlarut seperti itu.”
Zidan langsung mengangkat tubuh Khansa, “Aku tidak akan membiarkanmu seperti ini terus menerus sampai malam nanti.”
“Zi? Kamu mau bawa aku kemana?” tanya nya yang berpegangan saat Zidan mulai melangkahkan kakinya.
“Kita ke kamar, mungkin ada sesuatu yang bisa kita lakukan agar kamu bisa terhibur dan tidak murung seperti ini.” Khansa mengalungkan tangannya di leher Zidan, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Zidan.
Zidan tersenyum tipis melihat istri kecilnya yang justru semakin dekat dengannya. Walaupun suasana hati Khansa sedang tidak baik, tapi justru membuat kesempatan untuknya.
“Sa?” Khansa mendongak saat Zidan memanggilnya. “Ada apa?”
“Tidak ada, hanya saja aku sedikit merasa terganggu karena kamu murung seperti ini. Hari ini aku tidak melihat senyumanmu sama sekali. Tidak bisakah kamu memperlihatkannya padaku?” Pinta Zidan dengan raut wajah yang memohon.
Langkah Zidan berhenti tepat di depan kamarnya, ia tertegun karena Khansa mencium pipinya tiba-tiba. Jangan ditanya kondisi Zidan saat ini. Ia sangat terkejut, bahkan saat ini ia menjadi seperti patung karena tindakan Khansa.
“Zi?” panggil Khansa, sayangnya tidak ada respon dari Zidan.
Khansa menepuk pelan pipi Zidan, “Zi? Kamu nggak papa?” tanya Khansa lagi dengan menepuk pipi Zidan.
“A-ah iya?” Zidan menjadi kikuk dan sedikit menegang. Jantungnya berdegup sangat kencang.
“Kamu kenapa?” Zidan menggeleng, sangat tidak mungkin ia memberitahu Khansa jika dirinya saat ini sedang salah tingkah.
“Biar aku aja,” cegah Khansa saat Zidan akan membuka pintu kamarnya.
Khansa sedikit membusungkan tubuhnya, seketika pintunya kamar mereka terbuka. Zidan langsung membawa Khansa masuk ke dalam kamar, menurunkannya di atas kasur.
Zidan yang masih salah tingkah, ingin duduk di sofa. Namun, Khansa menahan tangan Zidan.
“Kenapa, hm? Kamu butuh sesuatu? Katakan saja.” Zidan meraih tangan Khansa.
Khansa menggeleng, menarik Zidan untuk duduk disebelahnya. Zidan hanya bisa mengikuti arahan Khansa.
Begitu Zidan duduk, Khansa langsung memeluk Zidan dari samping. “Bolehkan?” Khansa mendongak.
“Tentu,” dengan senang hati Zidan membalas pelukan Khansa.
Untuk pertama kalinya Zidan benar-benar merasa sangat senang. Mereka berdua sudah beberapa kali berpelukan, saat akan tidur atau jika ada kesempatan, itupun Zidan yang memeluknya. Dan saat ini, Khansa yang memeluknya. Sebuah progres yang baik untuk hubungan mereka berdua.
“Jangan terlalu dipikirkan, aku tau kamu pasti bisa. Jika kamu mau, kamu bisa membiayainya sendiri. Bukankah kamu ingin bekerja?”
“Kamu mengizinkan aku?” tanya Khansa yang memandang wajah Zidan.
“Aku tidak akan melarang jika itu sudah menjadi keinginanmu. Aku akan membantu jika memang diperlukan, mama juga memintaku untuk mendampingi kamu untuk sementara. Jadi, jangan pernah sungkan untuk mengatakan apa yang mengganjal di hatimu.” Zidan juga memandang Khansa yang bersandar di dadanya.
Khansa diam termenung, ada rasa bersalah yang muncul dalam hatinya. Perlakuan Zidan yang selalu baik padanya. Sedangkan responnya yang kurang, membuat Khansa merasa tidak enak hati.
“Zi—”