“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Melindungi Diam-diam
Suara meja digebrak menggema. Semua murid tersentak dan menoleh serentak. Kevin berdiri, tubuhnya tegak, sorot matanya menusuk ruangan. Suasana seketika membeku.
Tanpa sepatah kata, ia melangkah maju. Detik-detik terasa melambat. Murid-murid menahan napas, menunggu. Bahkan Kevia pun menatap dengan sisa harap terakhir di matanya. "Apa… dia akan membelaku?"
Namun langkah itu terus maju, melewati kerumunan. Dan tanpa menoleh, Kevin berjalan lurus keluar aula.
Harapan Kevia runtuh. Bibirnya gemetar, senyum pahit menyelinap tanpa bisa ia cegah.
"Dia juga percaya aku mencuri…?" Dadanya sesak, antara hancur karena ditinggalkan, dan lega karena mungkin, dengan Kevin menjauh, Riri tak akan lagi menjadikannya sasaran.
Di lorong, jauh dari tatapan semua orang, Kevin terus berjalan. Wajahnya tetap datar, tapi bibirnya melengkung tipis. Samar, sebuah senyum dingin yang bukan senyum.
"Tenang, Kevia," batinnya bergetar. 'Aku lihat semuanya. Dan aku akan pastikan kebenaran berdiri di pihakmu… dengan caraku sendiri."
Setelah Kevin melangkah keluar, riuh di aula perlahan mereda. Riri dan Ani saling melirik, senyum kecil lolos di sudut bibir mereka. Senyum yang terlalu puas untuk bisa disembunyikan.
"Rencana ini berhasil," batin Riri, menahan tawa kecil sambil mengibaskan rambutnya angkuh. "Kevin jelas tak peduli lagi pada si miskin itu."
Ani ikut menunduk, pura-pura sibuk merapikan buku, padahal dalam hatinya meletup senang. "Setelah ini, Kevin pasti tak akan sudi lagi dekat-dekat dengan Kevia."
Kevia menangkap sekelebat senyum mereka. Dadanya bergetar. "Jadi… semua ini untuk menjauhkan Kevin dariku?"
Ia memejamkan mata sesaat, menahan sesak. Lalu menarik napas dalam, berusaha memaksa pikirannya tetap logis. Ia harus siap. Setidaknya untuk membela diri ketika masalah ini sampai ke guru.
Suara seorang murid tiba-tiba memecah ketegangan.
“Sebentar! Kayaknya lebih baik ini kita laporin ke guru. Biar jelas.”
“Betul!” sahut yang lain, wajahnya keras.
“Aku juga gak mau ada pencuri di kelas kita. Biar aku aja yang lapor.”
Sekejap, suasana kembali bergolak. Semua mata lagi-lagi tertuju pada Kevia. Gadis itu menegakkan punggung, meski tangannya di sisi tubuhnya bergetar hebat.
Kevin melangkah cepat ke ruang guru. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menusuk. Ia berdiri tegak di depan wali kelas mereka.
“Bu, Kevia dituduh mencuri uang kas bendahara. Tapi saya yakin ini skenario untuk menjebaknya. Sebelum itu, kelas kami tiba-tiba dipenuhi bau busuk. Lalu hanya Kevia yang disuruh masuk sendirian mengambil tas. Tolong selidiki masalah ini sebaik mungkin. Jangan sampai siswi secerdas Kevia difitnah. Dan… mohon perhatikan Riri dan Ani. Mereka berdua selalu mencari masalah dengan Kevia.”
Wali kelas terdiam sejenak, menatap Kevin dengan alis berkerut. “Kamu yakin?”
Kevin mengangguk mantap. “Ya, Bu. Saya melihat pola mereka. Ini terlalu kebetulan.”
Menarik napas panjang, wali kelas mengangguk. “Baik. Akan Ibu selidiki lebih dalam. Nanti Ibu minta Pak Anton, untuk mengecek rekaman CCTV. Untuk sekarang, kamu kembali ke kelas.”
Kevin menunduk singkat. “Terima kasih, Bu.”
Saat keluar, ia melihat dua murid lain yang juga hendak melapor. Kevin segera menyelinap, tak ingin ketahuan. Dari balik pintu, ia sempat mendengar wali kelas memberikan jawaban serupa kepada mereka. Bibirnya melengkung tipis.
“Bagus. Semakin banyak suara, semakin kuat,” batinnya.
Di aula, suasana kian panas. Kevia berdiri terpojok, wajahnya pucat.
“Ketahuan malingnya!” teriak seorang murid.
“Pura-pura polos padahal nyolong!” sahut yang lain.
“Dasar miskin, lapar uang, ya?”
“Udah jelas banget, masih ngeles juga!”
Kevia menunduk, tubuhnya bergetar. “Aku… aku gak ambil…” suaranya hampir tenggelam oleh cemooh yang makin keras.
Ani melipat tangan di dada, pura-pura kecewa. “Via, tega banget kamu. Duit itu buat kepentingan kelas, loh. Kok bisa kamu khianati kita semua?”
Riri menambahkan dengan nada menusuk, “Udah lah, jangan sok suci. Semua bukti ada di tas kamu sendiri.”
Tawa sinis terdengar di antara kerumunan.
“Pantes tadi sok heroik mau ambilin tas. Ada maunya ternyata.”
“Eh, jangan-jangan dia yang bikin bau busuk di kelas juga?”
“Hahaha, biar bisa pura-pura jadi pahlawan.”
Kevia ingin membela diri, tapi lidahnya terasa terkunci. Air matanya hampir jatuh.
Tiba-tiba—
“Cukup!”
Suara Kevin membelah keributan. Tegas, berat, dingin. Seperti cambuk, membuat semua murid spontan terdiam.
Ia berdiri di pintu aula, tatapannya menusuk. Langkahnya perlahan masuk, tiap hentakan sepatu terdengar jelas di ruangan yang mendadak hening.
“Duduk. Sekarang.”
Beberapa murid yang masih berdiri langsung terduduk, nyali mereka menciut.
Kevin berhenti di tengah, matanya menyapu seluruh ruangan. “Kalau kalian terus ribut begini, kalian bukan sedang mencari kebenaran. Kalian hanya jadi hakim jalanan. Selain itu, di sini kalian tidak berhak memutuskan siapa yang benar dan salah.”
Tak ada yang berani menjawab. Riri dan Ani saling melirik gelisah.
Kevin melanjutkan, suaranya dingin tapi terkontrol. “Guru akan datang. Kita tunggu penyelidikan. Kalau masih ada yang berani menghakimi…” ia berhenti sejenak, menatap tajam ke arah kerumunan. “Tanggung akibatnya.”
Ruangan benar-benar membeku. Hanya terdengar detak jam dinding yang mengiringi keheningan itu. Kevia mendongak pelan, menatap Kevin. Ada secercah harapan di balik matanya yang sembab.
Suara pintu aula berderit. Semua kepala sontak menoleh. Wali kelas, Bu Ratna, melangkah masuk dengan tatapan tajam yang langsung meredam sisa keributan.
“Ibu mendapat laporan,” suaranya jernih tapi berat, “bahwa ada pencurian uang kas di kelas ini. Dan yang dituduh… adalah kamu, Kevia.”
Suasana makin mencekam. Ani segera angkat bicara, suaranya penuh keyakinan.
“Betul, Bu! Kami semua saksi. Uang kas yang Natali simpan ada di tasnya Kevia. Itu bukti paling jelas.”
Riri cepat menyambung, nada suaranya meninggi.
“Kalau begitu, Bu, dia harus dihukum. Kalau dibiarkan, nanti makin berani!”
Bu Ratna menatap keduanya dengan sorot tajam. “Cukup. Semua yang bersalah memang harus dihukum. Tapi… setiap orang berhak membela diri. Ibu ingin mendengar langsung dari Kevia.”
Beliau menoleh. “Kevia, jawab dengan jujur. Apa benar kamu mencuri uang itu? Kalau iya, apa alasanmu?”
Semua mata tertuju pada Kevia. Jantungnya seakan meloncat ke tenggorokan. Tapi ia menarik napas panjang, menahan gemetar.
“Tidak, Bu. Saya tidak mencuri.”
Ani langsung menyela, suaranya nyaring.
“Ah, Bu, untuk apa ditanya lagi? Bukti sudah jelas ada di tasnya! Satu kelas jadi saksi.”
Riri menimpali dengan nada sinis.
“Benar, Bu. Kenapa harus bertele-tele? Hukuman saja langsung.”
Namun tatapan Bu Ratna seketika menusuk mereka. “Yang tidak diminta bicara, diam.”
Ani dan Riri sontak bungkam, meski wajah mereka merah menahan emosi.
Bu Ratna kembali menatap Kevia, nadanya lebih lembut. “Lanjutkan, Kevia.”
Dengan suara bergetar tapi mantap, Kevia melanjutkan.
“Saya benar-benar tidak tahu kenapa uang itu ada di tas saya. Tapi saya yakin… ini sudah direncanakan. Tadi kelas tiba-tiba bau busuk sekali. Lalu saya dipaksa masuk sendirian untuk mengambil tas semua murid. Setelah itu, baru tas saya ditemukan berisi uang kas. Bu, saya rasa ada kaitan antara bau busuk itu dan hilangnya uang. Semua ini… sengaja dibuat agar saya terlihat bersalah.”
Suasana mendadak riuh dengan bisik-bisik.
“Bau busuk?”
“Apa hubungannya sama pencurian?”
Riri langsung mengangkat tangan, wajahnya dipenuhi tawa sinis.
“Bu, maaf, tapi… serius? Apa hubungannya bau aneh dengan uang kas? Ngaco. Itu cuma akal-akalan Kevia biar keliatan jadi korban.”
Beberapa murid mengangguk, ikut-ikutan.
“Iya Bu, gak nyambung banget alasannya.”
“Bau ya bau, nyolong ya nyolong. Jangan dicampur aduk.”
Kevia merasakan dadanya sesak, tapi ia berusaha tetap tenang. “Justru di situlah letak masalahnya. Kalau tidak ada yang sengaja membuat kelas bau, saya tidak mungkin disuruh masuk sendirian. Kesempatan itu yang dipakai untuk menjebak saya.”
Guru mengangkat tangan, meminta semua murid diam. Tatapannya beralih ke Riri dan Ani yang tampak gelisah.
“Logis atau tidak, kita tidak bisa mengabaikan perkataan Kevia begitu saja. Semua yang terjadi hari ini… harus Ibu selidiki sampai tuntas.”
Kelas kembali hening. Kevia menunduk, napasnya berat tapi lega. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ada suara yang tidak langsung menghakiminya.
Pintu aula diketuk. Semua kepala serempak menoleh. Pak Anton, petugas yang bertanggung jawab atas CCTV sekolah, masuk dengan membawa laptop dan kabel proyektor.
“Ibu, saya bawa rekaman sesuai permintaan,” katanya singkat.
Suasana aula seketika hening. Semua murid menahan napas saat layar putih di depan dinyalakan. Detik berikutnya, rekaman CCTV diputar.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....