**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. KEHILANGAN
Tepat pukul tiga dini hari. Langit masih gelap, hanya bintang-bintang samar yang menyaksikan. Di dalam kamar bernuansa gelap dingin itu, Arven berdiri di depan pintu kamarnya. Satu tangan menggenggam koper besar berwarna hitam, dan satu tangan lainnya menggenggam ponsel yang layarnya menampilkan satu nama, Nadra.
Ia diam. Jari-jarinya sempat gemetar. Tatapannya kosong, menimbang, bertarung antara keinginan untuk bicara, dan rasa takut menganggu tidur gadis itu. "Ah, sudahlah," gumamnya lirih. Akhirnya, ia menekan tombol hijau.
Panggilan tersambung. Satu detik, dua, sepuluh. Satu menit. Waktu terasa berjalan lambat. Hingga menit ke sepuluh, Arven menghela napas panjang, jarinya hendak menekan tombol merah.
📱 "Halo?" suaranya kecil, serak, dan jelas masih setengah tertidur. "Arven? Kak Arven?" Ia memanggil pelan dari seberang, berulang-ulang, namun Arven hanya terdiam, menatap lantai. Hatinya bergetar mengingat semua kenangan sejak mereka bertemu. "Arven? Halo? Kalau kamu nggak jawab, aku matiin ya."
📱 Arven akhirnya membuka suara. Suaranya berat dan dalam. "Nadra, apa kau masih mengingat seorang remaja pria berusia 17 tahun yang sering duduk sendiri di taman kota?"
Sunyi sejenak.
📱 "Waktu itu, kamu masih 8 tahun. Kamu menemani almarhum ayahmu jualan balon."
📱Di seberang, terdengar suara napas pelan. Lalu Nadra menjawab, suaranya mulai jelas. "Iya, kakak lelaki yang baik itu, yang suka kasih aku cemilan, nggak bisa aku lupakan. Tapi aku nggak pernah tahu dia siapa, atau di mana sekarang. Padahal aku pengen banget ucapin terima kasih."
📱Arven menahan napas. Air matanya sudah menggenang di pelupuk. Namun ia segera menyeka pipinya dengan punggung tangan. "Pemuda itu, adalah aku."
📱 Senyap. Lalu terdengar suara kecil terkejut. "Ka-kamu? Kakak pemberi makanan manis itu?!"
📱"Iya," jawab Arven pelan, serak.
📱Terdengar tawa kecil dari Nadra, namun sarat haru. "Pantas dari awal aku merasa akrab. Kamu seperti kakakku sendiri. Ternyata kamu bukan cuma seseorang yang hadir saat aku sedih, kamu juga bagian dari masa kecilku."
📱Arven memejamkan mata. Kalimat itu seperti tusukan sekaligus pelukan. "Nadra," ucapnya, "gadis kecil yang cengeng yang pemberani, aku harap kamu bahagia, selalu jaga diri. Dan-" ia menarik napas, "ingat, Agra itu pria dewasa. Jangan sampai terjebak rayuannya."
📱Nadra tertawa kecil. "Iya, tenang aja. Aku nggak selemah itu kok."
📱Arven tersenyum miris, tapi matanya masih basah. "Kalau suatu hari Agra mencampakkanmu, jangan segan cari aku. Aku akan segera menjemputmu, di mana pun kamu berada."
📱Terdengar tawa kecil lagi dari seberang. "Kak Arven, kenapa kata-katamu malam ini kayak ucapan perpisahan, ya?"
📱Arven menunduk. Lalu ia berkata, dengan suara bergetar namun mantap. "Karena mungkin ini memang perpisahan. Dan aku ingin kau tahu satu hal, aku tidak akan pernah menikah dengan wanita mana pun, kecuali kamu."
📱Sunyi. Lalu suara Nadra terdengar, pelan dan menggoda. "Wah, pernyataan besar ya."
📱Arven tertawa pelan, getir, tapi tulus. Lalu, dengan suara paling lembut yang pernah ia ucapkan, ia mengakhiri semuanya. "Selamat tidur, gadis kecilku."
Panggilan berakhir. Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap. Lalu ia menarik napas panjang, meraih gagang pintu, dan membukanya. Arven melangkah keluar dari kamar. Langkahnya berat, tapi pasti. Dunia luar menantinya, dan mungkin juga, luka-luka baru yang akan terus menguji hatinya. Namun untuk malam ini, dia telah mengucapkan semuanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Siang itu, matahari menggantung malas di langit mendung. Nadra berlari kecil melintasi trotoar, melewati pejalan kaki dan lalu lintas kota yang ramai. Napasnya memburu, peluh mulai membasahi pelipis, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal, Arven.
Setibanya di kafe tempat ia bekerja, Nadra langsung menerobos masuk melewati pintu kaca dan menyapu ruangan dengan pandangannya. Ia menyapa beberapa pengunjung dan rekan kerja dengan anggukan singkat, sebelum langsung menuju dapur. Tapi yang ia cari, tidak ada di sana.
"Arven mana?" tanyanya buru-buru pada salah satu koki.
"Ndak tahu," jawab si koki, kebingungan.
Nadra kembali menyisir tidak sudut ruangan tempat Arven biasa duduk, bersandar, atau mencatat resep. Tapi tetap nihil. Jantungnya terasa tak tenang.
Dengan langkah cepat, ia menuju kantor kecil di ujung kafe. Mengetuk pintu, dan masuk setelah mendengar suara dari dalam. "Pak Dion," suaranya terdengar cemas. "Maaf, apa Bapak tahu ke mana Arven? Dia nggak kelihatan dari tadi."
Pak Dion mendongak dari balik meja kerjanya, wajahnya tampak ragu sejenak sebelum menjawab. "Arven sudah berhenti, Nadra."
Ucapan itu membuat dunia seolah membeku sejenak. "Apa maksud Bapak?" suara Nadra pelan, hampir tak terdengar.
"Dia pamit tadi malam, katanya ada urusan keluarga yang sangat penting. Mendadak sekali, bahkan aku pun tak sempat banyak bertanya."
Nadra menunduk. "Oh baik, terima kasih, Pak." Ia keluar ruangan itu dengan langkah gontai. Udara terasa lebih berat dari biasanya. Matanya menatap kosong ke lantai saat pikirannya berputar tak menentu. Saking sibuknya dengan pikirannya, Nadra tak sadar menyenggol bahu seseorang. "Eh, maaf," ucapnya refleks, sebelum matanya bertemu dengan sosok Cynthia.
Cynthia melipat tangan di depan dada, menatapnya dengan senyum miring. "Kau sudah membuatnya pergi."
Nadra tertegun, bibirnya menganga sedikit, namun tak ada kata yang keluar. Lalu ia mengangguk pelan, seolah tak ingin memberi reaksi berlebihan, dan kembali berjalan melewati Cynthia tanpa menoleh.
"Hati-hati, Nadra," tambah Cynthia setengah berbisik. "Kadang yang pergi nggak selalu kembali."
Kata-kata itu menggantung di udara seperti kabut. Tapi Nadra menepisnya. Ia memaksa dirinya berdiri tegak dan berjalan menuju ruang kerja. Pikirannya kacau, dadanya sesak, tapi ada satu hal yang jelas, Arven pergi dan dia bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal.
...----------------...
...****************...
...****************...
Malam itu, jam menunjukkan pukul 00:17. Udara terasa dingin dan sunyi menyelimuti kota yang mulai tertidur. Sebuah mobil hitam berhenti di depan kafe.
Agra turun sebentar, membukakan pintu untuk Nadra seperti biasanya. "Maaf, lama menunggu?" tanya Agra lembut.
Nadra hanya menggeleng kecil. Ia masuk ke dalam mobil, duduk diam. Wajahnya tampak bingung, mata sayu seolah menyimpan ribuan pertanyaan yang tak bisa diucapkan.
Agra menatapnya sesaat, khawatir. "Nadra, ada apa? Kamu kelihatan nggak seperti biasanya."
Nadra masih menunduk. Suaranya pelan, hampir berbisik. "Tadi subuh jam tiga, Arven sempat nelepon aku. Dia ngomong hal-hal yang aneh, aku nggak ngerti maksudnya. Terus, siang ini Pak Dion bilang Arven udah nggak kerja."
Agra menarik napas panjang, kemudian menyalakan mesin mobil. Kendaraan itu melaju pelan menembus jalanan sepi. "Setiap orang punya beban hidupnya masir, Nadra. Dan setiap orang juga punya rahasia yang mungkin nggak bisa mereka ceritakan," ucap Agra tenang. "Kalau Arven memang harus pergi karena urusan keluarga, kamu cukup doakan dan beri dia semangat. Itu sudah cukup."
Nadra terdiam sesaat, lalu mengangguk. "Iya juga ya, dia memang orangnya tertutup banget soal keluarga."
Agra melirik sekilas padanya, lalu membuka suara, mencoba mengalihkan. "Sabtu ini, keluargaku ngadain pertemuan kecil di rumah. Nayaka akan mengumumkan pertunangannya. Kamu bisa temani aku?"
Nadra menoleh cepat. "Tentu, aku mau." Tapi tiba-tiba raut wajahnya berubah. Ia menunduk lagi. "Tapi, kita ini belum jelas, kan? Status kita."
Agra terdiam. Matanya tetap ke depan. Nadra menatapnya dengan mata penuh harap. "Agra, kamu suka aku nggak?"
Hening. Suara mobil meluncur di jalanan menjadi satu-satunya suara. Di dalam hatinya, Agra menjawab cepat. "Ya, aku suka kamu. Sangat." Namun bibirnya tetap diam.
Wajah Nadra menegang. "Aku ngerti, mungkin kamu nggak suka aku. Atau, kamu mungkin udah punya pacar."
Agra langsung menoleh. "Enggak! Aku enggak punya siapa-siapa."
Sejenak, Nadra menarik napas lega. Tapi Agra kembali membuka suara, kali ini dengan lirih. "Tapi aku pernah menikah." Ucapan itu seperti pisau dingin yang menembus dada Nadra. Tubuhnya menegang, ia spontan menempel ke dinding pintu, menjauh secara refleks.
...BERSAMBUNG ...