Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Setelah Kemenangan, Badai Baru
Kemenangan di Liga ZPS Nasional adalah euforia yang tak terlupakan. Piala emas itu berkilauan di gaming house Phantom Strikers, menjadi simbol kebangkitan tim dan penegasan atas kemampuan Ren yang sejati. Konfeti yang menempel di rambut dan seragam mereka, sorakan penonton yang masih terngiang, dan pelukan erat tim—semua itu adalah bukti bahwa mereka telah melewati badai, tidak hanya sebagai individu, tetapi sebagai satu kesatuan.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Seiring popularitas yang memuncak, dan jumlah follower Ren yang kini mencapai puluhan juta, tekanan pun semakin berat. Kemenangan mereka di tingkat nasional membuat Phantom Strikers menjadi sorotan utama. Setiap gerak-gerik mereka diawasi, setiap kesalahan diperbesar, dan harapan yang dibebankan pada mereka semakin tinggi.
Ponsel Rangga tak henti berdering dengan tawaran endorsement dan wawancara. Ia menjadi wajah baru e-sports Indonesia, dan jadwalnya semakin padat. Ini bagus untuk finansialnya, tapi menguras tenaga dan waktu latihannya.
"Ren, kamu harus memilih. Antara jadi full-time gamer atau full-time influencer," Guntur pernah berucap suatu hari, setelah sesi latihan yang kacau karena Rangga harus pergi untuk sesi foto. Nada suaranya terdengar jengkel.
Rangga merasa tersudut. "Aku cuma mencoba memanfaatkan peluang, Gun. Ini juga buat tim, kok."
"Peluang bagus sih, tapi kalau latihan jadi terbengkalai, gimana?" timpal Bara, ekspresinya masam.
Aisha mencoba menengahi. "Sudah, sudah. Kita cari jalan tengahnya. Ren, kamu harus lebih mengatur jadwalmu. Prioritas tetap latihan tim."
Meskipun Aisha selalu membela dan mendukungnya, Rangga merasakan gesekan-gesekan kecil ini mulai tumbuh. Ia tahu Guntur dan Bara ada benarnya. Popularitasnya memang mengganggu fokus tim.
Konflik pertama muncul saat kontrak endorsement besar datang hanya untuk Ren, bukan untuk seluruh tim. Sebuah brand energy drink terkemuka menawarkan Ren sebagai brand ambassador tunggal mereka, dengan nilai kontrak yang fantastis.
"Ini kesempatan besar, Ren," kata manajer Rangga, matanya berbinar. "Nilainya bisa menghidupimu puluhan tahun."
Rangga tergiur, tentu saja. Itu adalah uang yang tak pernah ia bayangkan. Namun, ia teringat wajah Guntur dan Bara, yang selama ini berjuang bersamanya.
Ia membawa masalah ini ke Aisha. "Gimana menurut Teteh? Haruskah aku ambil?"
Aisha menatapnya. "Itu keputusanmu, Ren. Tapi pikirkan tim juga. Apa dampaknya kalau kamu ambil sendiri?"
Pada akhirnya, Rangga memutuskan untuk menerima kontrak itu, namun dengan syarat: Phantom Strikers harus mendapatkan sponsor secondary dari brand yang sama, atau setidaknya dukungan logistik yang signifikan. Ia berusaha menunjukkan bahwa ia tidak melupakan timnya. Namun, keputusan itu tetap menimbulkan rasa cemburu yang tak terucap dari Guntur dan Bara, meskipun mereka berusaha menutupinya. Mereka merasa ada jarak yang semakin lebar antara Ren, sang bintang, dan mereka, anggota tim yang "biasa saja."
Tekanan semakin meningkat ketika berita tentang undangan turnamen internasional mulai beredar di komunitas e-sports, meskipun belum ada pengumuman resmi. Tim-tim lain di Indonesia mulai menargetkan Phantom Strikers, berusaha mengalahkan mereka di scrim atau turnamen-turnamen kecil demi menaikkan nama mereka sendiri.
"Mereka cuma beruntung kemarin," ejek salah satu pro player dari tim rival di media sosial, "Ren itu one-trick pony, gampang di-counter."
Komentar-komentar negatif ini, meskipun tidak separah dulu, tetap mengikis kepercayaan diri tim. Guntur dan Bara, yang memang memiliki skill di bawah Ren, seringkali merasa tertekan dan membuat kesalahan fatal dalam latihan.
"Aduh, maaf, Ren! Aku miss lagi!" Guntur mengeluh setelah ia gagal melindungi Ren di scrim.
"Sudah, Gun. Santai saja," Rangga mencoba menenangkan, tapi di dalam hatinya ia merasakan frustrasi yang sama.
Hubungan pribadi Rangga dan Aisha juga mulai menghadapi ujian. Dengan jadwal Ren yang semakin padat, waktu mereka berdua semakin berkurang. Aisha, meskipun sangat memahami, terkadang merasa kesepian. Ia merindukan momen-momen tenang seperti dulu, di mana mereka bisa berbicara tanpa beban, tanpa gangguan notifikasi atau tuntutan pekerjaan.
"Ren, bisa temani aku makan malam besok? Aku sudah pesan tempat," Aisha pernah bertanya suatu malam, setelah stream.
Rangga memeriksa jadwalnya di ponsel. "Aduh, Teteh Aisha. Besok ada meeting sama sponsor baru. Penting banget."
Aisha menghela napas. "Oke, tidak apa-apa." Ada nada kecewa dalam suaranya yang tidak bisa ia sembunyikan.
Rangga merasa bersalah. Ia tahu ia terlalu fokus pada karirnya, tapi ia merasa harus melakukannya. Ia merasa terperangkap dalam lingkaran setan kesibukan. Semakin ia sukses, semakin banyak yang ia korbankan.
Suatu malam, setelah serangkaian kekalahan beruntun di scrim yang membuat semangat tim jatuh, Guntur dan Bara datang menghampiri Rangga.
"Ren," Guntur memulai, suaranya serius. "Kita harus bicara."
"Ada apa?" Rangga mengernyit.
"Kita merasa... kita ini cuma bayanganmu sekarang," kata Bara terus terang. "Kamu bintangnya, kami figuran. Kami tidak punya exposure sebanyak kamu. Kami merasa tidak adil."
Rangga terdiam. Ia tahu ini akan datang. "Aku sudah mencoba membantumu dengan sponsor, kan?"
"Bukan cuma soal uang, Ren. Tapi soal pengakuan," Guntur membalas. "Kami juga ingin dikenal karena skill kami, bukan cuma karena kami teman setim Ren."
Konflik itu memuncak menjadi perdebatan sengit. Guntur dan Bara bahkan mengancam akan keluar dari tim jika situasi tidak berubah. Mereka merasa tidak berkembang di bawah bayang-bayang Ren yang terlalu besar.
Aisha, yang mendengar perdebatan itu, segera turun tangan. Ia mengingatkan mereka semua tentang semangat tim, tentang bagaimana mereka bangkit bersama setelah kekalahan nasional. Ia mengakui bahwa ada ketidakseimbangan, dan ia berjanji akan berusaha mencari solusi agar setiap anggota tim mendapatkan exposure dan pengakuan yang layak.
"Kita akan melampaui ini," kata Aisha, menatap setiap anggota tim satu per satu. "Kemenangan tim adalah kemenangan kita semua. Kita akan buktikan itu di panggung yang lebih besar Zero Point Survival International League untuk mengikuti Turnamen ZPS Asia tahun depan. Undangan itu adalah validasi atas posisi mereka sebagai juara nasional, sebuah pengakuan bahwa mereka telah diakui di mata dunia.
Rangga membaca email itu, lalu menatap timnya yang masih terlihat tegang. Turnamen Asia. Ini adalah kesempatan mereka untuk membuktikan bahwa mereka bukan hanya sebuah tim, tetapi sebuah keluarga yang bisa mengatasi setiap rintangan. Namun, ia tahu, perjalanan menuju panggung Asia ini akan menjadi ujian yang jauh lebih berat, tidak hanya di dalam game, tetapi juga di antara mereka sendiri. Ini adalah babak baru yang penuh tantangan, sebuah fase di mana hubungan dan ikatan mereka akan diuji hingga batas maksimal.