Tidak ada tanggal sial di kalender tetapi yang namanya ujian pasti akan dialami oleh setiap manusia.
Begitupun juga dengan yang dialami oleh Rara,gadis berusia 21 tahun itu harus menerima kenyataan dihari dimana kekasihnya ketahuan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri dan di malam itu pula kesucian dan kehormatannya harus terenggut paksa oleh pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Kehidupan Rara dalam sehari berubah 180 derajat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28 Sulit Untuk Berkata Jujur
Setelah mengecek daftar hadir siswa-siswinya, Rara memulai mengajar dan membuka materi pelajaran dengan berdoa dan bertanya singkat mengenai pelajaran sebelumnya.
“Bumi adalah satu-satunya benda angkasa yang terdapat kehidupan di dalamnya,” ucap Rara.
Semua muridnya mendengarkan dengan seksama apa yang dijelaskan oleh Rara.
“Apa kalian sudah mengerti dengan penjelasan dari ibu? Kalau ada yang belum paham dengan materi yang ibu ajarkan hari ini silahkan bertanya sebelum kita mengerjakan beberapa tugas yang ada di lks,” imbuhnya Rara yang berjalan berkeliling kelas setelah menjelaskan.
Beberapa murid mengacungkan tangannya untuk bertanya mengenai materi baru yang mereka dapatkan. Rara dengan sabar dan telaten membantu beberapa muridnya yang belum memahami apa yang dia jelaskan.
Setelah sesi tanya jawab, Rara membagikan tugas untuk wali muridnya tersebut sehingga keadaan kelas lebih kondusif dan tenang karena anak-anak sibuk dengan tugas masing-masing.
Rara mengisi jam pertama di kelas 6 pagi itu dan dilanjutkan bidang studi pendidikan jasmani dan olahraga.
“Ya Allah, penderitaan dan hinaan yang diterima oleh istriku semuanya karena diriku sendiri. Aku tidak tega melihat istriku dihina oleh orang lain sedangkan istriku sama sekali tidak bersalah, aku nggak sanggup ya Allah, melihatnya menangis karena ulah kebodohanku,” batinnya Bara.
“Mas, sudah waktunya Mas mengajar,” ucap Rara yang melihat suaminya yang seperti sedang melamun memikirkan banyak hal.
Keningnya Rara berkerut melihat suaminya yang masih tak bergeming padahal Rara sudah mengingatkannya.
“Istriku tidak berhak dan tidak pantas dihina oleh mereka. Karena aku lah letak dan sumber kesalahan itu. Maafkan aku yah Allah, berikan aku umur yang panjang dan kekuatan untuk membahagiakan istriku di sisa waktuku di dunia ini,” Bara membatin.
Rara mengusap lengan suaminya yang masih terdiam dalam lamunannya,” Pak Bara Yudha Nugraha anak-anak sudah berganti pakaian bersiap untuk olahraga!”
Rara sedikit meninggikan volume suaranya agar Bara segera tersadar dari lamunannya itu.
Bara tersentak terkaget mendengarnya,” ah apa!?” sampai-sampai dia berdiri dari posisi duduknya.
Rara dan anak-anak kelas 6 tertawa terbahak-bahak melihat reaksinya Bara ketika terkejut.
“Hahaha! Pak Bara lucu juga kalau kaget,” ucapnya salah satu murid lelaki.
“Hahaha! Pak Bara kenapa melamun! Masih pagi-pagi juga Pak nggak baik,” celetuk siswinya yang lain.
Rara menahan tawanya melihat reaksi suaminya yang cukup membuatnya terhibur.
“Mas, pakaian gantinya ini yah. Cepat ke kamar mandi untuk berganti pakaian anak-anak sudah lama menunggu Mas,” ujarnya Rara sambil menyodorkan sebuah paper bag yang berisi pakaian olahraga untuk suaminya seorang.
Bara mengambil paper bag itu kemudian meninggalkan ruangan kelas 6. Berselang beberapa menit kemudian, suara sumpritan sudah terdengar dari arah lapangan.
Sedangkan Rara berjalan ke arah kantinnya Bu Mira karena dia lapar dan ingin membeli makanan snack dan juga minuman dingin untuk suaminya.
Kedatangannya disambut hangat oleh pemilik kantin,” Bu guru Rara maafin ibu nggak sempatka datang ke acarata’ karena ibu sangat sibuk ada juga acara keluarga bersamaan dengan acaramu waktu itu.” sesalnya Bu Mirah pemilik kantin.
Rara tersenyum sambil memilih beberapa aneka macam gorengan yang masih hangat yang tersedia di atas meja kayu.
“Nggak apa-apa kok Bu santaimi saja lagian kami masih akan mengadakan resepsi pernikahan tahun depan,” ujarnya Rara.
Rara juga mengambil beberapa jenis minuman botolan aneka rasa dan juga air mineral.
Rara menyimpan semua belanjaannya ke atas meja kasir dimana meja itu juga dipergunakan oleh Bu Mirah untuk menyimpan barang dagangannya.
“Totalnya berapaan Bu?” Tanyanya Rara.
“Nggak makan di siniki seng Bu guru?” Tanyanya Bu Mirah.
“Iye nggak ji dulu Bu, karena ada Mas Bara yang menungguku, lagian masih kenyang karena pagi tadi Mama mertua buatkan nasi kuning. Kalau makanka ini gorengan insya Allah pasti masih sanggupka bertahan sampai makan siang,” jawabnya Rara sambil mengangkat beberapa gorengan ke depannya Bu Mirah.
“Oh gitu, kenapa nggak pergiki bulan madu juga? Kayak artis-artis yang biasa ibu lihat di televisi. itu iya yang muncul di sosmed juga yang bulan madunya sampai ke luar negeri,” ujarnya lagi Bu Mirah sambil mengingat-ingat beberapa artis yang pernah dilihatnya melalui layar televisi.
“Kalau bulan ini nggak bisapi Bu Mirah karena anak-anak mau ujian Nasional, rencananya nanti bulan enam setelah selesai semester,” jawabnya Rara.
Rara kemudian meninggalkan kantin setelah menyelesaikan pembayarannya. Beberapa guru memperhatikan apa yang dilakukannya, ia hanya membalasnya dengan senyuman.
Dia hafal betul kalau orang-orang sedang berbisik-bisik ketika ia melewati beberapa kerumunan orang-orang, bahan gosip mereka adalah dirinya saat ini karena masalah rumah tangganya lagi hot-hotnya dijadikan bahan pergunjingan. Tetapi Rara berusaha untuk bersabar menghadapinya karena ini adalah konsekuensi yang harus dihadapinya.
“Pak Eka!” Teriak Rara.
Eka yang dipanggil oleh Rara langsung berputar arah dan berlari kecil ke arah Rara.
“Kenapaki Bu guru cantik, ada yang bisa dihabiskan?” Tanyanya Eka yang cengengesan sambil melihat ke arah tangannya Rara yang kedua tangannya memegangi kantong plastik kresek berwarna putih.
Rara terkekeh mendengarnya, “Ini untuk Pak Eka, bisa dibagikan ke Pak Kadir sama Pak Hasanuddin juga,” pinta Rara sambil menyodorkan beberapa botol kopi dingin dan juga gorengan untuk ob dan security.
“Masya Allah, Bu guru cantik semakin baik hati saja. Alhamdulillaah makasih banyak Bu guru cantik semoga rezekinya semakin banyak dan luas dan yang paling penting rumah tangganya menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah hingga kakek nenek,” ucapnya Eka.
“Amin ya rabbal alamin, aku pamit menemui Pak Bara,” pamitnya Rara kemudian berjalan ke arah dimana suaminya berada yang masih sibuk mengajar anak kelas 6.
Rara dan Bara tidak jaim-jaim dalam memperlihatkan kemesraannya. Keduanya menikmati makanan yang dibeli Rara ketika ke kantin.
“Sayang mulai besok kamu harus kurangi makan makanan gorengan sama minuman seperti ini kurang baik untuk calon baby triple,” peringatnya Bara.
“Iye, aku akan dengarkan apapun yang dikatakan oleh suamiku, Mas apa sudah telpon Mbak Aminah masalah kartu keluarga sama KTPnya?” Tanyanya Rara.
“Istri penurut, Alhamdulillah sudah katanya tinggal diambil. Mau ambil langsung di rumahnya atau di kantornya mbak Aminah?” tanyanya Bara.
“Terserah Mas saja gimana baiknya dan kesempatannya dimana, aku sih nurut Mas saja,” timpalnya Rara yang lahap menikmati gorengan makanan paling disukainya selama ini.
Keduanya kembali menyantap makanan tersebut, tanpa peduli dengan orang-orang yang saling sikut membicarakan aibnya dibelakang mereka.
Beberapa jam kemudian, keduanya sudah berada di jalan menuju kantor catatan sipil kota Makassar. Mereka ingin mengambil pembaharuan KTP dan KKnya yang baru.
“Sayang,kalau menurut kamu baiknya kita bulan madu di luar negeri atau luar daerah saja?” Tanyanya Bara sambil terus fokus mengendarai mobilnya.
“Kalau menurut aku sih dari Mas Bara saja gimana baiknya. Dalam negeri juga bagus dan pengen banget wisata kuliner seperti ke Bali, Jogja, Bandung juga. Tapi, lebih pengennya sih ke luar negeri cuman karena kondisiku saat ini lagi hamil kayaknya untuk naik pesawat perjalanan jauh nggak bisa deh Mas,” jawabnya Rara.
“Kalau gitu bulan madunya yang dekat-dekat saja nanti kamu lahiran anak kita agak gedean baru kita ke luar negeri. Gimana kalau kita ke tanjung Bira saja di Bulukumba?” Tanyanya Bara yang bernada penawaran.
Rara menoleh ke arah suaminya sambil tersenyum simpul,” hemph! Itu ide bagus juga Mas. Kayaknya main pasir di pantai pasti seru.”
“Kalau gitu bulan enam setelah anak-anak semester kita ke Bulukumba. Mas juga pengen snorkeling sudah lama nggak ngelakuin olahraga di laut,” seru Bara.
Setelah perbincangan mereka, dua-duanya terdiam karena tidak ada lagi yang berbicara dan memulai percakapan. Bara fokus mengemudikan mobilnya, sedangkan Rara memperhatikan seluruh kabin mobil yang tiba-tiba mengingatkannya kepada kenangan buruk dan pahit di malam kelam itu.
Mobil yang selalu membuat Rara dejavu jika harus menggunakan mobil pribadi suaminya yang berwarna putih.
“Mas entah kenapa aku merasa kayak pernah menaiki mobil Mas sebelum kita menikah,” tuturnya Rara.
Bara reflek melirik sekilas ke arah Rara istrinya,” mak-sudnya ka-mu apa?” Tanyanya Bara yang perasaannya sudah mulai campur aduk.
Takut, cemas, khawatir berlebihan bercampur menjadi satu di dalam benak dan pikirannya.
“Maksudnya, aku ngerasa kalau mobil ini seperti mobil pria yang merenggut kesucianku malam itu Mas. Aku sangat baik mengingat warna cat mobil itu yaitu putih dan kalung yang aku pakai waktu itu ketinggalan mungkin terjatuh di atas lantai mobil,” jelasnya Rara yang tubuhnya sedikit gemetaran, keringat dingin ketika mengingat sekaligus menjelaskannya.
Bara pun mengalami hal yang sama, tapi bedanya dia tremor memegangi setir mobilnya, karena ketakutan jika ketahuan kalau dialah pria yang memperkaosnya malam itu dalam keadaan mabuk.
“Astaghfirullah aladzim, apa jangan-jangan Rara sudah mengetahui kalau aku adalah pemilik mobil itu?” Bara bermonolog.
Keningnya berkeringat dingin hingga terlihat buliran keringat sebesar biji kacang hijau yang mengalir di pelipisnya. Jakunnya naik turun, nafasnya menderu ngos-ngosan seolah dia habis berolahraga.
“Kalau sampai Rara menyadari segalanya, semuanya akan hancur dan berantakan. Rumah tangga impianku akan hancur dan musnah karena kebodohan dan ulah tanganku sendiri. Aku terlalu bego gara-gara pengaruh minuman keras,” Bara membatin.
Jantungnya berdebar-debar kencang saking takutnya apabila Rara menyadari kalau suaminya lah pria bejat itu yang begitu tega merudapaksanya.
“Ya Allah, aku tidak ingin Rara mengetahuinya. Dia pasti akan meninggalkanku dan meminta cerai kepadaku kalau dia sadar dengan apa yang sebenarnya terjadi,” batinnya Bara.
Hal itu disadari oleh Rara apa yang terjadi kepada suaminya. Dahinya berkerut keheranan melihat kondisi suaminya yang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja.
Rara mengambil tissue dan menyeka keringat berlebih di wajahnya Bara kemudian membantu menyekanya.
“Mas Bara, kamu baik-baik saja kan?” Tanyanya yang mengkhawatirkan keadaan suaminya.
“Sa-ya baik-baik saja, a-ku ti-dak ke-na-pa kok,” balasnya Bara yang malah gelagapan.
Rara masih mencemaskan kondisi suaminya meski suaminya sudah mengatakan dia dalam keadaan yang normal.
“Stop di depan! Aku yang akan gantiin Mas menyetir. Aku takut melihat Mas seperti ini,” titahnya Rara.
Bara spontan menghentikan laju kendaraannya di tepi jalan. Dia berusaha untuk menenangkan dirinya yang tersiksa karena ulah dan perbuatannya sendiri.
Bara melepas seatbelt yang terpasang di tubuh atletisnya, dan tanpa aba-aba langsung menarik tubuhnya Rara dalam dekapan hangatnya.
Rara yang diperlakukan seperti itu dibuat tercengang, kebingungan dan terheran-heran melihat sikapnya Bara yang aneh tidak seperti biasanya.
“Mas Bara, kamu baik-baik saja kan?” Tanyanya Rara.
“Ini saatnya aku berkata jujur, masalah kedepannya itu urusan belakangan yang paling penting aku sudah jujur,” monolog Bara.
Hanya suara sesegukan yang terdengar dari bibir seksi dan sedikit tebal suaminya yang didengarnya.
“Rara maafkan Mas, maafkan suamimu ini karena…” ucapannya tertahan di pangkal tenggorokannya karena tidak ada keberanian untuk melanjutkan ucapannya.
Rasanya sangat berat untuk berkata jujur, suaranya sampai tercekat karena kesulitan untuk berbicara.