Mess Up!
Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.
Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 22 Lebih Membutuhkan
Dia dipanggil Lya. Bersekolah di SMP negeri 3 yang tidak jauh dari sekolah swastaku. Sejauh kuamati, dia tidak pernah terlihat memiliki teman, laki-laki maupun perempuan. Setiap pulang sekolah hanya ada pria tinggi bersurai hitam yang menjemputnya.
Dia jarang tersenyum. Kesan anak suram sangat melekat pada dirinya. Kerah tinggi tidak pernah absen dari balik seragamnya. Dari Senin hingga Jumat, hingga membuatku penasaran.
Apa dia pernah mencuci turtlenecknya itu?
Aku diam menatapi buku harianku. Bengong membaca kembali kalimat terakhir yang kutulis di sana. Kemudian kulirik jauh sosok Lya yang berada di kejauhan 5 meter dari tempatku duduk mengamatinya.
"Bukankah aku seperti penguntit?" gumamku.
Ya, sejak pertemuan pertama kali, aku menghabiskan masa kelas 3 SMPku untuk memperhatikannya. Bahkan aku tahu SMA tujuan Lya sehingga aku juga mempersiapkan diri untuk masuk ke sana.
Aku ingin mengenalnya. Aku ingin menjadi temannya secara alami. Perasaan aneh yang kurasakan di pertemuan pertama kami, ingin kupastikan. Perempuan itu berhasil menarikku dari rasa bosan yang mengelilingku sejak pindah sekolah.
"Kalau aku menyukai perempuan... Apa tidak masalah?" tanyaku tiba-tiba pada kedua orangtuaku, saat makan malam.
Mereka terdiam pada awalnya, saling bertukar pandang sebelum tersenyum padaku. Mengusap kepalaku dengan lembut.
"Lakukan sesukamu, Lulu. Cukup jangan sampai terluka."
Itu kata mereka. Seperti biasa mereka pasti memihakku, meski aku tahu ada sedikit kekecewaan di hati mereka. Yah, untuk yang satu ini, aku hanya menebaknya.
Kemudian ujian akhir SMP berlalu seolah dalam satu kedipan mata. Kini aku duduk di ruang kelas di SMA tujuanku—untuk melakukan ujian masuk. Dan orang yang duduk di sebelahku adalah Lya.
Aku tidak mengajaknya berbicara, dia juga tampak tidak ingat padaku. Namun sepanjang ujian, sesekali aku melirik padanya. Mengantuk, memijat kepala, menulis jawaban, dan ada satu detik mata kami tidak sengaja bertemu. Hanya dengan itu saja, ujian masuk terasa istimewa. Cukup untukku menandai kalender dan menjadikannya salah satu hari spesial.
"Selamat! Karena diterima di SMA tujuanmu, Lulu!" Kedua orangtua selalu merayakan hal kecil. Berhasil lolos di ujian masuk bagiku bukan hal besar. Aku yakin dengan yang kukerjakan, makanya sudah pasti aku diterima.
Yang kupikirkan saat ini adalah Lya. Aku memandang keluar jendela, menatap langit malam. Membayangkan wajah gadis itu di bentangan hitam tanpa bintang di atas sana. Merasa cemas dan penasaran.
Apa Lya berhasil masuk ke SMA itu? Karena jika tidak, aku akan dengan senang hati mengundurkan diri dan mengikutinya.
Dan sekali lagi, ternyata Tuhan memang menyayangiku.
"Kamu bisa memanggilku Lulu!"
Hari pertama masuk sekolah menengah atas adalah hari yang paling membahagiakan untukku! Bagaimana tidak? Di hari pertama, aku segera bisa menemukan Lya, bahkan berada di kelas yang sama dengannya!
Lya berair muka bingung pada awalnya. Memang benar tidak ada tanda bahwa ia mengingatku. Mungkin jika kutunjukan luka yang kututup dengan concealer dia akan ingat, tapi aku memang tidak mau dia sampai mengingat pertemuan pertama kami.
Yahhh, meski aku merasa aneh juga. Bisa-bisanya dia melupakan wajah secantik ini? Padahal wajahku bukan wajah yang mudah dilupakan.
"Siapa namamu? Biasa dipanggil apa?" tanyaku karena tidak mendapat respon apapun dari Lya.
"Ah... Lya saja..." Jawaban canggung khas anak tersisihkan.
"Hehehehe, boleh aku jadi temanmu?" permintaanku itu disambut dengan suka hati oleh Lya.
Sejak itu kami berteman dekat. Hanya berdua. Mengukir kenangan semasa sekolah yang bahagia bersama Lya.
Seharusnya begitu, tapi aku lupa sejenak bahwa aku manusia populer.
Masa SMA ku sama seperti sebelumnya. Para lalat terkadang mendekatiku, berusaha sok dekat, menjahiliku meski reaksi ku dingin. Bahkan ada yang langsung menyatakan perasaannya. Aku merasa kesal. Karena mereka, waktuku dan Lya menjadi berkurang!
Lya akan langsung merasa canggung ketika berada di dekat lelaki. Aku tak ingin ia merasa tidak nyaman sehingga kubiarkan Lya sendiri ketika aku mengurus para lalat itu.
Namun karena itu, para perempuan brengsek bermuka dua jadi mendekati Lya.
Sore hari, ketika pulang sekolah, aku menyembunyikan diri di balik dinding. Tidak segera memasuki kelas hanya untuk menguping obrolan yang dilakukan geng anak perempuan di kelasku, di sana juga ada Lya.
"Lya~ Apa menurutmu Luna itu tidak menyebalkan?"
Luna adalah nama asliku. Kebanyakan dari mereka memang memanggilku begitu. Yah, panggilan Lulu memang aku khususkan untuk Orangtuaku dan Lya saja.
"Kamu selalu ditinggalkan begini sedangkan dia sibuk cari perhatian cowok-cowok. Apa kau tidak sebal?" aku tidak tahu itu suara siapa, tapi nada bicaranya menyebalkan.
Aku ingin menyela, ingin membawa Lya menjauh dari mereka, akan tetapi aku mengurung niat. Entah mengapa, dalam hatiku, anak itu ingin kuuji. Apa dia sama palsunya dengan mereka? Yang membicarakanku di belakang.
Memikirkan itu membuat jantungku berdebar keras. Selama hidup itulah moment menegangkan bagiku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan kalau benar Lya ternyata sama saja dengan mereka. Sudah pasti aku akan menjauhinya, tapi aku terlanjur menaruh rasa padanya.
"Lulu tahu aku merasa canggung pada mereka... Makanya dia membiarkanku selagi menjauhkan cowok-cowok yang mendekatinya." Itulah yang dikatakannya.
Mataku terbuka lebar. Kuintip isi kelas, hanya untuk melihat sosok Lya. Wajahnya tegas, tidak tertulis keraguan dan rasa takut. Jawabannya membuat teman sekelas di sana diam.
"Kau ini... Tidak seru, ya?" ungkap salah satu cewek di sana pada Lya. Membuat tanganku terkepal erat mendengarnya.
"Kalau begitu tinggal tidak usah mengajakku ngobrol, kan?" Lya membalas, entah sengaja atau tidak. Balasannya sukses membuatku menyembur tawa. Menarik perhatian anak-anak di dalam kelas. Aku ketahuan.
"Hei, kalian ini sudah SMA, kan? Kenapa, sih masih pakai trik murahan, menghasut orang untuk memusuhiku?" Itu aku yang muncul dari ambang pintu, melontarkan sindiran jelas pada mereka. Senyum sombong kupasang di wajahku.
Anak-anak perempuan di SMA cenderung pengecut. Entah mengapa mereka lebih memilih pergi dari pada menghadapiku secara langsung. Meninggalkanku dan Lya di ruang kelas berdua.
Dalam diam, di tengah hujanan sinar jingga yang masuk lewat jendela, aku menoleh pada Lya. Wajahku datar, membuat tubuh Lya sekilas tersentak. Mungkin ia berpikir aku marah? Entahlah.
Aku melangkahkan kakiku, mendekatinya yang duduk di bangku dekat jendela dengan wajah bingung. Ketika aku berdiri di depannya, ia mendongak. Aku mencondongkan tubuhku ke depan, memakai alasan menutup gorden untuk semakin dekat dengannya.
Wajah kami kini sangat dekat. Kutatap mata hitam itu. Matanya memang seperti lubang hitam di angkasa sana. Yang mampu menghisap apapun tanpa bisa kembali. Dan aku berhasil terhisap oleh mata itu. Perasaanku pun rasanya tidak bisa kembali normal di hadapannya.
Aku dapat merasakan wajahku memanas, memerah namun beruntung karena tersamar sinar senja. Aku mengigit bibirku, menahan diri untuk tidak melewati garis batas meski jantung ini sudah bergejolak.
"Aku menyukaimu Lya," ujarku. Yang ditangkap Lya adalah ungkapan wajar antar teman.
"Aku juga menyukaimu, Lulu..."
Kamu mengatakan 'juga', tapi Lya, rasa suka kita jelas berbeda. Kamu memandangku hanya sebagai seorang teman. Tapi aku berharap dapat memilikimu, sebagai seorang teman, sahabat, dan mungkin kekasih.
***
Sejak itu, aku dan Lya semakin dekat. Kami berbagi kisah secara alami. Hingga pada akhirnya, aku mengetahui sesuatu yang tersembunyi di balik kerah tinggi yang selalu ia kenakan.
Aku mengetahuinya tanpa sengaja.
Itu terjadi ketika selesai pelajaran olahraga dan kami berganti pakaian. Lya selalu berganti pakaian di bilik toilet sendiri. Hari itu mungkin Lya sedang tidak fokus sehingga lupa mengunci bilik. Dengan lancang aku pun masuk. Berseru dengan suka ria, mengatakan ingin ganti baju bersama.
Saat itu kami berdua membatu. Sejenak aku lupa perasaanku pada Lya itu adalah perasaan yang menyertai nafsu, sehingga sempat kupandangi tubuhnya yang hanya memakai dalaman. Namun tidak lama, karena mataku segera jatuh pada satu hal yang membuat denyut nadiku berkedut ganas.
Leher Lya. Penuh garis kontras. Seperti bekas luka lama yang dalam. Sangat banyak sehingga membuatku kehilangan kuasa mengontrol ekspresi. Lya pun sama, wajahnya panik, dengan cepat menutupi lehernya.
Di detik berikutnya, aku segera keluar. Menutup pintu bilik dan membiarkan Lya sendiri di sana. Dan aku, berdiri di baliknya, dengan senyum merekah, merasakan kepuasan karena akhirnya dapat melihat sesuatu di balik kerah tersebut.
"Kamu... Melukainya?" tanyaku.
Lya akhirnya bercerita tentang bekas luka di leher itu. Tentang Kakaknya yang meninggal dengan cara mengerikan, dan ia yang menemukan pertama kali. Tentang Ayah, keluarga, dan teman masa kecilnya.
Aku segera membenci mereka semua. Termasuk orang yang berada di kubur itu.
Karena keluarga sendiri, Lya menjadi anak yang suram, tertutup dan memiliki banyak trauma seperti ini. Yang membuatku kesulitan untuk membuka hatinya beberapa kali.
Aku juga tidak menyukai teman masa kecil itu. Aku tidak suka fakta bahwa Lya ternyata sangat mengandalkan pria yang sering kali menjemputnya sepulang sekolah.
Mungkin terkesan jahat, tapi dari pada simpati dan iba, rasa marah dan cemburu lebih menguasaiku.
"Bisakah kau merahasiakannya...? Aku tidak ingin menarik perhatian orang-orang di sekolah." Permintaan itu, tanpa dikatakan pun, aku pasti akan merahasiakannya.
Aku tidak ingin lagi ada orang yang mengenal Lya selain diriku. Aku tidak bisa berbuat apapun tentang teman masa kecilnya, tapi setidaknya, aku sebagai teman perempuan satu-satunya yang akan membuat Lya menjadi anak yang lebih ceria. Aku yakin perasaan cintaku lebih besar dari 'orang-orang itu'.
"Menyedihkan."
Leo. Pertama kalinya kami bertemu ketika aku mampir ke rumah Lya. Tidak sampai masuk, hanya mengantar sampai depan rumah karena kami janjian pulang berjalan kaki berdua. Hanya saja, ketika Lya sudah masuk rumah, pria itu menghadangku.
"Apa maksudmu menyedihkan!" bentakku pada perkataan menusuk Leo barusan.
"Kau itu naif. Merasa paling dekat karena mengetahui rahasia yang Lya sembunyikan..." Leo terus menerus menyentil egoku. "Hei, coba pikirkan, apa dia akan bercerita tentang traumanya jika saja tidak kau pergoki? Apa kau sadar, yang menganggap hubungan kalian berharga hanya kau seorang?"
Perkataan Leo tidak bisa kubantah. Selama berteman, kami memang berbagi cerita, tapi sebenarnya cerita dari Lya hanyalah hal remeh. Seperti kegiatannya dan hal yang ia makan. Entahlah.
Aku mengabaikannya karena yang terpenting bagiku berada di sisi Lya. Aku berpikir berlebihan, bahwa kami telah sangat dekat, tidak terpisahkan. Bahkan mungkin aku bisa memilikinya segera.
Namun, pria itu, teman masa kecilnya, sekilas aku langsung tahu bahwa kami berdua adalah orang yang sejenis. Kami menaruh obsesi yang aneh pada Lya. Sehingga tatapan rendah yang diberikan orang itu sukses membuat mentalku terguncang.
"Kau tidak ada ketika dia berada di titik terendahnya. Bertemanlah biasa. Jangan berpikir untuk masuk ke dunianya." Perkataan terakhir dari Leo sukses membuat air mataku mengalir. Tidak. Aku memang sengaja mengeluarkan air mataku, karena aku tahu Lya sedang menyaksikan.
Lya yang tadi masuk ke rumah, kembali keluar karena melihatku masih berdiri di sana bahkan bersama Leo. Timing Lya keluar sangat tepat, aku menangis dan Leo dengan tatapan mengintimidasi. Saat itu aku berpikir tentang kemenangan.
"Ada apa? Kenapa kamu menangis, Lulu?" tanya Lya.
"Lya... Aku..." Aku hendak melontarkan kebohongan, namun tidak pernah kutebak bahwa Leo ternyata lebih lihai sampai membuatku kehilangan kontrol.
"Dia baru saja kutolak. Kau ingat aku pernah bilang seperti diikuti seseorang? Yahh, secara kebetulan, sepertinya itu temanmu ini." Itu penjelasan Leo yang ia lempar pada Lya.
"Tidak! Bukan begitu!" seruku, ingin mengelak perkataan Leo. Hanya saja, ternyata Lya lebih mempercayai teman kecilnya dibanding diriku.
Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya. Yang kusyukuri hanya satu, kami masih bisa berteman. Tapi sejak itu, aku menjadi lebih penik berada di dekat Lya. Menjadi terburu-buru dan tidak sabaran. Menjadi suka cemas sendiri. Takut jika Lya benar-benar hanya menganggapku teman SMA biasa dan suatu saat akan menghilangkanku dari hidupnya.
Hingga saat kelulusan SMA, rasa cemas berlebihanku mendorongku untuk menyatakan perasaan padanya.
"Aku menyukaimu." Pernyataanku membuat matanya terbuka lebar. "Bukan sebagai teman, tapi sebagai kekasih! Aku ingin jadi pacarmu, Lya!" Aku meluruskan sebelum ia salah mengartikan.
"Bukankah kau menyukai Leo?" Pertanyaan itu menyulut emosiku.
"Sudah kubilang bukan begitu, kan! Aku itu menyukai perempuan! Tidak! Aku menyukaimu! Selama ini hanya Lya!" Wajahku memanas, air mata seakan menumpuk di otak, berdesakan memaksa keluar.
"Tidak bisa ya, kita tetap berteman?"
***
Sejak itu, aku merasa lega ketika pertemananku dan Lya berlanjut hingga kuliah. Meski kampus yang kami masuki berbeda, tapi kami selalu bermain bersama. Berjalan-jalan, menonton, dan makan bersama. Lya seakan sengaja mengabaikan pernyataanku, tapi tidak apa karena dia masih disisiku.
Dan akan kubiarkan teman masa kecil itu. Toh, kami berada di posisi yang sama. Tidak bisa menjadi kekasih Lya.
Semula aku ingin masuk jurusan perhotelan, namun sejak bertemu Lya tujuan hidupku berubah. Aku memilih memasuki jurusan Psikolog. Dengan harapan suatu saat aku bisa memahami lebih diri Lya dan membuka hatinya dengan pengetahuanku.
"Sepertinya kita tidak bisa banyak jalan berdua lagi. Ada orang yang ingin kuprioritaskan sekarang." Pengumuman dari Lya sukses membuat kepalaku pusing seperti habis dipukul palu besar.
Siapa orang itu? Leo? Sejak kapan cowok sial itu berani melewati batasnya sebagai teman masa kecil?!
Pikiranku berantakan. Tidak pernah hal ini masuk dalam perkiraanku.
"Siapa?" tanyaku.
Lya hanya diam. Ia memandang entah ke arah mana sambil menyunggingkan senyum tipis, penuh kasih sayang. Senyuman yang seharusnya ditunjukan untukku!
"Kau tidak mengenalnya, dia teman kuliahku."
Sejenak aku lupa. Aku lengah. Selama 4 semester perkuliahan, tidak pernah kudengar Lya bercerita tentang teman kuliahnya. Sehingga kusimpulkan, dia masih aman dalam jangkauanku.
Tiba-tiba saja, tanpa adanya angin atau hujan, dia bilang sedang berpacaran dengan seorang dari kampusnya? Rasa marahku memuncak. Hingga mulutku spontan mengucapkan hal yang seharusnya kukubur saja.
"Kau ingat, kan kalau aku ini menyukaimu, Lya," ucapku membuat Lya terdiam.
Merasa frustasi, kuserang bibir itu. Memberi patukan sekilas yang membuat matanya melotot.
Setidaknya ciuman pertamanya adalah satu-satunya yang bisa kuklaim.
Dengan itu, hubungan kami sempat menjauh, Lya dan aku jarang bertukar pesan. Antara aku yang sengaja menghindar atau Lya yang telah melepaskanku.
Tidak lama, ketika tahu pria seperti apa kekasih Lya itu, aku sempat ingin merelakannya. Karena aku dapat melihat perubahan dari diri Lya berkat bersamanya. Ben pun tampak tulus pada Lya.
Akan tetapi pria itu dengan bodoh mendorong Lya untuk memaafkan keluarganya. Sumber kehancuran Lya. Kupikirkan berkali-kali, kenapa harus memaafkan semudah itu tanpa membalas sesuatu pada mereka? Aku tidak rela!
"Ternyata memang aku, kan yang cocok untuk berada di sisi Lya?" gumamku pada diri sendiri.
Kata orang, anak-anak yang memasuki jurusan psikologi, kebanyakan adalah orang yang lebih membutuhkan psikolog itu sendiri. Dan ya, aku tidak menyangkal. Karena saat ini, di otakku hanya terus berpikir keras, bagaimana memisahkan Lya dari Ben? Bagaimana memiliki Lya seutuhnya? Melenyapkan semua lalat disekitar Lya?
Aku tahu, sejak kecil aku adalah anak yang gila bahkan sampai saat ini. Mungkin itu sebagai ganti dari kehidupan nyaris sempurnaku dari Tuhan.
.
.
.
To Be Continue
Kenapa orang jomblo di bilang gak laku? Kan kita gak jualan 🗿
Lagian gw merasa ditipu jirr. Gw kira cuma bercanda doang makanya gw iyain 🗿
𝑫𝒊 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒌𝒆𝒍𝒐𝒑𝒂𝒌 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 𝒊𝒏𝒊, 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒍𝒊𝒑 𝒅𝒐𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒓𝒊𝒆𝒓𝒎𝒖 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎, 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉, 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒖𝒋𝒖𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂𝒌𝒂𝒏.
✿⚈‿‿⚈✿