NovelToon NovelToon
Elegi Grilyanto

Elegi Grilyanto

Status: sedang berlangsung
Genre:Janda / Keluarga / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Malam itu, hawa Magelang terasa sejuk setelah hujan tipis yang turun sejak sore.

Jalanan sedikit lengang, lampu-lampu kota menyala temaram, memantulkan cahaya ke aspal basah.

Grilyanto mengenakan jaket tipis dan menggendong Pramesh yang sudah dibungkus selimut kecil.

Sri berjalan di sampingnya sambil menggandeng tangan ibu mertua, sedangkan dua adik Grilyanto ikut menyusul dari belakang, berceloteh kecil menyemarakkan suasana.

“Bu, ayo kita ke alun-alun. Masih ada wedang ronde langganan kita,” ucap Grilyanto sambil tersenyum.

“Wah, sudah lama Ibu nggak minum ronde hangat. Apalagi kalau ditemani anak dan cucu.”

Di bawah tenda sederhana yang terletak di pinggir alun-alun, uap dari panci besar wedang ronde mengepul hangat, bercampur dengan aroma jahe, gula merah, dan kacang tanah. Penjualnya yang sudah lanjut usia mengenali Grilyanto.

“Lho, Mas Gril! Pulang kampung toh? Wah, sekarang sudah bawa bayi ya?” katanya sambil tertawa kecil.

“Iya, Pakde. Ini cucu pertama ibu,” jawab Grilyanto sambil duduk.

Mereka duduk berkeliling di tikar plastik yang digelar di tanah, suasana hangat meski malam menyelimuti.

Sri menyelimuti Pramesh dengan lebih rapat dan menyuapi si kecil sesendok air hangat dari termos kecil yang ia bawa sendiri dari rumah.

Sate pisang pun datang menyusulnpotongan pisang kepok yang dibakar dengan arang, disiram saus gula merah kental dan taburan kelapa parut.

Ibu Grilyanto mencicipi satu tusuk, lalu tertawa kecil.

“Dulu, Bapakmu itu suka banget sate pisang. Kalau malam-malam begini, dia selalu ngajak Ibu ke sini.”

Suasana menjadi akrab dan penuh nostalgia. Sri duduk bersandar ke lengan Grilyanto, matanya mengamati anaknya yang mulai tertidur dalam pelukannya

Ia tersenyum tenang dan malam itu terasa istimewa. Bukan karena tempat atau makanan yang mereka nikmati, tapi karena kehangatan keluarga yang kini terasa utuh.

Angin malam bertiup perlahan, membawa aroma wedang jahe dan kenangan masa lalu.

Di tengah keheningan kota kecil yang damai, keluarga kecil itu menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana secangkir ronde hangat, tusukan sate pisang, dan tawa yang mengalir tanpa beban.

Setelah selesai menikmati malam yang penuh kehangatan di alun-alun kota Magelang, keluarga kecil itu pun memutuskan untuk pulang.

Pramesh sudah tertidur pulas dalam gendongan Sri, sementara Grilyanto merapikan tikar dan membantu ibunya berdiri.

Lampu-lampu jalan memandukan mereka melewati jalanan yang lengang, hanya suara sepatu yang menapak pelan dan obrolan ringan yang sesekali terdengar di antara mereka.

Setibanya di rumah, suasana tenang menyambut Ibu Grilyanto langsung masuk ke kamar, ditemani salah satu anaknya.

Sri mengganti popok Pramesh, lalu meletakkannya perlahan di tempat tidur kecil yang disiapkan ibu di pojok kamar.

Bayi mungil itu sesekali mengerang pelan, tapi tetap terlelap.

Grilyanto menutup pintu kamar mereka dan melirik ke arah istrinya yang tengah merapikan selimut. Ia mendekat, menyentuh pundak Sri dengan lembut.

“Sri,” ucapnya pelan.

“Ayo kita istirahat. Malam ini tenang sekali. Besok pasti hari yang panjang lagi,” lanjut Grilyanto sambil menepuk kasur.

Sri mengangguk, lalu mengganti pakaiannya dengan daster lembut, rambutnya dikuncir longgar.

Grilyanto sudah lebih dulu berbaring, menatap langit-langit kamar tua tempat ia dibesarkan.

Banyak kenangan di sini, tapi kini terasa berbeda. Ada istri, ada anak. Ada keluarga kecilnya sendiri yang ia rawat dan perjuangkan.

Sri menyusul dan berbaring di sampingnya dan lampu kamar hanya tinggal redup kuning temaram.

Grilyanto memeluk tubuh istrinya dengan hangat, jari-jarinya membelai pelan lengan Sri.

“Terima kasih, Ma,” bisiknya.

“Untuk apa, Pa?” tanya Sri, menoleh sambil tersenyum tipis.

“Untuk tetap bersamaku. Untuk bertahan. Untuk jadi ibu dari anak kita,” jawab Grilyanto sambil mengecup keningnya.

Sri menutup mata, merasakan pelukan hangat itu. Di luar jendela, suara malam Magelang berbisik lembut.seperti serangga, angin di sela pepohonan, dan jauh di kejauhan, bunyi kentongan ronda memecah keheningan.

Malam itu Grilyanto dan Sri tidur berpelukan. Dalam diam mereka berdoa: agar cinta ini terus tumbuh, agar rumah tangga mereka tetap hangat meski dunia terus berubah.

Malam semakin larut. Hening menyelimuti rumah tua di Magelang, hanya suara detak jam dinding dan hembusan angin malam yang menyusup lewat celah jendela.

Di dalam kamar, Sri tertidur pulas, tubuhnya lelah setelah seharian penuh beraktivitas, dari perjalanan panjang hingga menjaga Pramesh.

Namun, dari sudut ranjang, suara tangisan kecil mulai terdengar.

Pramesh terbangun, menggeliat dalam tidurnya dan mulai merengek pelan, lalu semakin kencang. Suaranya membelah keheningan malam.

Grilyanto yang masih terjaga langsung bangkit dari tempat tidurnya.

Ia menoleh ke arah Sri, yang masih terlelap, wajahnya damai dan kelelahan terlihat jelas. Ia tak tega membangunkannya.

Pelan-pelan, Grilyanto meraih putri kecilnya. “Iya, iya, Pramesh sayang... sini sama Papa ya...” ucapnya lembut sambil mengangkat Pramesh ke dalam pelukannya.

Dengan sabar ia menggendong Pramesh, menepuk-nepuk punggung mungil itu dengan ritme tenang.

Ia berjalan perlahan ke ruang tengah, lalu duduk di kursi kayu dekat jendela, membiarkan angin malam menyapu pelan wajah mereka berdua.

“Kenapa kamu rewel, ya? Mimpi buruk, atau kangen suara Ibu?” bisiknya sambil tersenyum.

Pramesh masih sesekali menangis kecil, namun mulai tenang dalam pelukan hangat ayahnya.

Grilyanto pun mulai menyenandungkan lagu jawa lembut, lagu yang sering ia dengar dari ibunya dulu.

Suara baritonnya rendah dan menenangkan, membentuk irama yang meninabobokan.

Di luar sana, kota Magelang mulai sunyi total dan lampu jalan tampak sayup dari balik jendela, menyinari wajah Grilyanto yang lelah namun penuh kasih.

Di pelukannya, Pramesh akhirnya terdiam, matanya perlahan terpejam, napasnya mulai tenang.

Grilyanto menatap putrinya lama, hatinya penuh haru. Anak ini adalah darah dagingnya.

Ia bersumpah akan menjaganya, tak peduli sesulit apapun hidup.

Setelah beberapa menit ia bangkit pelan, kembali ke kamar, dan membaringkan Pramesh di sisi Sri. Ia menyelimutinya dengan hati-hati, memastikan ia tetap hangat dan ia pun kembali ke tempat tidur, berbaring menghadap istri dan anaknya.

Sambil memejamkan mata, Grilyanto membisikkan doa lirih di dalam hati.

“Semoga malam ini menjadi awal dari malam-malam tenang yang penuh berkah.”

Jam dinding di ruang tengah berdentang pelan, menunjukkan pukul empat pagi.

Udara Magelang yang dingin menyusup hingga ke dalam rumah, membuat suasana semakin sunyi dan syahdu.

Di dalam kamar, Pramesh akhirnya terlelap setelah beberapa jam rewel. Wajah mungilnya damai, tertidur di antara kehangatan pelukan selimut tipis dan cinta kedua orang tuanya.

Grilyanto menghela napas lega, lalu dengan pelan menyingkir dari ranjang, berusaha tidak membangunkan Sri dan Pramesh.

Ia mengusap pelan kepala anaknya, lalu menatap istrinya yang masih pulas dalam lelapnya dimana wajah yang lelah namun teduh, penuh kasih yang tak pernah habis.

Dengan langkah pelan ia menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Air yang dingin menyentuh kulitnya seperti membangkitkan seluruh syaraf tubuh.

Ia terdiam sejenak di depan cermin, menatap dirinya sebagai seorang suami, seorang ayah, yang kini memikul tanggung jawab lebih besar dari sekadar diri sendiri.

Tak lama kemudian, ia membentangkan sajadah kecil di ruang tengah.

Dalam kesunyian dini hari, ia melaksanakan salat subuh dengan penuh khusyuk.

Setiap sujud terasa seperti pelimpahan rasa syukur dan permohonan perlindungan untuk keluarganya—untuk Sri, untuk Pramesh, dan bahkan untuk Heri yang entah di mana rimbanya.

"Ya Allah... berikan aku kekuatan dan rezeki yang cukup untuk menjadi suami dan ayah yang baik. Jagalah istri dan anakku..." bisiknya di akhir doa, dengan mata sedikit berembun.

Setelah salam terakhir, ia melipat kembali sajadah, menatap langit yang mulai sedikit terang dari celah jendela.

Lelah perlahan kembali menjalar ke tubuhnya.

Ia kembali ke kamar, menyelinap pelan ke balik selimut.

Di sebelahnya Pramesh tidur dengan napas lembut, dan Sri menggeliat kecil tapi tak terbangun.

Grilyanto menarik selimut, memeluk istrinya dari belakang, dan memejamkan mata.

Satu hari lagi akan dimulai, dengan tantangan dan keindahan yang menunggu.

Tapi untuk sekarang, di antara detak jam dan embusan udara pagi Magelang, Grilyanto merengkuh kehangatan keluarganya, dan terlelap dalam damai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!