Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26
Mobil melaju perlahan menyusuri jalan berkabut. Pepohonan pinus menjulang di sisi kanan-kiri, berdiri seperti saksi bisu atas percakapan dua jiwa yang tak lagi sekadar bertukar tawa, namun mulai menyentuh ranah rasa yang lebih dalam.
Kia bersandar tenang di kursi depan. Tatapannya menerobos jendela, mengamati hamparan aspal sepi yang terbentang di depan mata. Tangan kirinya memegang botol minum, sementara jemari kanan bermain dengan ujung kerudung. Diam-diam, pikirannya dipenuhi pertanyaan lama yang belum sempat ia lontarkan.
Mobil menuruni kawasan perbukitan menuju wilayah Bandung. Suasana kian hening. Tak ada lagi candaan atau gombalan khas yang biasanya mengalir. Hanya deru roda dan bisikan alam yang menyelimuti perjalanan.
Hingga akhirnya…
“Ustadz…” panggil Kia lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam desiran angin yang masuk dari jendela terbuka.
Damar melirik singkat. “Hm?”
Kia menggigit bibir bawah, ragu-ragu, namun sorot matanya menandakan kesungguhan.
“Aku mau tanya sesuatu tapi tolong jawab sejujurnya, ya?”
“Insya Allah,” ucap Damar pelan, sambil memperlambat laju kendaraan agar pembicaraan lebih tenang.
Kia menarik napas dalam-dalam, lalu bertanya dengan suara nyaris bergetar,
“Ustadz… mencintaiku?”
Sejenak tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menggantung.
“Pernikahan kita baru sebulan. Aku tahu semua ini karena perjodohan. Tanpa proses saling mengenal, tanpa cinta yang tumbuh dari awal. Jadi benarkah ada rasa itu? Atau hanya sekadar kewajiban sebagai suami?”
Damar diam, lalu menepi ke pinggir jalan. Mesin dimatikan, dan pandangannya mengarah lurus pada wajah perempuan yang kini sah mendampinginya. Kabut tipis di luar kaca tampak menari perlahan, menciptakan suasana hening yang syahdu.
“Kia,” panggilnya lembut, “pertanyaanmu bukan hal sepele, jadi aku akan jawab dengan sungguh-sungguh.”
Tatapan Kia menguat, menunggu dengan seluruh keberanian yang ia punya.
“Bagiku, cinta bukan hasil dari proses pendekatan atau ketertarikan sesaat. Tapi keputusan sadar yang aku serahkan sepenuhnya kepada Allah. Saat aku ucapkan ijab itu, itu bukan sekadar akad tapi komitmen untuk mencintai, membimbing dan menerima.meski kita saling tak mengenal secara utuh.”
Ia menghela napas sejenak, lalu melanjutkan.
“Awalnya aku pun bingung harus mulai dari mana. Kita tak punya banyak waktu membangun kedekatan. Tapi setiap hari bersamamu, ada keyakinan tumbuh bahwa Allah tidak salah menitipkan kamu padaku.”
Kia menunduk matanya mulai berkaca.
“Cinta ini belum sempurna. Tapi aku sedang membangunnya, perlahan. Bukan karena paksaan, melainkan karena kerelaan. Kamu bukan hanya pendamping sahku, tapi perempuan pertama yang mau belajar agama bukan karena suruhan, tapi karena keikhlasan.”
Damar menggenggam tangan istrinya hangat.
“Jadi, iya. Aku mencintaimu. Dengan cara yang terus kupelajari setiap hari. Semoga rasa ini tumbuh, bukan hanya di dunia tapi hingga ke negeri abadi nanti.”
Kia tak mampu berkata-kata. Hanya air mata haru yang menjawab. Bukan karena terluka, tapi karena akhirnya merasa dihargai, diterima, dicintai.
Di balik jendela, kabut Bandung masih menyelimuti. Namun di dalam mobil itu, dua hati yang dulu bersatu karena perjodohan kini mulai menyatu karena kehendak-Nya.
Setelah percakapan yang menyentuh itu, mobil kembali melaju menembus jalanan yang menurun. Kabut mulai menipis, berganti dengan udara segar yang terasa lebih hangat saat sinar matahari menyelinap dari celah pepohonan. Langit Bandung perlahan cerah, menyambut kedatangan mereka dengan suasana yang menenangkan.
Kia membuka jendela sedikit. Angin lembut menerpa wajahnya, membawa aroma pinus dan tanah basah. Matanya menyapu pemandangan yang tersaji di depan yaitu hamparan bukit, kebun teh yang menghampar hijau, dan rumah-rumah kecil yang tersebar di kejauhan seperti titik-titik damai di dunia yang sibuk.
“Masya Allah… indah banget ya, Tadz,” gumam Kia tanpa sadar.
Damar melirik sebentar, tersenyum. “Alam itu dakwah juga, Kia. Nggak ngomong, tapi ngajarin kita banyak hal. Tentang sabar, tentang tunduk, tentang ketenangan.”
Mobil melewati jembatan kecil yang di bawahnya mengalir sungai jernih, batu-batu besar tertata alami.
Sesekali terlihat anak-anak kecil berlari-lari, membawa layangan atau hanya bermain lumpur. Senyum mereka seolah menyapa Kia, membuat hatinya ikut tersenyum.
“Bandung selalu begini?” tanya Kia, kali ini lebih ceria.
“Kadang mendung, kadang cerah. Tapi seperti hati manusia kalau disyukuri, apapun cuacanya jadi indah,” jawab Damar sambil menyalakan lampu sein untuk belok ke sebuah jalan kecil menuju villa penginapan mereka.
Tak lama kemudian, mobil berhenti di halaman sebuah rumah kayu bergaya klasik yang dikelilingi taman dan pohon besar. Udara di sana jauh lebih sejuk, dengan suara burung saling bersahutan menyambut pagi.
Kia turun dari mobil, menarik napas dalam-dalam. Udara itu, suasana itu, dan perasaan di dadanya semuanya terasa baru, seperti membuka lembaran hidup yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Selamat datang di tempat tenang versi kita,” ucap Damar sambil mengambil koper dari bagasi.
Kia tersenyum. Kali ini tulus. Bukan karena Bandung yang memesona, tapi karena perjalanannya hari ini membuatnya merasa dimiliki tanpa harus meminta.
Dan untuk pertama kalinya, ia mulai percaya bahwa pernikahan ini bukan sekadar takdir yang ditetapkan manusia, tapi mungkin petunjuk lembut dari-Nya.
Baru saja mereka menuruni mobil, angin Bandung menyambut dengan sejuk. Kia melangkah pelan di samping ustadz Damar, wajahnya teduh walau tangan mereka tak bersentuhan. Tapi cukup dari sorot mata mereka, orang bisa melihat betapa ada ikatan yang lebih dalam dari sekadar genggaman tangan.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari arah teras masjid kecil yang berdiri tak jauh dari tempat mereka menginap, terdengar bisik-bisik. Pelan, tapi cukup jelas untuk menyayat.
"Itu yang pakai jaket hitam, itu kan Kia? Perempuan mualaf yang viral itu?"
"Iya, katanya jenius, tapi tetap aja mualaf. Nggak cocok sama ustadz Damar."
"Masya Allah, nikah baru sebulan udah gaya banget. Padahal belum bisa ngaji juga katanya."
Telinga Kia menangkap semuanya. Setiap kata seperti serpihan kaca kecil yang menyentuh luka yang belum benar-benar sembuh. Tapi ia tidak menunduk. Tidak pula balik bertanya. Ia hanya menarik napas pelan, matanya melirik suaminya sekilas.
Ustadz Damar mengerlingkan mata, memberi kode tenang. Lalu ia merangkul pundak Kia ringan, tanpa kata, tapi cukup untuk menjawab semua keraguan.
"Ujian itu bukan untuk merendahkan, Kia," bisik Damar pelan saat mereka berbelok ke halaman dalam. "Tapi biar kamu tahu, siapa yang Allah kuatkan hatinya."
Kia menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. Tapi bukan karena sedih. Tapi karena kali ini, ia tak merasa sendiri.
Dalam hatinya, ia berkata lirih, "Aku memang belum tahu banyak tentang agama, belum bisa ngaji dengan lancar, tapi aku tahu, aku ingin mencintai Allah… lewat caraku, lewat sabarnya aku menghadapi cemoohan ini."
Dan langkah mereka terus berlanjut. Tanpa membalas. Tanpa membusungkan dada. Tapi dengan tenang, Kia menatap ke depan karena ia tahu, menjadi istri seorang ustadz bukan tentang sempurna, tapi tentang belajar bersama setiap hari.
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣